Kamis, 29 September 2011

Tujuan pendidikan islam

Oleh : Anom Wiratmoyo

Tujuan utama pendidikan Islam haruslah untuk mengenal Allah, mencintai-Nya dan mematuhi semua perintah dan larangan-Nya. Tujuan itu dapat terwujud hanya jika murid memiliki keyakinan hanyalah Islam jalan hidupnya dan mengamalkan prinsip-prinsip Islam dalam semua aspek kehidupannya, sesuai dengan tauladan Rasulullah SAW.

Tantangan utamanya adalah bagaimana menyediakan disain kurikulum yang dapat memenuhi tujuan utama di atas sekaligus memenuhi kebutuhan dan pandangan masyarakat Muslim di era global. Al-Imam Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin menawarkan tujuh tangga kurikulum pendidikan Islam, yaitu : Al-Ilmu, At-Taubat, Al-Awa’iq (penghalang), Al-Awaridh (penggoda), Al-Bawa’its (motivasi), Al-Qowadhih (pencela) dan Al-Hamdu wa Asy-Syukru (puji dan syukur).

Saat ini sekolah Islam masih sangat dipengaruhi kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Disain kurikulum yang dibangun adalah untuk mengenal cara kerja dunia dan bagaimana mengendalikannya untuk kepentingan hidup di dunia. Walaupun secara filosofis seharusnya dilandasi nila-nilai keagamaan, dalam implementasinya kurang mendasari pengembangan keimanan yang kokoh.

Sekolah Islam mengintervensi kurikulum nasionl hanya sebatas mengasosiasikan materi pelajaran dengan prinsip-prinsip Islam. Adapun tujuan kurikulum yang dirumuskan dalam SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SK (Standar Kompetensi), KD (Kompetensi Dasar) dan Indikator masih lebih banyak mengikuti pola pikir sekuler.

Kurikulum yang islami harus memenuhi kriteria yang dideskripsikan dalam tangga-tangga berikut:

Tangga pertama, yaitu Al-Ilmu, menjelaskan bahwa tujuan ilmu haruslah bermuara pada tiga hal, yaitu : 1) memahami bahwa seluruh aspek kehidupan haruslah memiliki nilai ibadah, 2) Zat yang wajib diibadahi hanyalah Allah SWT, dan 3) memahami bagaimana cara ibadah yang benar.

Tangga At-Taubat berarti disain kurikulum harus mengantarkan anak didik kembali kepada tiga tujuan ilmu di atas. Mulai dari Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak tiga tujuan ilmu ini sudah harus ditanamkan. Jenjang pendidikan berikutnya ditandai dengan materi yang lebih luas dan dalam. Seluruh tujuan pendidikan dan pembelajaran harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Materi pelajaran tidak hanya diberi atribut prinsip-prinsip Islam tetapi diberi nilai yang digali langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Tangga Al-Awa’iq menjelaskan empat langkah menghadapi empat nilai sekuler dalam pembelajaran, yaitu : duniawi, demokrasi, nafsu dan syaitan. Empat nilai sekuler yang menjadi penyakit bagi kurikulum Islam ini dapat diobati dengan : 1) at-tajarrud (jernih), yaitu memandang dunia dengan jernih bahwa dunia adalah alat atau ladang menuju kebahagiaan akherat; 2) at-taffarud (mengasingkan), mengasingkan diri dari pandangan-pandangan umum manusia yang cenderung mendahulukan kepentingan dunia dari akherat; 3) al-qohru (mengendalikan), yaitu bagaimana mengendalikan nafsu yang melekat pada diri manusia; dan 4) al-muharobah (memerangi), tiada jalan lain dalam menghadapi syaitan kecuali dengan memeranginya.

Tangga Al-Awaridh menjelaskan empat langkah menghadapi empat nilai-nilai negatif kemanusiaan, yaitu : rizki, khowatir (lintasan buruk), syadaaid (penderitaan) dan taqdir (ketetapan Allah). Obat untuk menghadapi empat penggoda ini adalah : 1) At-tawakkal, yaitu meyakini bahwa rizki telah ditetapkan oleh Allah tetapi upaya mencarinya merupakan wujud ibadah; 2) At-tafwidh, berserah diri kepada Allah dan yakin bahwa Allah akan memberi jalan kemudahan; 3) Ash-shobru, jika terkena penderitaan yang menghambat perjalanan maka sabar adalah jalan terbaik; 4) At-taqdir, taqdir sering diartikan negatif yang menghalangi manusia beramal, obat yang terbaik mengatasinya adalah dengan jalan ridho.

Tangga Al-Bawa’its menjelaskan bagaimana cara mengatasi kejenuhan dan demotivasi, yaitu dengan sifat Ar-Roja’ (penuh harap) dan Al-Khouf (rasa takut). Harapan berarti seluruh motivasi belajar adalah untuk mencapai ridho dan rahmat Allah SWT. Harapan saja tidak cukup mendorong perilaku seseorang, dibutuhkan juga rasa takut.

Tangga Al-Qowadhih menjelaskan bahwa setelah mencapai kesuksesan manusia cenderung ingin dipuji, atau riya. Jika ia bisa mengatasi keinginan dipuji oleh orang lain, ia terjebak untuk memuji dirinya sendiri, atau ’ujub. Dua hal ini akan menghalangi perjalanan murid untuk mengenal dan mencintai Allah SWT. Obat untuk mengatasi dua penyakit ini adalah al-Ikhlash dan adz-Dzikru al-Minnah.

