Senin, 29 Agustus 2011

Kematian Datang, Saat Dosa Menggunung


oleh Aid Abdullah al-Qarni

Banyak orang yang ajalnya datang ketika maksiat mereka menggunung .. entah pembunuhan, zina, khamar, riba, nyanyian, tidak shalat lima waktu berjamaah, ataupun tidak peduli pada risalah Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, dan menuntut ilmu.

Laa ilaaha illallah, betapa lalainya mereka!

Sehabis ditangkap, Sa'id bin Jubair dibawa menghadap al-Hajja bin Yusuf.

"Siapa namamu?", tanya Hajjaj mencemooh.

"Sa'id bin Jubair", ia menyahut.

"Bukan. Nama kamu adalah si Sial (Syaqi) bin Kusair".

"Ibuku lebih tahu namaku daripda engkau".

"Celaka kamu .. celaka pula ibumu," balas Hajjaj, sambil melanjutkan, "Demi Allah, kamu akan saya masukkan ke dalam api yang menyala-nyala". "Kalau aku tahu, kamu sanggup melakukannya, pasti engkau sudah kujadikan Tuhan!"

"Bawa sini harta kekayaan!" Didatangkanlah emas dan perak.

"Hajjaj," kata Sa'id, "Sekiranya kekayaan ini engkau kumpulkan untuk menyelamatkan dirimu dari azab yang pedih, alangkah bagusnya.Tapi, bila engkau melakukannya itu untuk riya dan ingin disebut orang, demi Allah tidak akan ada gunanya di sisi Allah sedikitpun," tukasnya.

"Bawa ke sini budak perempuan yang bisa bernyanyi," titah Hajjaj lagi. Sa'id menangis. "Apakah lagunya enak?" Hajjaj bertanya.

"Demi Allah, bukan! Aku menangis lantaran ada budak yang diperkerjakan untuk sesuatu yang bukan untuk ia diciptakan, dan lantaran kayu yang dijadikan alat musik untuk digunakan bermaksiat kepada Allah!"

"Alihkan dia dari arah kiblat!" ujar Hajjaj.

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ

Sa'id menyahut dengan membacakan firman-Nya, "Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah." (QS. al-Baqarah [2] : 115)

"Banting dia ke tanah," perintah Hajjaj.

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ

Tapi, Sa'id menjawab, "Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain." (QS. Thaha [20] : 55)

"Demi Allah, saya akan membunuh kamu dengan cara yang tidak pernah digunakan orang," ancam Hajjaj.

"Hajjaj, engkau boleh pilih cara sesukamu. Demi Allah, cara apapun yang engkau pilih membunuhku, niscaya Allah jua akan membunuhmu dengan seperti itu!" ujar Sa'id.

Sebelum dibunuh Sa'id berdo'a.

"Ya Allah, jangan biarkan dia menindas siapapun setelah aku mati!"

Kepala Sa'id pun dipenggal oleh Hajjaj. Hanya beberapa bulan kemudian, Hajjaj meronta-ronta, karena sakit sampai Allah membinasakannya.

Wahai kaum Muslimin, sebelum ajal datang, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan:

Pertama, hendaknya kita senantiasa mengingat kematian setiap waktu. Kita melakukan kelalaian tatkala kita lupa akan kematian, lupa tentang peristiwa sesudah mati. Kita melalaikan semua itu dan terperosok ke dalam maksiat, nafsu syahwat, syubhat, dan membuat Allah SWT marah.

Sampai-sampai sebagian anak muda, bila diingatkan tentang kematian mereka menjawab, "Biarkan kami hidup, makan, minum. Jangan rusak kesenangan kami..." Kematian telah mengeruhkan dunia, sehingga tidak menyisakan secuil kegembiraan pun pada orang-orang yang berhati nurani.

Ibnu Umar menasihati, "Bila waktu pagi, jangan tunggu waktu sore. Bila sore, jangan tunggu pagi. Pergunakan masa sehatmu untuk persiapan sewaktu kamu sakit. Pergunakan hidupmu untuk persiapan menghadapi kematian."

Wahai kaum Muslimin, segeralah melakukan taubatannasuha kepada Allah Ta'ala.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar [39] : 53)

Al-A'masy, ahli hadist kawakan, ditangisi anak-anaknya ketika ajalnya hampir menjemput. Ia pun berkata, "Janganlah kalian menangisiku! Demi Allah, selama enam puluh tahun lamanya aku tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram bersama imam," tukasnya.

Sa'id Ibnu Musayyib, ketika sekarat berujar, "Alhamudililah. Selama empat puluh tahun, saya selalu berada di masjid Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, ketika muazin mengumandangkan azan."

Mereka mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan cara melakukan amal-amal shalih dan taubatannasuha. Wallahu'alam.

Minggu, 28 Agustus 2011

Ber-Idul Fitri diatas Sunnah NABI Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 36/IX/VIII

Idul Fitri merupakan salah satu hari raya yang Allah Subhanallahu wa Ta’la anugerahkan kepada kaum muslimin. Dinamakan Idul Fitri karena ia selalu berulang setiap tahun dengan penuh kegembiraan. Diantara bentuk kegembiraan itu adalah makan, minum, menggauli istri dan lain sebagainya dari hal-hal mubah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan di siang hari bulan Ramadhan. Namun akan lebih menjadi bermakna, tatkala hari yang mulia tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan yang sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Kapan Kita BerIdul Fitri?

Hari raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawwal yang dihasilkan dari ru’yatul hilal bukan dengan ilmu hisab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Berpuasalah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan hari bulan tersebut menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)

Idul Fitri dan juga shaum (puasa) Ramadhan merupakan syiar keutuhan dan kebersamaan. Namun sangat disayangkan, terkadang syiar ini ternodai oleh perselisihan dan perpecahan di antara kaum muslimin dalam menentukan Idul Fitri ataupun masuknya bulan Ramadhan. Padahal Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Shaum (puasa) itu pada waktu berpuasanya kalian (kaum muslimin), Idul Fitri pada saat kalian (kaum muslimin) berhari raya Idul Fitri, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)

Oleh karenanya, para ulama terpandang seperti Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin d menasehatkan agar setiap muslim mengikuti pemerintahnya masing-masing. (Lihat Tamamul Minnah hal. 398 dan Asy-Syarhul Mumti’ 6/322)

Di samping itu, kami juga mewasiatkan kepada pemerintah –semoga Allah Subhanallahu wa Ta’la merahmati mereka– agar melandaskan keputusan masuk dan keluarnya Ramadhan secara syar’i, yaitu dengan ru’yatul hilal dan bukan dengan ilmu hisab.

Hukum Shalat Id

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini menjadi tiga pendapat yaitu: sunnah, wajib kifayah, dan wajib ‘ain. (Lihat Fathul Bari 8/423-424, karya Ibnu Rajab rahimahullah).

Namun perlu diketahui bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum senantiasa mengerjakan shalat tersebut bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan para gadis dan wanita haidh untuk keluar menuju ke mushalla Id (tanah lapang).

Di Mana Kita Shalat Id dan Apa Tuntunan Syari’at terkait perihal Menuju Tempat Shalat tersebut?

Shalat Id secara syari’at dilaksanakan di mushalla Id (tanah lapang) bukan di masjid, dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum, dalam keadaan mereka sangat memahami keutamaan shalat di Masjid Nabawi yang menyamai seribu kali shalat di selainnya (kecuali Masjidil Haram). Tetapi dengan semua itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan seluruh sahabatnya radliyallahu ‘anhum tetap melaksanakan shalat Id di mushalla (tanah lapang). Hal ini berlandaskan hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:

“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu keluar menuju mushalla (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha…” (HR. Al-Bukhari no. 956)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sesuai dengan hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua shalat Id di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (umat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur atau dalam keadaan darurat, seperti hujan dan sejenisnya. Inilah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para imam.” (Lihat Shalatul ‘Idaini fil Mushalla Hiyas Sunnah, hal. 35).

Sehingga sangat berlebihan orang yang mengatakan bahwa shalat Id tidak boleh dilaksanakan di masjid walaupun ada udzur atau dalam keadaan darurat, demikian pula orang yang mengatakan bahwa tidak ada shalat kalau tidak di tanah lapang.

Adab-adab menuju mushalla (tanah lapang)

Pertama: Berhias dengan pakaian yang terbaik (yang dia miliki), sebagaimana hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma. (HR. Al-Bukhari no. 948)

Kedua: Makan beberapa butir kurma sebelum berangkat, sebagaimana hadits Anas radliyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari no. 953)

Ketiga: Berangkat dan pulang melewati jalan yang berbeda, sebagaimana hadits Jabir radliyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari no. 986)

Keempat: Mengeraskan takbir semenjak keluar dari rumah sampai ditegakkannya shalat. (Lihat Ash Shahihah 1/279)

Adapun lafazh takbirnya, maka tidak ada satupun hadits yang shahih yang menentukan bacaannya. Hanya saja terdapat beberapa atsar sahabat yang shahih yang menerangkan bacaan tersebut. Diantaranya:

Allahu Akbar Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu atau

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu, atau yang lainnya. (Lihat Al-Irwa’ 3/125-126)

Di dalam bertakbir tidak disyariatkan untuk dikerjakan secara berjama’ah dengan satu suara. (Lihat Ash-Shahihah 1/279)

Perlu diingatkan, apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan menambahkan shalawat di sela-sela takbir. Hal ini merupakan suatu kekeliruan, karena tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhuma.

Apa Yang Dilakukan Setiba Di Tempat Mushalla Id?

Ketika tiba di tempat shalat, hendaknya terus bertakbir hingga imam memulai shalat. Adapun shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah Id, maka tidak ada tuntunannya, sebagaimana hadits Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma:

“…(Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) belum pernah sholat (sunnah) sebelum shalat Id ataupun sesudahnya…”. (HR. Al-Bukhari no. 989)

Tidak Ada Adzan dan Iqamah

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir radliyallahu ‘anhu (HR. Muslim no. 887). Adapun ucapan: “Ash Shalaatu Jaami’ah”, maka Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Yang sunnah adalah tidak mengucapkan itu semua.” (Lihat Zaadul Ma’ad 1/427).

Wajibnya Shalat Menghadap Sutrah

Sutrah adalah sesuatu yang diletakkan di depan orang yang shalat untuk menghalangi orang yang melewati di hadapannya. Memakai sutrah merupakan perkara yang wajib bagi imam dalam shalat berjama’ah, berdasarkan hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma. Beliau berkata:

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika keluar menuju shalat Id ke tanah lapang, beliau memerintahkan dibawakan tombak yang ditancapkan di hadapannya kemudian shalat menghadap tombak tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan 972).

Tata Cara Shalat Id

Shalat Id berjumlah dua rakaat, dimulai dengan takbiratul ihram, kemudian bertakbir 7 kali (selebihnya seperti shalat lainnya). Pada rakaat kedua bertakbir 5 kali selain takbir perpindahan gerakan dari rakaat kesatu menuju rakaat kedua, (selebihnya seperti shalat lainnya). Hal ini yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah dalam Syarhus Sunnah 4/309. Di antara dasar tata caranya adalah hadits Aisyah radliyallahu ‘anha yang diriwayatkan Abu Dawud dan selainnya dengan sanad shahih. (Lihat Al-Irwa’ no. 639)

Adapun bacaan surat yang disunnahkan padanya adalah Surat Qof dan Al-Qomar. (HR. Muslim no. 892), atau Surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah (HR. Muslim no. 878)

Dan jika ketinggalan shalat bersama imam, maka shalat 2 rakaat yang dilakukan secara sendirian. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Bab: Jika Ketinggalan Shalat Id Maka Shalat 2 Rakaat”. (Lihat Fathul Bari 2/550, karya Ibnu Hajar rahimahullah)

Bagaimana Dengan Wanita?

Kaum wanita diperintah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menghadiri shalat Id, sebagaimana perkataan Ummu ‘Athiyyah radliyallahu ‘anha: “Kami diperintah untuk menghadirkan gadis-gadis dan wanita-wanita haidh pada 2 hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha –red), agar mereka menyaksikan kebaikan dan syiar dakwah kaum muslimin, sedangkan yang haidh diminta untuk menjauhi tempat shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Namun ada 2 hal yang perlu diingat dalam keluarnya wanita ke mushalla Id:

Pertama: Hendaknya keluar dalam keadaan menutup aurat, dengan tidak berhias, tidak memakai wewangian, dan tidak campur baur dengan laki-laki, karena dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan bisa menjadi fitnah bagi kaum lelaki.

Kedua: Tidak boleh berjabat tangan dengan selain mahramnya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ketika membaiat kaum wanita: ”Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram).” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Juga sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Benar-benar kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Adh-Dhiyaa’ Al-Maqdisi)

Dan hukum haramnya perbuatan ini ada di dalam kitab-kitab empat madzhab. (Lihat Ahkamul Idain hal. 82)

Hukum Memakai Mimbar Di Dalam Khutbah

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah berkhutbah Id dengan memakai mimbar akan tetapi beliau berdiri di atas tanah. Adapun orang yang pertama kali berkhutbah Id dengan memakai mimbar adalah Marwan bin Al Hakam dan perbuatan itu telah diingkari oleh Abu Said Al-Khudri radliyallahu ‘anhu dan dinyatakan bahwa hal itu menyelisihi sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat Fathul Bari hadits no. 956 dan Zadul Ma’ad 1/ 429 dan 431)

Kaum muslimin, siapa pun dari kita pasti berharap agar keluar dari bulan suci Ramadhan dalam keadaan suci dari dosa dan penuh dengan karunia serta rahmat ilahi. Maka dari itu marillah kita berupaya untuk menuju kehidupan yang lebih mulia dengan meninggalkan beberapa kemungkaran yang terjadi pada hari raya Idul Fitri atau sebelumnya. Di antaranya adalah:

1. Menyerupai orang-orang kafir dalam hal berpakaian dan berpesta pora.

2. Menggelar pesta judi, dan bertamasya ke tempat-tempat hiburan dan maksiat.

3. Pengkhususan ziarah kubur di hari Id atau sebelumnya.

4. Pengkhususan malam Id untuk melakukan ritual ibadah tertentu.

5. Berpuasa di hari Id.

6. Pelarangan wanita untuk menghadiri shalat Id.

7. Ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram).