Ada rasa bangga bahwa Allah telah memilihnya. Menjadikannya sukses dan mengenal Allah SWT. Ia tenggelam dalam lautan ni’mat dan jasa Allah SWT. Ia diberi taufiq dan hidayah, pertolongan dan perdorong, penguat dan pendukung. Dengan izin Allah ia pun menyadari bahwa itu adalah sifat ketergelinciran atau ghurur. Ia harus sangat berhati-hati menghadapinya, karena keadaannya yang sangat lembut. Ia pun terus-menerus bermunajat kepada Allah. Sampailah munajatnya itu pada dorongan untuk terus-menerus memuji dan bersyukur hanya kepada Allah. Inilah tangga Al-Hamdu wa Asy-Syukru.

Ir. Anom Wiratmoyo,M M adalah Kepala SMA Insan Kamil Bogor

Sabtu, 24 September 2011

jalanku terjal.. (catatan minggu ini)

menggiring langkah
bertahan
berharap
setiap langkah
membuat kaki kuat

lelah mengalah
letih merintih
takut meradang

keberanian mencuat
gelap berangsur terang
kabut berangsur surut
panas berangsur dejuk
dingin berangsur hangat
semua bersemi
melewati derap langkah
menghijau,berbunga,berkembang

semua beralih
sekejap hilang
musnah
tak tersisa
tak berbekas
tak lama kemudian
hampa..
hampa
hampa

Dan kepada khaliq tempat beradu,mengadu,mempertanggung jawabkan
polah,tingkah mahkluk ciptaanya
berpeluh kesah,bersimbah keringat





@terangkai bunga kata.sobat hidup hanya sekali perindah dan percantiklah,kala ujian datang anggaplah ia hanya jalan kerikil menuju taman indah..
semuanya berangsur,berganti,dan pasti pergilirkan.
ALLAHU AKBAR!!!

Rabu, 21 September 2011

Kau ini bagaimanaa.. atawa aku harus bagaimana???



Kau ini bagaimana…..

kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya

Kau suruh aku berpikir….aku berpikir kau tuduh aku kafir

Aku harus bagaimana..

Kau bilang bergeraklah…..aku bergerak kau curigai

Kau bilang jangan banyak tingkah…aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana..

Kau suruh aku memegang prinsip…. aku memegang prinsip ..kau tuduh aku kaku

Kau suruh aku toleran…..aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana…

Kau suruh aku maju…aku mau maju kau selingkung kakiku

Kau suruh aku bekerja…aku bekerja kau ganggu aku..

Kau ini bagaimana???

Kau suruh aku taqwa…khutbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa

Kau suruh aku mengikutimu…..langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana..

Aku kau suruh menghormati hukum ..kebijaksanaanmu menyepelekannya..

Aku kau suruh berdisiplin…..kau menyontohkan yang lain…..

Kau ini bagaimana…

Kau bilang Tuhan sangat dekat…kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat

Kau bilang ..kau suka damai kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana???

Aku kau suruh membangun…aku membangun kau merusakkannya

Aku kau suruh menabung,….aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana??

kau suruh aku menggarap sawah….sawahku kau tanami rumah-rumah..

kau bilang aku harus punya rumah…aku punya rumah…. kau meratakannya dengan tanah

aku harus bagaimana..

aku kau larang berjudi..permainan spekulasimu menjadi-jadi..

aku kau suruh bertanngunggjwab..kau sendiri terus berucap Wallahu a’lam bisshawab..

kau ini bagaimana..

kau suruh aku jujur…aku jujur kau tipu aku

kau suruh aku sabar..aku sabar kau injak tengkukku

aku harus bagaimana..

aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku..sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu

kau bilang kau selalu memikirkanku…aku sapa saja kau merasa terganggu

kau ini bagaimana..

kau bilang bicaralah..aku bicara kau bilang aku ceriwis

kau bilang jangan banyak bicara ..aku bungkam kau tuduh aku apatis

aku harus bagaimana..

kau bilang kritiklah…aku kritik kau marah

kau bilang carikan alternatifnya ..aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

kau ini bagaimana..

aku bilang terserah kau..kau tidak mau

aku bilang terserah kita…kau tak suka

aku bilang terserah aku…kau memakiku

kau ini bagaimana….atau aku harus bagaimana??



KH.Mustafha Bisri (Gus Mus), 1987

Bukan sekedar mengganti kurikulum
In Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan, SMA di Jepang, SMK Jepang, SMP Jepang

Seperti halnya di Indonesia, pergantian kurikulum juga terjadi di Jepang, sekalipun tidak dalam frekuensi yang sama. Panduan tentang muatan pembelajaran di sekolah termuat dalam gakusyuushidouyouryo (学習指導要領). Dokumen ini berisikan keterangan lengkap tentang tujuan pembelajaran di sekolah, materi pelajaran, pendidikan moral dan kegiatan khusus terkait dengan sekolah. Gakusyuushidouyouryou dapat dikatakan sebagai standar minimum yang harus dicapai oleh sekolah-sekolah negeri (国立学校)、sekolah publik (公立学校)、dan sekolah swasta (私立学校).

Gakusyuushidouyouryou pertama kali dikeluarkan pada tahun 1947, bertepatan dengan lahirnya UU Pendidikan di Jepang. Selanjutnya berkali-kali mengalami pemabaharuan, yaitu pada tahun 1951, 1956, 1961, 1971, 1980, 1992, 2002, dan yang akan datang adalah 2011. Pembuatan dan penerapannya secara sempurna biasanya memakan waktu 2 tahun setelah diterbitkan, dan biasanya SD dan SMP akan menerapkan duluan daripada SMA. Selain pendidikan dasar dan menengah, pendidikan pra sekolah (TK) juga mempunyai gakusyuushidouyouryou.

Pembaharuan kurikulum di Jepang mengikuti pola 10 tahunan. Tentunya ada hal baru yang dimasukkan dalam setiap kurikulum, mengikuti perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Jepang dan dunia. Tetapi sekalipun perubahan selalu terjadi, para pakar pendidikan Jepang mensinyalir adanya kemunduran dalam dunia pendidikan di Jepang.