8. Tidak peduli terhadap fakir miskin yang kekurangan di hari itu.

9. Menghiasi masjid dengan lampu-lampu hias, bunga dan sejenisnya. Karena yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya radliyallahu ‘anhum.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Ber’idul Fithri
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.

Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.

Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.

Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.

Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.

Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.

Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.

Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Id (Hari Raya)

Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)

Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)

Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Id

Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:

Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.

Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.

Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)

Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)

Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.

Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).

Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)

Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?

Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?

Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”

Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id

عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))

Memakai Wewangian

عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)

Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Memakai Pakaian yang Bagus

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)

Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)

Makan Sebelum Berangkat Shalat Id

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)

Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”

Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:

a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.

b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.

c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)

Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Lafadz Takbir

Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu:

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)

Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.

Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)

Tempat Shalat Id

Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.

Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)

Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)

Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)

Waktu Pelaksanaan Shalat

يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ

“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.

Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)

Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)

Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?

Ada dua pendapat:

Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.

Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)

Tanpa Adzan dan Iqamah

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”

Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)

Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?

Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.

Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).

Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)

Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)

Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id

Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.

Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)

Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?

Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)

Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:

Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)

Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)

Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)

Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ

“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)

Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)

Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)

Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.

Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).

Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.

Kapan Membaca Doa Istiftah?

Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Khutbah Id

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)

Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.

Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)

Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.

Wanita yang Haid

Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.

Sutrah Bagi Imam

Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?

Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.

Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)

Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”

Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)

Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)

Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.

Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)

Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

1 ‘Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=373

Meraih Lailatul Qadar

Dalam bulan Ramadhan, ada malam seribu bulan.
Wah sangat senang sekali bila amal ibadah yang semalam itu dihitung seperti amalan seribu bulan. Semua pasti ingin dan ingin.
Di malam itu Allah SWT benar-benar melipatgandakan pahala.
Akankah kita bisa meraihnya...

Anda mungkin bertanya, apakah malam Lailatul Qadar hanya khusus untuk orang alim saja...
Kalau bukan, bagaimana orang awam seperti kita bisa meraihnya..

Mungkin dari beberapa catatan berikut bisa memberikan tips untuk meraih malam seribu bulan dalam bulan Ramadhan ini.
Bangunlah Malam Hari.
Para ulama menjelaskan, salah satunya adalah Yusuf Qaradawi yang mengatakan bahwa malam itu datang untuk semua orang yang benar-benar menginginkannya.
Di malam itu kebaikan terbuka untuk siapa pun yang mencarinya.

Rasulullah SAW bersadda,
"Barang siapa yang melakukan shalat Isya' berjamaah, seolah-olah ia berqiyam (bangun malam) di separuh malam. Dan barang siapa yang shalat shubuh berjamaah, seolah-olah ia melakukan di sepanjang malam tersebut."
(HR. Ahmad Muslim).

Salah satu cara untuk meraih pahalanya adalah dengan shalat malam.
Sebagaimana disebutkan dalam shahih Bukhari dari Abu Hurairah,
"Barang siapa yang berqiyam di malam Al Qadar dengan penuh keimanan dan bersungguh-sungguh, maka telah diampunkannya apa yang telah lalu dari dosanya."
(HR. Bukhari).

Penuh Berdzikir.
Syeikh Atiyah Saqr menganjurkan, hidupkanlah malam mulia itu dengan shalat, membaca Al Qur'an, berdzikir, beristighfar, dan berdoa dari terbenam matahari hingga terbit fajar.

Hidupkanlah Ramadhan dengan bershalat Tarawih di dalamnya.
Berkata Aisyah r.a,
"Ya Rasulullah, di waktu Lailatul Qadar apakah yang harus aku lakukan?
Katakanlah, Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan suka pada pengampunan, maka ampunilah aku."

Aneka Ibadah.
Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Barang siapa menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan berbagai amal ibadah secara yakin dan percaya kepada pahala yang disediakan Allah dan dengan secara ikhlas, maka Allah akan mengampunkan segala dosanya yang telah lalu."

Kita semua memang tidak tahu kapan malam itu akan datang. Ada ulama yang berpendapat bahwa Lailatul Qadar itu bisa saja terjadi sejak dari awal masuknya bulan Ramadhan sampai akhir, namun kapan pastinya, Allah merahasiakannya.
Dengan dirahasiakan itulah kita makin termotivasi untuk menghidupkan seluruh bulan Ramadhan dengan berbagai macam ibadah, seperti Tarawih, Tadarrus, shalat sunnah dan lain sebagainya.

Ada juga yang berpnedapat bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan (Madzhab Imam Syafi'i).
Bahkan ada yang mengkhususkannya di malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir.

Tak sepatutnya kita sebagai umat Islam saling memperdebatkan kapan pastinya malam Lailatul Qadar itu akan terjadi.
Namun yanmg jelas dan pasti, hanya terjadi di malam bulan Ramadhan, Allah merahasiaknnya. Namun, pada malam itu ada ciri-ciri alam yang menandakan bahwa malam itu adalah malam Lailatul Qadar (akan dibahas selanjutnya saja).

So...jangan dikendurkan niat ibadahnya selama bulan Ramadhan, agar kita bisa memperoleh malam Lailatul Qadar dengan amalan yang sebanyak mungkin.

Read more: Meraih Lailatul Qadar | Uswah Islam http://uswahislam.blogspot.com/2011/08/meraih-lailatul-qadar.html#ixzz1VYqAnwAB

Jumat, 19 Agustus 2011

KEBENARAN YG TAK TERLIHAT.

Pada umumnya manusia suka utk dipuji, diberi sambutan tepuk tangan, tepukan dipundak dan sejenisnya…. Hal tersebut didapatkannya karena yg bersangkutan mgkn melakukan hal yg benar dan dilihat oleh banyak orang (beberapa diantaranya mmg ada yg sengaja melakukan kebenaran atau kebaikan utk dilihat orang – pamer)

Namun ada jenis kebenaran lain yg mungkin jarang atau gk banyak orang yg melakukan hal ini, yaitu KEBENARAN YG TAK TERLIHAT.

Resikonya kebenaran jenis ini hampir bisa dipastikan tidak dilihat orang, tdk akan ada riuhnya tepuk tangan buat anda, tidak ada tepukan dipundak anda sambil berkata kamu hebat atau good job..!!

Karena kebenaran yg anda sedang lakukan adalah jenis KEBENARAN YG TIDAK TERLIHAT….

Contoh:
Ketika anda mendapatkan kesempatan utk selingkuh dan sungguh2 diarea tersebut anda mendapat lampu hijau utk mlkknnya. Namun kemudian anda teringat akan istri anda yg mungkin berpenampilan sederhana dibandingkan si nona X, dan kemudian anda berkata dlm hati: No, saya tidak akan selingkuh!! ini keliru!! saya akan mengasihi istri dan anak2 saya dengan segenap hati dan dengan kesungguhan sekalipun mereka tampak biasa dan sederhana namun mereka adlh orang2 luar biasa yg TUHAN percayakan kepada saya!!

Ketika anda lakukan dan ambil keputusan seperti itu dlm hatimu, itu yg saya sebut KEBENARAN YG TAK TERLIHAT. Mungkin istrimu tidak mengetahui hal tersebut… tidak ada tepukan dipundak untuk anda, tdk ada riuhnya tepuk tangan utk apa yg anda lakukan, namun percayalah anda sedang membuat PENCIPTA anda tersenyum dan bangga atas apa yg anda lakukan.

Dan ketika YANG MAHA KUASA itu berkenan kepada anda maka jalan hidup andapun akan dibuatNYA indah.

Mari berjuang untuk hidup dalam kebenaran…
Memang tidak mudah namun upahnya sepadan jika kita mau melakukannya.

Dan 1hal yg penting:
Kenikmatan yg TUHAN beri buat hidup kita dan keluarga, tidak akan pernah mampu dilakukan oleh dunia ini. Pemberian TUHAN selalu yg terbaik.

Selasa, 16 Agustus 2011

Jangan malu hidup sederhana


Judul diatas mengingatkan saya akan kesederhanaan yang teramat sangat yang di alami oleh Junjungan kita Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam.

Dalam suatu kisah Rasulullah saw:

Suatu hari 'Umar bin Khaththab r.a menemui Nabi saw. di kamar beliau, lalu 'Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah digerogoti oleh kemiskinan (lapuk).

Tikar membekas di belikat beliau, bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan kulit samakan membekas di kepala beliau.

Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).

Maka, air mata 'Umar bin Khaththab r.a meleleh dan ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi Nabi saw.

Lalu Nabi saw. bertanya sambil melihat air mata 'Umar r.a. yang berjatuhan, "Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?"

'Umar r.a menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, "Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!"

Lalu Nabi saw. menjawab dengan senyum tersungging di bibir beliau:

"Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?"
'Umar menjawab, "Aku rela."
(HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)

Dalam riwayat lain disebutkan, 'Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini."

Lalu, Nabi saw. menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, "Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya." (HR. Tirmidzi)

Jika kehidupan tauladan kita saja sangat sederhana, bahkan jauh di bawah kita, mengapa kita yang masih dapat memikirkan makanan apa yang akan di makan besok lalu mengeluh mengenai kekurangan secara materi yang terkadang tak beralasan.

Karena kata Rasulullah saw pun kebaikan sejati untuk umat muslim di tunda atau bukan di dunia melainkan di akhirat kelak. Karena Allah Maha Mengetahui, bahwa dunia adalah persinggahan.

Jadi tak perlu menggadaikan akhirat yang lebih kekal dengan kebaikan yang berlimpah yang telah Allah persiapkan bagi orang beriman dengan kemewahan dunia yang hanya sementara.

Jauh berbeda apa yang saya lihat di zaman ini, pemimpin (yang notabene adalah wakil rakyat) justru mendapat fasilitas yang sangat mewah. Terlebih lagi dengan apa yang di dapat, mereka tak pernah merasa cukup. Bahkan terus menerus berusaha memperkaya diri dengan berbagai cara.

Berbeda dengan rakyat yang mereka pimpin, begitu menderita. Bahkan tembok harta telah membuat batas yang tak bisa di bendung saking tebalnya. Sangat berbeda dengan pemimpin kita Rasulullah Muhammad Shallahu’alaihi wassalaam.

Salah satu penyebab mengapa banyaknya ketimpangan sosial yag terjadi adalah sifat malu yang teramat sangat. Memang benar malu adalah sebagian daripada iman.

Tapi malu yang bagaimana? Jikalau malu untuk berbuat maksiat kepada Allah itu bisa di sebut malu yang merupakan sebagian daripada iman. Tapi malu yang tidak di perbolehkan yaitu malu untuk hidup sederhana.

Mengapa? Karena bisa saja dengan bersikap sederhana meskipun Allah menganugerahkan harta yang berlimpah dapat mengurangi kesenjangan sosial.

Misalnya, tak ada lagi ajang pamer kemewahan di jalan raya dengan berlomba mengendarai transportasi yang canggih, pakaian-pakaian mewah dengan perhiasan mentereng atau telepon genggam mahal yang berseliweran di jalan yang mampu mengundang para penjambret dadakan (karena terkadang mereka para penjambret bukan sengaja melakukan kejahatan tapi terpaksa karena terdorong ekonomi yang sulit) untuk beraksi.

Karena sederhana bukan berarti hina. Dengan kesederhanaan kita mampu merasakan apa yang terjadi pada orang-orang yang kurang beruntung di banding kita. Selain itu akan melatih hati kita untuk peka akan keadaan sekitar.

Sesungguhnya ujian bukan hanya melalui kesulitan tapi juga bisa melalui harta berlimpah. Jika tak pandai kita mengelolanya maka bencana yang akan didapat.

Karena Allah hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya dan bukan dari melimpahnya harta yang di miliki. Orang yang sebenarnya kaya adalah orang yang sederhana namun memiliki sifat mulia. Bahkan harta tak mampu membuatnya berpaling dari Allah.

Allahua’lam

Tanah


Ada empat anak yang baru saja mengalami duka setelah kematian kedua orang tuanya. Sebuah surat wasiat pun mereka terima dari orang yang mereka cintai itu. Setelah urusan jenazah kedua orang tuanya selesai, empat anak itu pun membuka surat berharga itu.

Ternyata, surat itu menyebutkan bahwa keempat anak itu diberikan pilihan untuk memiliki empat bidang tanah yang berlainan tempat. Ada bidang tanah yang begitu hijau dengan begitu banyak pepohonan kayu yang bisa dijual. Ada bidang tanah yang berada di tepian sungai jernih, sangat cocok untuk ternak berbagai jenis ikan. Ada juga bidang tanah yang sudah menghampar sawah padi dan ladang. Ada satu bidang tanah lagi yang sangat tidak menarik: tanah tandus dengan tumpukan pasir-pasir kering di atasnya.

Menariknya, surat itu diakhiri dengan sebuah kalimat: beruntunglah yang memilih tanah tandus.