Kemunduran tersebut di antaranya adalah menurunnya minat bersekolah anak-anak, dekadensi moral dan kedisiplinan yang mulai rapuh, juga prestasi belajar yang menurun yang terbukti dari hasil PISA atau TIMMS, sekalipun beberapa pakar meragukan alat ukur ini sebagai alat yang tepat untuk mengukur kemampuan akademik siswa.

Jadi apa sebenarnya yang harus diubah dalam pembaharuan kurikulum ?

Professor saya yang mendalami tentang hal ini menyampaikan bahwa permasalahannya bukan terletak kepada perubahan isi setiap mata pelajaran (kyouka katei), dan juga bukan pada perubahan metode pengajaran di kelas, tetapi gakusyuushidouyouryou harus memuat perubahan sistem pendidikan di sekolah.

Konsep manajemen kurikulum (curriculum management) pada umumnya adalah mengotak-atik mata pelajaran dalam kurikulum, mengubah dan memperbaiki tujuan dan menambahkan atau mengurangi muatan belajar. Tindakan seperti ini bukannya salah, tetapi bagian terpenting dari sebuah pendidikan adalah bukan pada isinya yang banyak, tetapi pendekatan cara mendidik.

Oleh karena itu Professor saya menggunakan istilah “kyouikukatei“(教育課程)yang kalau diterjemahkan secara gampang adalah Rencana Pendidikan di Sekolah. Isinya bukan saja mengenai kegiatan intra kurikular tetapi juga ekstra kurikular. Yang dimaksud dengan kegiatan ekstra kurikular bukan saja berupa klub (bukatsudou), tetapi seharusnya dikembangkan berdasarkan rundingan guru, kepala sekolah, orang tua dengan mempertimbangkan kemampuan anak dan kondisi lingkungan/daerah di mana dia berada.

Dengan kata lain, nafas pendidikan yang mesti dibawakan oleh gakusyuushidouyouryou bukanlah perkara yang memaksa guru atau menyengsarakan guru (karena ketidakjelasannya) dalam mengembangkan materi yang dia ajarkan. Akan tetapi gakusyuushidouyouryou harus mengajak komponen sekolah untuk membicarakan bagaimana pendidikan di sekolah seharusnya dikembangkan berdasarkan standar minimal yang ditetapkan pemerintah.

Jika ada seorang guru berhasil mengembangkan materi pelajarannya, mengembangkan metode baru dan selesai dengan cepat menyusun silabus pengajaran, itu bukanlah sebuah kemajuan bagi pendidikan di sekolah. Tetapi yang terpenting adalah menjadikan keberhasilan itu menjadi bukan milik pribadi, tetapi dimiliki oleh semua guru dan aparat sekolah.

Gakusyuushidouyouryou harus diterjemahkan bersama dalam pembicaraan intens antara guru, kepala sekolah dan sesekali melibatkan orang tua. Hasil penggodokannya akan berupa implementasi program pendidikan anak di sekolah.

Dengan landasan berfikir seperti ini, maka pendidikan tidak lagi sekedar merupakan jiplakan apa yang tertera dalam kurikulum, tetapi pendidikan di sekolah merupakan pengembangan standar minimal yang dituliskan di dalam gakusyuushidouyouryou menjadi sebuah kegiatan/program yang berorientasi kesiswaan.

Untuk keperluan tersebut, tidak cukup jika hanya guru yang bergerak, atau kepala sekolah yang menggerakkan. Tetapi perlu kerelaan hati untuk duduk membincangkannya dengan membawakan data akurat tentang siswa, potensi sekolah(guru), orang tua, dan masyarakat (lingkungan).

Kamis, 15 September 2011

Mengasah Kemampuan Diri

Seorang penebang mengasah kapaknya untuk mengumpulkan kayu. Seorang pemburu mengasah pisau dan mengencangkan busur. Seorang penulis meraut pensil. Mereka semua harus memperbarui peralatannya. Mereka itu adalah anda dan saya. Ini adalah prinsip sederhana tentang produktivitas. Tentu, tidak akan banyak pohon yang bisa ditebang oleh kapak yang telah tumpul dan aus. Tidak akan ada buruan yang mampu ditaklukkan oleh busur yang telah renta. Tidak ada sebuah kata bisa tertulis dari pensil yang patah. Maka, apa yang harus kita asah agar tetap meraih kehidupan pribadi dan karier yang penuh dan berlimpah?Anda memiliki sesosok tubuh yang pasti renta terkikis usia. Juga kecerdasan
yang segera tak banyak berarti tertinggal kemajuan jaman. Serta sekepal hati
nurani yang mudah diburamkan oleh debu-debu dunia. Maka tiada yang patut kita rawat selain tubuh agar senantiasa menjadi rumah yang nyaman bagi jiwa. Tiada yang perlu kita asah selain pikiran dan ketrampilan agar selalu dapat digunakan untuk membuka pintu kemakmuran. Serta, tiada yang harus kita pertajam selain hati nurani yang memungkinkan kita mendengar nyanyian kebahagiaan hidup ini.

Sumber : milis indonesia-community

SABAR VS MARAH

MARAH

Ini adalah perasaan pengganggu no 1 manusia. Tentu saja anda pernah mengalami marah terhadap sesuatu atau seseorang dan bisa jadi marah pada diri sendiri. Dalam berbagai bentuknya, perasaan ini telah merugikan banyak aspek kehidupan manusia. Bila anda tahu persis bahwa dengan marah sangat banyak sekali hal yang harus dikorbankan, maka anda tidak akan sanggup untuk marah. Sebenarnya menahan kemarahan bisa menjadi sangat mudah bila pada saat ingin marah anda ingat semua kerugian-kerugian potensial yang akan terjadi bila anda tetap lanjutkan kemarahan tersebut. Persoalan utamanya adalah ketika emosi negatif sedang memenuhi jiwa anda, biasanya tentu saja tidak akan sempat lagi untuk mengingat hal-hal yang bersifat logis. Marah adalah kondisi ketika anda tidak berpikir, tidak mungkin seseorang bisa marah pada kondisi berpikir.