Anak pertama memilih tanah pepohonan hijau. Anak kedua pun langsung memilih tanah dengan aliran sungai jernih. Begitu pun dengan yang ketiga, ia merasa berhak untuk memilih tanah yang ketiga dengan hamparan sawah dan ladangnya. Dan tinggallah anak yang keempat dengan tanah tandusnya.

“Apa engkau kecewa, adikku, dengan tanah tandus yang menjadi hakmu?” ucap para kakak kepada si bungsu.

Di luar dugaan, si bungsu hanya senyum. Ia pun berujar, “Aku yakin, pesan ayah dan ibu tentang tanah tandus itu benar adanya. Yah, justru, aku sangat senang!”

Mulailah masing-masing anak menekuni warisan peninggalan kedua orang tuanya dengan begitu bersemangat. Termasuk si bungsu yang masih bingung mengolah tanah tandus pilihannya.

Hari berganti hari, waktu terus berputar, dan hinggalah hitungan tahun. Tiga anak penerima warisan begitu bahagia dengan tanah subur yang mereka dapatkan. Tinggallah si bungsu yang masih sibuk mencari-cari, menggali dan terus menggali, kelebihan dari tanah tandus yang ia dapatkan. Tapi, ia belum juga berhasil.

Hampir saja ia putus asa. Ia masih bingung dengan manfaat tanah tandus yang begitu luas itu. Sementara, kakak-kakak mereka sudah bernikmat-nikmat dengan tanah-tanah tersebut. “Aku yakin, ayah dan ibu menulis pesan yang benar. Tapi di mana keberuntungannya?” bisik hati si bungsu dalam kerja kerasnya.

Suatu kali, ketika ia terlelah dalam penggalian panjang tanah tandus itu, hujan pun mengguyur. Karena tak ada pohon untuk berteduh, si bungsu hanya berlindung di balik gundukan tanah galian yang banyak mengandung bebatuan kecil. Tiba-tiba, matanya dikejutkan dengan kilauan batu-batu kecil di gundukan tanah yang tergerus guyuran air hujan.

“Ah, emas! Ya, ini emas!” teriak si bungsu setelah meneliti bebatuan kecil yang sebelumnya tertutup tanah keras itu. Dan entah berapa banyak emas lagi yang bersembunyi di balik tanah tandus yang terkesan tidak menarik itu.
**

Keterbatasan daya nilai manusia kadang membimbingnya pada kesimpulan yang salah. Sesuatu yang dianggap bernilai, ternyata hanya biasa saja. Dan sesuatu yang sangat tidak menarik untuk diperhatikan, apalagi dianggap bernilai, ternyata punya nilai yang tidak terkira.

Hiasan-hiasan duniawi pun kian mengokohkan keterbatasan daya nilai manusia itu. Tidak banyak yang mampu memahami bahwa ada satu hal di dunia ini yang jauh dan sangat jauh lebih bernilai dari dunia dan isinya. Itulah hidayah Allah yang tidak tertandingi dengan nilai benda apa pun di dunia ini.

Sayangnya, tidak semua orang seperti si bungsu, yang begitu yakin dengan kebenaran bimbingan kalimat dari si pewaris yang sebenarnya. Walaupun harus menggali, dan terus menggali dengan penuh kesabaran. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Kamis, 11 Agustus 2011

bersyukurlah Rohmat.!!!


Aku bersyukur masih hidup
Beberapa hari lalu berkali kulihat byk org yg meninggal dunia disekeliling rumahku.

Aku bersyukur bisa bertahan hidup sering kulihat dan kudengar byk yg mati bunuh diri karena tak sanggup bertahan hidup.

Aku bersyukur bisa sehat sementara tak terhitung jumlah orang sakit tiap harinya.

Aku bersyukur keluargaku masih lengkap sementara disekelilingku kutemui byk diantara
mereka yg tak lengkap lg keluarganya.

Aku bersyukur bisa kuliah dan kerja sementara byk sekali pengangur tak kunjung dapat kerja dan tak kuliah gara2 tak ada kesempatan dan biaya.

Aku bersyukur lahir dari keluarga kurang mampu agar aku tahu apa itu kesabaran,ketegaran dan pelajaran berharga dlm hidup ini.

Dan sampai detik ini ya Allah tiada henti Engkau curahkan nikmat2.sementara satu nikmat saja blm mampu hamba syukuri.

Dengan nyawa ini pulalah, seseorang harus hidup bahagia, di manapun dia berada,
dan dalam kondisi apapun,dia harus bisa bahagia. Kunci kbahagiaan adalah bersyukur.!!

Mensyukuri apa yg kita dpt itu penting,termasuk sebuah nyawa agar kita bisa hidup di alam ini. Dan kebahagiaan bisa dibuat, dengan tidak meminta (menuntut) apapun pd orang lain, tetapi memberikan apa yg bisa diberikan kepada orang lain agar mereka bahagia.
Jadilah seseorang yg merasa ada gunanya untuk kehidupan ini.

Hadapi hidup dgn tabah karena orang2 beruntung bukan tidak pernah gagal. Bukan tidak pernah ditolak, juga bukan tidak pernah kecewa. Justru banyak orang yg sukses itu sebetulnya orang yg telah banyak mengalami kegagalan.


Memang nikmat dan karuniaMU begitu sangat2 besar tak sebanding dgn usaha dan ikhtiar hamba selama ini.
Krn bukan bahagia yg membuat kita bersyukur.tp bersyukurlah yg membuat kita bahagia..


DEPOK.1182011

Saat-saat Rasulullah Tertawa dan Menangis

“Ana Basyarum mistlukum” potongan ayat ini menggambarkan bahwa Nabi Muhammad seperti manusia pada umumnya. Memiliki perasaan dan kebutuhan yang sama, baik psikis maupun biologis. Hanya bedanya, Nabi mendapat wahyu (al-Qur’an), sedangkan manusia tidak.

Nabi Muhammad, Rasulullah dalam hidupnya juga pernah mengalami sedih, bahagia, tertawa, dan bahkan menangis. Sedih ketika ditinggal istri tercintanya, Khadijah. Tertawa ketika mendengar pertanyaan lucu istri sahabat Nabi, Rifa’ah. Itulah pernik kehidupan Rasulullah, sama seperti orang manusia lainnya.

Berikut beberapa kejadian yang membuat Rasulullah bisa tertawa dan menangis.

Suatu hari, Umar meminta izin untuk masuk ke ruangan Rasulullah. Kebetulan, waktu itu ada beberapa orang wanita Quraisy yang sedang berbicara dengan Rasulullah dengan nada yang cukup keras dan mengajukan banyak pertanyaan. Tahu Umar datang, mereka pun langsung lari ke balik tabir.

Lalu Rasulullah pun tertawa sambil menyuruh Umar masuk. Melihat Rasulullah tertawa, Umar berkata, ”Semoga Allah membuatmu tetap dalam keadaan senang dan gembira, wahai Rasulullah!” Rasulullah pun menjawab, “Aku merasa heran dengan ulah wanita-wanita yang berada di sampingku tadi. Begitu mendengar suaramu, mereka bergegas menuju balik tabir.

Umar berkata kepada wanita-wanta tersebut, “Apakah kalian segan kepadaku, sementara kalian tidak segan kepada Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ya, lantaran kamu lebih keras dan lebih kasar daripada Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah pun bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya. Tidak akan pernah setan menemuimu di suatu jalan yang kamu lalui, kecuali pasti mencari jalan lain, selain jalan yang kamu lalui." (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

Tidak sekali itu saja Rasulullah tertawa. Beliau juga pernah tertawa saat ada seorang sahabat yang salah paham dalam menerjemahkan waktu puasa. Tepatnya, tatkala turun ayat, ”...sehingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar." (Q.S.Al-Baqarah. ayat 187).

Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah. Sungguh saya meletakkan benang berwarna putih dan benang berwarna hitam di bawah bantalku, sehingga aku dapat mengenali antara waktu malam dan waktu siang.”

Mendengar itu, Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar. Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya (gelapnya) malam dan putihnya (terangnya) siang pada fajar”. (Shahih Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Adi bin Hatim menceritakan hal itu kepada Rasulullah dan beliau pun tertawa mendengarnya.”

Dalam kejadian lain, ketika istri Rifa’ah mengadu kepada Rasulullah, beliau pun tertawa. Ceritanya, istri Rifa’ah telah dicerai (Talak bain) oleh Rifa’ah. Lantas ia menikah lagi dengan Abdurrahman bin Zubair, namun memiliki penyakit lemah syahwat.

Nah, kedatangannya kepada Rasulullah untuk mengadukan hal itu. Beliau pun hanya tersenyum sambil berkata, “Jadi, kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? Itu tidak bisa, sebelum kamu mereguk madu Abdurrahman dan ia mereguk madumu.”

Selain tertawa, Rasulullah juga banyak menangis. Rasulullah pernah menangis saat mendengarkan bacaan al-Qur’an. Ketika itu, beliau menyuruh sahabatnya, Ibnu Mas’ud untuk membaca al-Qur’an dan Rasulullah mendengarkannya. Karena saking khusuknya mendengarkan bacaan Ibnu Mas’ud, tak terasa air mata Rasulullah mengalir bercucuran.

Rasulullah juga pernah menangis saat menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah sakit keras. Ketika itu, Rasulullan menjenguk dengan ditemani Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdullah bin Mas’ud.

Saat beliau masuk, Sa’ad sudah dikerubungi oleh keluarganya. Lalu, beliau berkata, “Apakah ia sudah meninggal?” Mereka menjawab, “Belum, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menangis. Dan, ketika itu, mereka pun ikut menangis.

Yang tak kalah membuat Rasullah sedih tatkala berziarah ke makam ibundanya. Ketika itu, Rasulullah menangis dan orang di sekitarnya ikut menangis. Setelah itu, beliau bersabda:

“Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampunan untuknya (Ibuku), tetapi aku tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi ke kuburnya dan Ia mengizinkannya. Maka berziarahlah ke kuburnya karena dapat mengingatkan pada kematian.” (Shahih Muslim).*

Rabu, 10 Agustus 2011

Hukum Tarawih Berjama’ah

Perbedaan pendapat tentang sholat tarawih di kalangan ulama tidak hanya menyangkut jumlah raka’at-nya saja tapi juga tentang hukum mengerjakannya yaitu apakah harus dikerjakan sendirian ataukah boleh berjama’ah. Berkaitan dengan hal ini para ulama berselisih paham dan masing-masing memiliki dasar yang dijadikan hujjah yaitu sebagai berikut:

1. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, kebanyakan sahabat Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa sholat sunnat tarawih lebih utama dilakukan dengan berjama’ah di mesjid sebagaimana telah dikerjakan dan diperintahkan Umar Ibnu Khaththab ra beserta para sahabat yang lain.

Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Aisyah ra:

“Bahwasanya Nabi saw mengerjakan sholat (tarawih) di dalam mesjid, maka bersholat pulalah dibelakangnya beberapa orang. Kemudian pada malam berikutnya bersholat lagi Nabi, maka banyaklah orang-orang yang mengikutinya. Di malam yang ketiga mereka berkumpul lagi, akan tetapi Nabi tidak datang ke mesjid. Di pagi hari Nabi bersabda: ‘Saya telah melihat apa yang telah kamu perbuat semalam. Tak ada yang menghalangi saya ke mesjid pada malam itu, selain aku takut sholat itu (sunnat tarawih itu) menjadi di fardukan atas kamu’.” (An-Nail dari Abu Hurairah; 3 : 61)

Diriwayatkan Al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi dari ‘Urwah:

“Telah dikabarkan kepadaku oleh Abdur Rahman Al Qarajji bahwasanya Umar pada suatu malam keluar mengelilingi mesjid di bulan Ramadhan, sedangkan isi mesjid berkelompok-kolompok. Ada yang sholat sendirian, ada yang diikuti oleh beberapa orang. Melihat hal itu Umar berkata: ‘Demi Allah, saya pikir lebih baik kita mengumpulkan orang-orang ini untuk seorang imam (di imami oleh seorang imam)’. Sesudah itu beliau menyuruh Ubay ibn Ka’ab supaya meng-imami mereka dalam sholat malam di bulan Ramadhan. Maka pada suatu malam beliau datang dan orang-orang sedang sholat di-imami Ubay ibn Ka’ab. Melihat itu Umar berkata: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’.” (HR. Bukhari, Ibnu Chuzaimah dan Al-Baihaqi; Subulus Salam 2 : 10).

Atas dasar hadits-hadsits itulah kemudian Imam Syafi’i, jumhur asbab-nya, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikyiah menyatakan bahwa lebih afdol sholat tarawih dilakukan secara berjamaah di mesjid. Sebagian ulama menetapkan bahwa kita tidak boleh mengosongkan mesjid dari qiyam ramadhan, sehingga menurut mereka qiyam ramadhan merupakan satu fardhu kifayah.