MARAH: Grrrrrrrrrrhhhhhhh…..hahhhhhhh mau apa sih diaaaaa……dasarrrrr ga tau diri!!!!!

SABAR: kenapa sih?

MARAH: Jangan Banyak Tanya!!!!!!kamu tahu apa emangnyaaaaaa

SABAR: saya emang ga tau apa-apa, justru itu saya mau tanya sama kamu

MARAH: Dia tuh kurang ajarrrrrrrr!!! Benci akuuu

SABAR: boleh cerita ga kenapa?

MARAH: Dia merendahkanku…sama sekali tidak menganggapku….ga tau diri….

SABAR: Oh gitu..thanks yah udah mau kasi tahu..ada yang bisa saya bantu?

MARAH: Ga ada…aku mau dia menyesalllll atas semua ini…..Grrrrrrhhhhhhh

SABAR: Hmmmm…jadi kamu maunya dia menyesal…tapi kok sepertinya dari nadamu kamu tidak hanya ingin itu deh….

MARAH: Iya…saya juga ingin pukul dia….atau paling tidak ingin teriaaaakkkk sepuasnyaaaaa

SABAR: Gini, andai kata kamu pukul dia, lalu dia kesakitan…apakah ada untungnya bagi kamu?

MARAH: Ahhhh…ga tau….pokoknya aku ingin puaskan hatiku melihat dia tersiksa….

SABAR: Loh..loh tadinya katanya kamu ingin dia menyesal..tapi kok sekarang tujuannya berubah

MARAH: Kamu diem deh….tahu apa kamu??

SABAR: Ya sudah saya diem…terima kasih sudah mau diskusi sama saya

MARAH: Melanjutkan kekesalannya…..

(Waktu berlalu beberapa menit)

MARAH: Ngapain kamu disini..pergi sana…..

SABAR: Lah jangan dong…kamu boleh minta saya diem, saya hargain kamu, tapi jangan suruh saya pergi, sayakan peduli sama kamu…saya melihat kamu bahagia…saya baru akan pergi saat kamu bahagiaa

MARAH: Bagaimana aku bisa bahagia kalau aku dihina seperti ini…

SABAR: Iya..saya ngerti kok…emang ga mudah kalau mengalami hal seperti yang kamu alami..

MARAH: Hmmmmm

SABAR: Orang lain di posisi kamu mungkin ga akan sekuat kamu…ijinkan saya terus bersamamu disini yah

MARAH:kamu kenapa kok mau selalu bersamaku….aku tahu aku perlu sabar..tapi kan sabar ada batasnya…ada saat aku marah…wajar dong…kan sangat manusiawi…semua orang juga pernah marah kok….

SABAR: terlepas dari sabar ada batasnya atau tidak, itu tidak penting, tapi yang saya tahu sebagai hal yang penting adalah kebahagiaanmu. Kebahagiaanmu sangat penting bagi saya dan terlebih lagi bagi orang-orang yang kamu cintai..

MARAH: *Hening*

SABAR: kamu pernah bahagia..jadi untuk kamu menjadi bahagia lagi adalah hal yang mudah…

MARAH: tapi kan tetep aja rasa kesel ini masih ada, ga mungkin dong aku biarin dia menghina aku seperti itu

SABAR: Okk.. kalau ini saya tidak mau komentar, karena dulu waktu saya belum sesabar ini dulu saya juga pemarah..sering disakiti..dan saya tahu apa yang kamu rasakan sekarang..saya mengerti…dan saya juga ingat bahwa dulu saya juga sering nyakitin orang lain tanpa saya sadari…

MARAH: kok kamu bisa berubah sekarang?

SABAR: Karena saya udah kapok..semua kemarahan saya hanya mencuri masa depan, merusak diri saya sendiri…pada titik tertentu saya sadar akan betapa pentingnya diri saya.. ini membuat saya ingin terus menyayangi diri dengan cara bersabar..

MARAH: Ga mungkin segampang itu…

SABAR: Emang ga mungkin, tapi inilah harga yang harus dibayar..perlahan-lahan ketika saya belajar sabar dan mau memaafkan setiap kesalahan orang lain, saya mulai melihat perubahan juga dalam hal rejeki dan kesehatan.

MARAH: Maksudnya?

SABAR: iya..belakangan saya baru ngeh disaat saya menjadi lebih sabar dibanding sebelum, rejeki saya lebih banyak..dan kesehatan badaniah juga makin ok..memaafkan menjadi tambah mudah bagi saya saat saya sadar bahwa sebagai manusia saya juga sangat sering menyakiti orang lain secara sadar atau tidak dan secara langsung atau tidak langsung.

MARAH: *terdiam*

SABAR: Saya sadar bahwa kesabaran memuliakan diri saya..dulu saya habiskan energy saya dalam kemarahan..tapi selalu ya sehabis marah saya merasa hina..merasa bersalah..merasa sia-sia..

MARAH: *Berubah mood*

Perhatikan..sesungguhnya kemarahan hanyalah asap saja..berlalu begitu saja dengan sebuah diskusi MINDSET.

Mengapa Ayam Menyebrang Jalan?