2. Imam Malik, Abu Jusuf dan sebagian dari pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa lebih utama sholat sunnat tarawih dikerjakan di rumah masing-masing. Alasan mereka adalah nabi mengerjakannya terus-menerus sendiri tiap malam, kecuali hanya beberapa malam yang dikerjakan berjama’ah. Abu Bakar juga mengerjakan sendirian. Baru pada masa kekhalifahan Umar sholat tarawih dijama’ahkan yaitu pada tahun 14 Hijriah. Diantara yang mengutamakan dikerjakan sendiri adalah Alqamah dan An Nakha’iy. Selain itu mereka juga mendasarkan pada hadits berikut:

“Seutama-utamanya sholat ialah sholat seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali sholat fardhu”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar; An Nail 3 : 60)

3. Golongan ahlul bait (mazhab syi’ah) berpendapat bahwa karena tidak ada hadits yang bisa dijadikan pegangan yang kuat bahwa nabi saw mengerjakan tarawih secara berjama’ah maka mengerjakan sholat sunnat tarawih dengan berjama’ah hukumnya bid’ah.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas semoga kita bisa maklum atas perbedaan yang masih muncul hingga saat ini. Sampai kapanpun perbedaan ini tampaknya akan sulit untuk dipertemukan karena masing-masing pihak yakin atas nash yang dijadikan pegangan. Silahkan menggunakan pilihan berdasarkan keyakinan anda tanpa harus menyalahkan pihak lain sehingga menganggap diri sendirilah yang paling benar dan pihak lain yang berbeda dengan kita adalah pihak yang salah. Rasanya inilah tindakan yang bijak dari kita sebagai umat muslim.

Senin, 08 Agustus 2011

saya.anda dan kita semua,siapkah.???

Keberanian Mengubah Kehidupan


-->

keberanian“Tears will not erase your sorrow; hope does not make you successful; courage will get you there.”
– Air mata tidak akan menghapus dukamu; berharap tidak akan membuatmu sukses; hanya keberanian yang bisa membawamu kesana. Johni Pangalila

Setiap hari kita mempunyai peluang yang menguntungkan, entah itu dalam skala kecil maupun besar. Bila kita cukup berani, maka peluang-peluang tersebut akan menjadi keberuntungan yang besar. Sebab keberanian akan menimbulkan aksi yang signifikan.

Keberanian adalah suatu sikap untuk berbuat sesuatu dengan tidak terlalu merisaukan kemungkinan-kemungkinan buruk. Aristotle mengatakan bahwa, “The conquering of fear is the beginning of wisdom. Kemampuan menaklukkan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan.”

Artinya, orang yang mempunyai keberanian akan mampu bertindak bijaksana tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan yang sebenarnya merupakan halusinasi belaka. Orang-orang yang mempunyai keberanian akan sanggup menghidupkan mimpi-mimpi dan mengubah kehidupan pribadi sekaligus orang-orang di sekitarnya.

Beberapa abad yang silam Virgil mengatakan, “Fortune favors the bold. – Keberuntungan menyukai keberanian.” Marilah kita belajar dari para tokoh olah raga yang mempunyai prestasi berskala internasional, yaitu Carl Lewis, Michael Jordan, Marilyn King dan lain sebagainya. Mereka mempunyai keberanian yang tinggi untuk menepis segala kekhawatiran akan keterbatasan dalam diri mereka. Karena itulah mereka mampu berprestasi di bidang olah raga dan tampil sebagai tokoh yang berkarakter.

Kita juga mempunyai peluang yang sama besar di bidang yang sama ataupun di bidang lain, misalnya di bidang seni, politik, bisnis, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain sebagainya. Tetapi apakah kita sudah mempunyai cukup keberanian menangkap peluang yang datang setiap hari itu dan mengubahnya menjadi prestasi hidup?

Hanya diri kita yang mampu mengukur apakah keberanian kita cukup besar?..

never ever give up..!!!! Innallah ma"ana

Aku mau curhat sedikit..


Akuuu..yaa aku rohmat
memang tak jago nulis ato korespondensi,hanya sekedar pingin coret2 saja,
aku tak tau kapan tanda koma dan titik digunakan ataupun tanda petik disematkan.tapi paling tidak ada minatku untuk memberi hak kepada jari tangan yg Allah anugerahkan sempurna ini agar maksimal,agar bisa kutiliskan ayat kauniyahMU yg maha luas dan tak terbatas.

yaa......... beginilah hidup selalu memberi pilihan yg entah kemana kaki kita dan pikirin kita melangkah dan condong.
mau kemanakah kakimu melangkah rahmat?? apa motivasimu untuk bertahan hidup??
kadang tuhan mentakdirkan kita hidup dalam keadaan miskin supaya kita bisa belajar banyak tentang pengorbanan dan ketegaran dalam hidup.

latar belakangku dari keluarga sederhana tapi sangat luar biasa menurutku
pengembaraanku ke kota ini adalah sebuah perjalan panjang akan hikmah memahami hidup kesederhanaan,ketegasan,kemandirian,sekaligus didikan moral dan moril dari
seorang ibuku
yg sangatttttttttttttttttttttttttttttttttt luar biasa..wonder women.kuat tabah tegar sekaligus keras
dan bapakku
sangattttttttttttttttttttttttttttttttt luar biasa..sabar.sederhana.murah senyum.hampir2 tak pernah marah.
(keingat mereka jadi tak kuat menahan air mata..ighfirlahuma ya rabb)
ya allah lindungi mereka hamba lemah hanya bisa berdoa.jagalah mereka dgn sebaik2 penjagaan hamba hanya bisa berdoa dan sesekali menanyakan kabar mereka lewat pesawat telepon.

merasa tak bisa berbuat apa2 buat mereka sementara harapan terbesar ada dipundakku anak tertuanya
hamba malu belum bisa membuat mereka sepenuhnya tersenyum bahagia.. :'(

yaa aku harus tabah,kuat,optimis pantang menyerah dan yakin tidak ada yg percuma
doa ibu bapakku pasti terkabul,keringat mereka akan sgera kering dan harapan itu masih ada(inget ama lagu atau logo apaaan gitu )|( haha)

tapi bukankah doa jg butuh bukti nak.?? begitu mungkin beliau berkata.
dan sekali lagi membuat kita sukses,kaya dn hebat itu bagi Allah adalah hal2 yg sangat sangat mudah tapi sekali lagi Allah perlu bukti dan kesungguhan kita

sekeras gaya hidup orang tuban yg berkarakter keras,langsung aja gak pake ba bi bu., #$@#%

upss...!!! bkn mengeneralisir tapi begitulah adanya dan nyatanya.
tapi ini bkn utopia hidup,ini kenyataan yg patut aku hadapi
tantangan kedepan dengan segala konsekuensi yg terus menerus dan tanpa henti laksana rel kereta dibutuhkan mental baja sebaja bantalan rel namun dibutuhakn kelembutan memahami hidup laksana roda ban karet supaya stabil antara kendaran dan yg dipakai dengan jalan yg dilalui.
aku tidak iri dengan mereka yg kaya atau mereka yg keran. saban hari keluar masuk duit keluar masuk mall atau yg bergaya hidup macam kelas jetsett..

hufhhhhtt......"" aku hanya iri ketika ada manusia yg senasib denganku memperoleh kesempatan dan keberuntungan yg tak bisa aku miliki.
memang dalam ajaran agamaku aku hanya boleh iri dengan dua macam manusia yaitu yg berilmu dan beramal soleh dan bersedekah lebih baik dari kita.
tapi setidaknya dua kriteria tadi telah terwakili dengan kesempatan dan keberuntungan
karena menurutku kesempatan itu adalah kita kesemptan kita leluasa belajar,berusaha giat dan rajin
pun juga dengan keberuntungan menurutku mereka yg senasib dengan mampu karena kemampuan dia menujadi objek akan datantgnya rizki sehingga memudahkan beramal lebih baik dariku
rasanya sedih sekali .. :(

tapi kesempatan tidak pernah habis dan pintu keberuntungan tidak pernah tertutup
baik buruknya kita toh kita yg nentuin
ayooo rohmat jemput mimpimu.. ><
jangan berhenti..go go go #####
Kesuksesan adalah waktu dimana kita sabar menghadapi proses..

sekecil apapun usahamu dalam merubah hidup pasti akan memberikan perbedaan walauuu sekecil apapun perubahan itu.