(menurut banyak Org dari politikus, ilmuan, orang sipiL Dll) Berikut jawaban-jawaban mereka:

Roy Suryo:
Ini rekayasa, kalau saya teliti dari metadata ayam tersebut bahwa ayam itu telah mengalami modifikasi sedemikian rupa sehingga jadilah dalam tanda kutep ayam yang sempurna. Jadi bahwa ayam ini adalah rekayasa adalah benar bahwa 100% ini adalah rekayasa.
Guru TK :
Supaya sampai ke ujung jalan.
FBI:
Beri saya lima menit dengan ayam itu, saya akan tahu kenapa.
Aristoteles:
Karena merupakan sifat alami dari ayam.
Martin Luther King, Jr.:
Saya memimpikan suatu dunia yang membebaskan semua ayam menyeberang jalan tanpa mempertanyakan kenapa.
Freud:
Fakta bahwa kalian semua begitu peduli pada alasan ayam itu menunjukkan ketidaknyamanan seksual kalian yang tersembunyi.
George W Bush:
Kami tidak peduli kenapa ayam itu menyeberang! Kami cuma ingin tau apakah ayam itu ada di pihak kami atau tidak, apa dia bersama kami atau melawan kami. Tidak ada pihak tengah di sini!
Darwin:
Ayam telah melalui periode waktu yang luar biasa, telah melalui seleksi alam dengan cara tertentu dan secara alami tereliminasi dengan menyeberang jalan.
Einstein:
Apakah ayam itu menyeberang jalan atau jalan yang bergerak di bawah ayam itu, itu semua tergantung pada sudut pandang kita sendiri.
Nelson Mandela:
Tidak akan pernah lagi ayam ditanyai kenapa menyeberang jalan! Dia adalah panutan yang akan saya bela sampai mati!
Thabo Mbeki:
Kita harus mencari tahu apakah memang benar ada kolerasi antara ayam dan jalan.

Isaac Newton:
Semua ayam di bumi ini kan menyeberang jalan secara tegak lurus dalam garis lurus yang tidak terbatas dalam kecepatan yang seragam, terkecuali jika ayam berhenti karena ada reaksi yang tidak seimbang dari arah berlawanan.
Programmer Oracle:
Tidak semua ayam dapat menyeberang jalan, maka dari itu perlu adanya interface untuk ayam yaitu nyeberangable, ayam-ayam yang ingin atau bisa menyeberang diharuskan untuk mengimplementasikan nya jadi di sini sudah jelas terlihat bahwa antara ayam dengan jalan sudah loosely coupled.
Sutiyoso:
Itu ayam pasti ingin naik busway.
Soeharto:
Ayam-ayam mana yang ndak nyebrang, tak gebuk semua! Kalo perlu ya dikebumiken saja.
Habibie:
Ayam menyeberang dikarenakan ada daya tarik gravitasi, dimana terjadi percepatan yang mengakibatkan sang ayam mengikuti rotasi dan berpindah ke seberang jalan.
Ariel:
Karena ingin menghapus jejakmu
Nia Dinata:
Pasti mau casting ‘30 Hari Mencari Ayam’ ya?
Desi Ratnasari:
No comment!
Dhani Ahmad:
Asal ayam itu mau poligami, saya rasa gak ada masalah mau nyebrang kemana juga…
Chinta Laura:
Ayam nyebrang jhalaan..? Karena gak ada owject…biecheeck. …
Julia Perez:
Memangnya kenapa kalo ayam itu menyeberang jalan? Karena sang jantan ada di sana !
Daripada sang betina sendirian di seberang sini, yaaahhhh dia kesana
laahh… Cape khan pake alat bantu terus?
Roy Marten:
Ayam itu khan hanya binatang biasa, pasti bisa khilaf…

Butet Kartaredjasa:
Lha ya jelas untuk menghindari grebekan kamtib to?
Megawati:
Ayamnya pasti ayam wong cilik. Dia jalan kaki toh?
Harmoko:
Berdasarkan petunjuk presiden
Gus Dur :
‘Kenapa ayam nyebrang jalan? Ngapain dipikirin? Gitu aja kok repot!
Hahahahha ini hanya humor belaka,,, yang bermaksud untuk menghibur temen2 semua,, dan ini semua fiktif :)

Senin, 12 September 2011

Status FB mu Harga dirimu...

Bismillah....

Afwan ya Ikhwah fillah

(Barakallahu fiykum)...

Jika Antum katakan,

"FB inikan yg Punya Akun Saya, jadi terserah saya mau menulis Apa, kok kamu yg sibuk !!!,,,

Afwan ya Ikhwah fillah, Maka Ana jawab,,, Perkataan Antum semua, itu Benar adanya (Karena itu adalah Hak Antum sebagai Pemilik Akun), tapi,Izinkanlah sekarang Ana yg bertanya ......

Bukan salah satu hak seorang Muslim kepada saudaranya ialah saling nasehat menasehati ?

Bukankah pertemanan disarana FB ini, dibangun atas dasar Untk saling Nasehat dan Menasehati untk menapaki jalan menuju kepada Kebenaran ?

Afwan, ya Ikhwah fillah, Jika Antum katakan 'TIDAK' maka Ana Jawab ' Wallahu Ta'ala A'lam '... dan Jika Antum Jawab YA, Maka Ana katakan,Coba Mari Kita Renungkan dan Pikirkan Sejenak Kalimat dibawah ini....

Facebook bertanya,

“ Apa yg Anda pikirkan..?!”

Kami menjawab, “Haruskah kami menuliskan semua yg kami pikirkan..?! Hingga orang-orang tahu, apakah kami itu pengeluh,suka berkeluh kesah, pencerca, lemah, pecinta dunia, ataukah yg lainnya..!!

Atau sampai kami membuka aib- aib kami, yg mana Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah sembunyikan dari selain kami.. ?!”

Wallahul Musta'an...

NB : STOP !, Jangan Jadikan FB Sarana buku harian Kita, tapi Jadikanlah ia sebagai ladang kebaikan (itupun haruslah dengan Ilmu, Dalil dan Hujjah)...Karena ILMU lah yg membenarkan ni'at dan ni'at membenarkan amal... Ingatlah, Penulisan Statusmu adalah Harga dirimu....

ya Ikhwah fillah (Barakallahu fiykum)...

Imam Al- Bukhari Rahimahullah berkata :

Al-Ilmu Qobla al-Qouli Wal-'Amali {Berilmu sebelum Berucap dan Beramal)

Kaidah ini diambil Beliau dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yg artinya) :

Ketahuilah, bahwasanya tidak ada sesembahan yg berhak disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu). (Ushuuluts Tsalaatsah, Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab Rahimahullah).

Syaikh Abdurrahman An- Najdi Rahimahullah berkata: Penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah )mengambil dalil dgn Surat Muhammad,Ayat 19 yg mulia ini atas wajibnya memulai dengan berilmu sebelum berkata dan beramal, sebagaimana Imam Al- Bukhari Rahimahullah mengambil kaidah Ushul Fiqh didalam Muqaddimah Kitab Shahihnya (Bab : Ilmu ) dari dalil dgn ayat tersebut atas kebenaran dari apa yg beliau memberi judul Bab dengannya. Dan demikian, bahwasanya Allah Ta'ala memerintah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dua perintah, dengan berilmu kemudian beramal. Dan memulai perintah dgn berilmu dalam Firman-Nya :

'' fa'lam annahuu Laaaaailaaha illallahu ''

kemudian mengiringi perintah dengan beramal dalam Firman-Nya :

'wastaghfir lidzambika' .

Maka ini menunjukkan bahwa tingkatan ilmu lebih dikedepankan daripada tingkatan amal. Dan bahwasanya Ilmu merupakan syarat dari benarnya perkataan dan perbuatan, maka keduanya tidaklah dianggap kecuali dengan Ilmu, dan Ilmu didahulukan atas keduanya, dikarenakan sesungguhnya Ilmu itu yg membenarkan niat dan niat yang membenarkan amal.

(Haasyiyah Tsalaatsatul Ushuul, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al- Hanbali an-Najdi Rahimahullah).

Afwan ya Ikhwah fillah (Barakallahu fiykum),

Seperti yg sudah kita ketahui Bersama-sama.. Sesungguhnya Ilmu (Sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah yg Shahih dengan Pemahaman Para Salafush Shalih dan orang-orang yg mengikuti Mereka dengan Baik) yg membenarkan Ni'at dan Ni'at lah yg membenarkan setiap Perbuatan...

ya Ayyuhal Ikhwah (Barakallahu fiykum), Mari Kita gunakan FB/Internet sebagai sarana kebaikan (itupun jika kita mampu,haruslah dgn Ilmu,dalil / hujjah).

Dan janganlah beranggapan bahwa apa yg kita lakukan di FB tidak memiliki akibat. Karena Sesungguhnya ucapan, pendengaran dan hati akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Salah satunya adlh apa yg kita lakukan di Sarana FB ini... Allah Subhanahu Wa Ta'ala Berfirman (yang artinya) :

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Ingatlah) Ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada satu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (TQS.Qaf, 16,17 dan 18).

"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggung jawabannya." (TQS.Al-Isra' , (17),36).

STOP !!! Jangan Jadikan FB buku harian Kita (Catatan tentang Apa yg Kita Pikirkan dan apa yg sedang Kita lakukan atau kerjakan), tapi Jadikanlah sarana FB ini menjadi Ladang Kebaikan (Tulisan yg bermanfa'at untuk diri kita dan orang lain dan Menyambung Silahturahmi jika bertemu disarana FB ini kepada Orang-orang atau Sahabat sudah lama tidak bertemu)...

Wallahul Musta'an...

Afwan ya Ikhwah fillah, Coba perhatikan, dan Renungkan apa yg Ana tuliskan diatas, dan Insya Allah,Semoga Antum bisa memahaminya...

Astaghfiirullah wa atubu ilayka...

Ya Rabb,jadikanlah kami hamba-hamba- Mu yang mempunyai Akhlak dan lisan yg baik, yang senantiasa Berdo'a kepada-Mu dalam setiap keluh kesah kami dan hanya kepada-Mu pula kami meminta dan memohon Pertolongan...

Wallahu Ta'ala A'lam.

Insya Allah, Apa yg Ana tulis bisa bermanfa'at untk Ana khususnya dan Antum semua, dan jika Apa yg Ana tuliskan ini mengandung Kebaikan dan Suatu Realita yg ada , Maka, bantulah Ana untk menyampaikan Nasehat Moral ini, Dan jika penulisan ini menyimpang dari Tuntunan Syari'at, Maka jangan Ragu dan Bimbang, Nasehatilah dan luruskan Ana dengan Ilmu, Dalil dan Hujjah, Karena jika Dalil dan Hujjah telah Tegak, Maka, Insya Allah, Antum akan temukan Ana adalah Orang yg termasuk Ruju' pada Kebenaran. (UBHBS).

Barakallahu fiykum.

Ana Akhiri dengan Ucapan,

Subhanakallahumma wa bihamdika, Asyhadu alla ilaha illaa anta, Astaghfiiruka wa atubu 'ilayka.

Sabtu, 10 September 2011

Membangun Tanggung Jawab Profesi Dalam Pelaksanaan Sertifikasi Guru


Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru sebagi subyek pendidikan sangat menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai masukan (input) yang menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Lengkapnya hasil studi itu adalah: di 16 negara sedang berkembang, guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%, sedangkan manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri, kontribusi guru adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22% dan sarana fisik 19% (Dedi Supriadi, 1999: 178). Fasli Jalal (2007:1) mengatakan bahwa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Oleh karena itu keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.

Hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang bermutu. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.

Problematika Sertifikasi Guru

Pengertian sertifikasi mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES) disebutkan Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidates credentials and provides him or her a license to teach. Dalam UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut, yang tentunya memiliki penerapan berbeda dibeberapa negara Hasil studi Educational Testing Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34). Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar. Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.