Kalau kita tak mampu menjadi beringin yg tegak di puncak Jadilah belukar. tetapi belukar yg baik.yg tumbuh di tepi danau.Kalau kita tak sanggup menjadi belukar.Jadilah saja rumput. tetapi rumput yg memperkuat tanggul pinggiran jalan..

Tidaklah semua menjadi kapten.tentu harus ada awak kapalnya.Bukan besar kecilnya tugas yg menjadikan tinggi rendahnya nilai diri kita. Jadilah saja diri sendiri.Sebaik-baikn​ya dari diri kita sendiri..

Terimakasih Tuhan, orang yang menyayangiku ternyata lebih banyak dari orang yang barangkali tidak. Sehingga ketika aku salah melangkah, begitu banyak tangan-tangan tulus yang menyelamatkan.
wallahu a'lam.. 08-08-11

Dakwah, Politik dan Demokrasi

Quantcast

“Partisipasi politik di alam demokrasi, seperti sekarang kita lakukan, disamping mempunyai akar kebenaran dalam referensi Islam, juga punya makna strategis bagi proyek peradaban kita : bahwa ini adalah upaya meretas jalan bagi umat secara aman dan bebas untuk membangun dirinya, bahkan memiliki dunianya sendiri” (Anis, 2002)

Di dalam Islam, politik merupakan subsistem Islam. Merupakan sarana pula dalam menegakkan Islam. Seperti sabda Rasulullah “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tangannya, kalau dia tidak mampu, maka cegahlah dengan lisannya, dan kalau dia tidak mampu juga, maka cegahlah dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”. Bisa dikatakan sarana yang paling efektif dan efisien. Namun teori perubahan menempatkan dukungan kekuasaan itu setelah kita menyelesaikan-secara relatif- proses rekonstruksi sosial dalam tiga level : pertama adalah rekonstruksi pemikiran dan wawasan keislaman ; kedua, penggudangan stok kepemimpinan umat melalui tarbiyah dan kaderisasi ; ketiga, mobilisasi masa melalui gerakan penetrasi sosial yang menyeluruh, khususnya melalui pembentukan kelas menengah baru kaum muslimin. Itulah mengapa jika Islam dikatakan hanya ada di masjid, merupakan pernyatakan yang bertentangan dengan realitas alam fikiran kita.

Proyek peradaban Islam mengharuskan kita memandang belahan belahan budaya dan politik secara holistic. Dimana keduanya diintegrasikan dalam suatu gerakan sosial budaya yang berorientasi melakukan mobilitas horizontal dengan gerakan politik praktis yang melakukan mobilitas vertikal. Gerakan mobilitas horizontal berfungsi mengkondisikan masyarakat baik secara spiritual, intelektual dan fisik dalam menegakkan Islam secara kaffah. Sedangkan gerakan mobilitas vertikal –gerakan politik praktis –bertujiyaua menyambut arus tuntutan umat secara legal dan konstitusional. Itulah alasan mengapa ketika arus demokratisasi global melanda negeri ini dan peluang-peluang politik mulai terbuka, sementara usaha-usaha rekonstruksi sosial budaya sudah relatif memadai, kita melakukan ekspansi pada tema dan wilayah dakwah yang merambah ke dalam ranah politik dalam alam demokrasi.

Perbedaan antara demokrasi sekuler dengan politik Islam terletak pada pandangan tentang siapa yang memegang kedaulatan. Konsep demokrasi sekuler memberikan kewenangan kedaulatan kepada masyarakat. Hukum dalam demokrasi sekuler berasal dari kesepakatan bersama sedangkan dalam Islam hukum adalah given pemberian tugas konstitusi lah yang seharusnya merealisasikannya.

Perbedaan ini amat mendasar, namun jika kita lebih jeli, titik temunya juga amat mendasar, yaitu pada partisipasi. Siapa yang mau berpartisipasi dalam kancah demokrasi, dan nantinya mampu membawa masyarakat untuk lebih memahami Islam, maka dengan partisipasi dalam alam demokrasilah hukum-hukum Islam bisa dimenangkan dan terealisasi dalam konstitusi negara kita. Sangat ironis apabila tidak ada partisipasi dari umat muslim dan membiarkan hukum-hukum jahiliyah tetap menduduki posisi tertinggi.

Dalam demokrasi juga muncul azaz kebebasan sebebas-bebasnya. Bagi para aktivis dakwah dibebaskan untuk membentuk organisasi, mengadakan acara-acara rekrutmen tanpa adanya pihak yang berhak mengganggu. Tanpa adanya pihak yang mempunyai hak untuk melarang kebebasan itu. Maka, partisipasi politik di alam demokrasi, seperti yang sekarang kita lakukan mempunyai makna strategis bagi proyek peradaban bahwa ini adalah upaya meretas jalan bagi umat secara aman dan bebas untuk membangun dirinya bahkan memiliki dunianya sendiri.

Dalam demokrasi ini sekali lagi juga tidak menutup kemungkinan bahwa dakwah yang bebas ini suatu saat nanti akan menemui suatu rintangan atau penghalang yang muncul dari akibat kebebasan itu sendiri. Maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas dan payung hukum yang kuat. Lebih-lebih adalah menjaga kebebasan berdakwah. Maka dari itu yang pertama kita lakukan adalah memenangkan waca publik, untuk menjaga eksistensi undang-undang, kemudian memformulasikan undang-undang kedalam draft hukum dan terakhir pastikan eksekutif pemerintah menerapkan hukum tersebut.

Apabila diringkas peran dari partisipasi kita untuk menjaga dakwah di alam demokrasi ini ada 3 hal, yaitu memenangkan waca publik akan kebenaran Islam, Legislatif untuk menjaga dan merumuskan undang-undang dan eksekutif pastikan sebagai pelaksana dan mampu merealisasikan undang-undang. Wallahua’lam bissowab.

Template by:

Free Blog Templates