Di Indonesia, untuk mengikuti kegiatan sertifikasi ditahun 2011 ini para guru harus mengikuti tes awal untuk menilai kompetensi pendidik yang sebenarnya. Pelaksanaan sertifikasi guru yang bertujuan menjadikan pendidik profesional mulai tahun ini mengalami perubahan signifikan. Kelayakan guru memperoleh sertifikat pendidik profesional tidak hanya melalui penilaian portofolio, tetapi tes awal menjadi tolok ukur utama. Berdasarkan pengalaman jika hanya berkas portofolionya yang dinilai dan mayoritas guru lulus, sehingga berkas-berkas tersebut bisa saja dimanipulasi. Oleh sebab itu, dari kuota sertifikasi untuk 300.000 guru tahun 2011, hanya satu persen yang dijatah lulus lewat penilaian portofolio.Bagi yang tidak lulus pada jalur portofolio tersebut otomatis harus mengikuti sertifikasi jalur PLPG di masing-masing rayon atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Bagi para guru yang lulus pada tahap awal, berkas portofolio yang merupakan track record para guru tersebut akan dinilai. Sebagaimana dilansir Suara Merdeka.com 28 Juli 2011 Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat menyebutkan sebanyak 99% peserta atau 1.309 guru gagal atau tidak lulus dalam tes awal sertifikasi portofolio yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dari 1.323 guru yang mengikuti tes awal melalui sistem online, hanya 14 guru yang lulus dan bisa dinilai berkas portofolionya. Koordinator Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat Prof Wahyu Hardiyanto mengungkapkan, ketidaklulusan itu karena para pendidik tersebut tidak bisa memenuhi ketentuan nilai yang disyaratkan. ”Sesuai dengan ketentuan, para peserta harus bisa menyelesaikan 75% soal tes awal dalam bentuk pilihan ganda dengan waktu 100 menit untuk materi eksakta dan non-eksakta serta pedagogik. Kalau itu tidak terpenuhi, dianggap gagal untuk mengikuti penilaian berikutnya

Lebih jauh, dalam kurun waktu 2007 hingga sekarang, setidaknya dalam proses sertifikasi ditemui beberapa permasalahan, antara lain; Pertama, kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang malas untuk meneliti di kelasnya sendiri dan terjebak dalam rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tak muncul kepermukaan. Karya tulis mereka dalam bidang penelitian tidak terlihat. Padahal setiap tahun, Departemen Pendidikan Nasional (depdiknas) selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran (LKGDP) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh direktorat Profesi Guru. Mereka baru mau meneliti ketika akan mengurus naik pangkat. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Kedua, masalah kesejahteraan. Guru sekarang masih banyak yang belum sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan antara guru yang sudah PNS dan guru yang belum PNS. Banyak guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku. Mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, sehingga tidak mungkin sanggup membeli buku. Hal ini karena kecilnya penghasilan setiap bulannya. Dengan adanya sertifikasi guru kesejahteraan para guru ikut meningkat. Ketiga guru kurang kreatif dalam membuat alat peraga atau media pembelajaran. Selama ini masih banyak guru yang hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajarannya. Seandainya para guru kreatif, pasti akan banyak ditemukan alat peraga dan media pada pembelajarannya. Kondisi minimnya dana justru membuat guru itu bisa kreatif memanfaatkan sumber belajar lainnya yang tidak hanya berada di dalam kelas, contohnya : pasar, museum, lapangan olahraga, sungai dan lain sebagainya.

Peran Guru Pasca Sertifikasi

Persoalan yang muncul kemudian pasca sertifikasi guru, adalah bahwa sertifikasi itu sendiri tidak memiliki jaminan jangka panjang untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Guru yang tersertifikasi lebih merupakan pencerminan kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karenanya sertifikasi haruslah dikaitkan dengan proses belajar yang berkesinambungan, sehingga sertifikasi itu sendiri tidak bisa diasumsikan sebagai keunggulan kompetensi guru sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan cara belajar sepanjang hayat. Disinilah peran pemerintah untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, melalui penataan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, mengingat peningkatan kompetensi guru sekaligus menjadi indikator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri.

Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutupi kelemahan-kelemahan yang tak tampak pada waktu seleksi, (3) mengembangkan sikap profesional,(4) mengembangkan kompetensi profesional, dan (5) menumbuhkan ikatan batin antara guru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru adalah (1) bimbingan dan tugas, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) kursus-kursus, (4) studi lanjut, (5) promosi, (6) latihan jabatan, (7) rotasi jabatan, (8) konferensi, (9) penataran, (10) lokakarya, (11) seminar, dan (12) pembinaan profesional guru (supervisi pengajaran).

Disini kita mengetahui bahwa, walaupun guru telah tersertifikasi yang asumsinya telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting adalah kemampuan diri untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected to put their knowledge to work to demonstrate they can do the job. Finally, professional are expected to engage in a life long commitment to self improvement. Self improvement is the will-grow competency area. Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi seyogyanya menjadi motivasi bagi guru untuk terus menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri dalam rangka meningkatkan kompetensi.

Tanggung Jawab Terhadap Profesi

Mau disadari atau tidak sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Berbeda dengan profesional dibidang lain, profesionalisme guru adalah menyebarluaskan kreativitas dan inovitas (semangat belajar) bagi siswa. Lebih jauh, dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sudah mulai berpihak kepada guru, maka sudah tidak ada alasan bahwa guru untuk menunjukkan kinerja yang rendah terlebih setelah tersertifikasi.

Dalam memandang kecenderungan pola pikir guru terhadap profesinya kita dapat menggunakan Kuadran Cash Flow Robert Kiyosaki (Masftukh, 2010) tentang cara pandang guru terhadap profesi guru menyebabkan terbentuknya empat kuadran.

Kuadran I: Guru Pekerja. Guru yang punya pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita disebut guru pekerja, bila kita termasuk guru yang menyukai kemapanan, tidak ada keinginan untuk berubah. Kita senang dengan pekerjaan rutinitas yang menjadi tanggung jawab kita. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang sama kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita memiliki paradigma to have. Kita adalah orang yang berada dalam sistem yang sudah mapan. Sumber penghasilan kita adalah satu-satunya gaji/honor bulanan/mingguan ditambah dari proyek-proyek skala kecil dan rutin.

Kuadran II: Guru Profesional.Guru yang berkuasa atas pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita dikatakan guru profesional, bila kita termasuk guru yang menyukai tantangan dalam mengajar. Senang dengan pekerjaan yang mandiri, tidak rutin tapi memuaskan, senang berpindah tempat kerja dengan pekerjaan yang sama. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang berbeda kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita mulai mengalami pergeseran pradigma tetapi masih pada konsep to have. Kita menjadi sistem bagi diri kita sendiri. Sumber penghasilan kita adalah sebagai profesional yang memiliki nilai (harga) setiap kali kita mengajar.

Kuadran III: Guru Pemilik. Guru yang punya keahlian dan visi kepemimpinan dan manajemen system, serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru pemilik bila kita adalah guru yang memiliki keahlian (pemilik), tidak hanya terkait dengan pengajaran tetapi juga memiliki kemampuan mengendalikan sistem, sehingga pemilik menjadi bagian dari kelompok pengambil keputusan. Senang dengan peran sebagai investor dan atau pimpinan dengan tujuan mendapatkan penghasilan dari investasi/tugas tersebut. Kita adalah orang yang menjalankan sistem secara strategis, untuk mengendalikan diri dan orang lain bagi kemajuan lembaga. Pada kuadran ini kita mengalami pergeseran paradigma yang sangat jelas dari to have ke to be. Sumber penghasilan kita adalah dari keahlian dan sistem yang kita kendalikan.

Kuadran IV: Guru Perancang. Guru yang membuat dan mengendalikan sistem sekolah identik dengan dirinya serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru perancang, bila kita adalah guru yang berfungsi sebagai perancang masa depan pengajaran, bersifat inovatif, senang pada ide dan perubahan yang mengaktifkan pengajaran. Kita adalah orang yang kaya dengan ide/gagasan yang inovatif yang menjadikan kita orang yang sangat berarti. Kita menjadi perancang sistem bagi kemajuan diri dan masa depan orang lain. Pada kuadran ini menunjukan bahwa pergeseran paradigma kita sudah sepenuhnya ke kuadran to be. Sumber penghasilan kita adalah dari sistem dan gagasan yang diterapkan banyak orang. Ide dan gagasan bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita.

Cara pandang guru terhadap profesinya inilah yang kemudian akan membangun pola tanggung jawab guru terhadap profesinya. Pola yang dimaksud akan ditunjukkan melalui tindakan berdasarkan apa yang difahami guru tentang profesinya itu sendiri. Sehingga tanggung awab profesi guru lebih merupakan kesadaran diri yang tinggi seorang guru dalam menjaga profesinya dikalangan masyarakat atau disebut sebagai etika profesi guru. Etika guru ini terikat pada kode etik profesi guru, yang merupakan sarana untuk membantu guru sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Setidaknya ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :

(a) Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

(b) Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).

(c) Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.

Untuk menerapkan kode etik guru sebagai norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia, sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat dan warga Negara. Maka dalam membangun tanggung jawab terhadap profesi guru atau pendidikan diperlukan:

1. Komitmen yang tinggi

Secara sederhana peningkatan kualifikasi akademik itulah, yang harus dikembangkan oleh tenaga pendidik. Guru masa depan perlu mempertegas kembali komitmen sebagai pendidik untuk tidak memaksakan pembelajaran yang hanya bermuatan kognitif saja, namun lebih aplikatif sejalan dengan konsep pembelajaran learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be

2. Pemikiran yang serius dan cermat (smart thinking);

Guru masa depan perlu memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal. Guru masa depan perlu memiliki pendidikan yang setingkat di atas standart minimal yang diharapkan pemerintah. Dalam dunia pendidikan dasar, tenaga pengajar setidaknya harus berbasis pendidikan S1, pendidikan menengah tenaga pengajarnya harus berbasis pendidikan S2, dan perguruan tinggi harus berbasis pendidikan S3.

3. Koordinasi dan sinergi;

Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat

4. Networking dan Support dari semua komponen terkait

KKG, MGMP serta lembaga profesi sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru. Selain itu perlu adanya pemberdayaan (empowerment) guru yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pemberian tugas yang sesuai dengan kompetensi guru maupun adanya dorongan dari fihak manajemen sekolah yang mampu menumbuhkan motivasi kerja bagi para guru. Meningkatnya kompetensi guru yang didukung adanya motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru.

Guru merupakan sebuah profesi terhormat dan mulia yang mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia.Sebagai sebuah perkerjaan profesional, maka guru dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku sejalan dengan Kode Etik Profesi. Pertanyaannya, apakah para guru di Indonesia saat ini sudah dapat menghayati dan menegakkan kode etik profesinya? Tentu jawaban beragam akan muncul, akan tetapi satu hal yang pasti adalah disaat guru meningkatkan kinerjanya, maka berarti meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Dan ini merupakan bentuk tanggung jawab guru terhadap profesinya sekaligus penjaminan kualitas guru itu sendiri atas sertifikasi yang diterimanya.

Penutup

Menjadi guru yang peduli terhadap pendidikan mensyaratkan totalitas cipta, rasa, dan karsa sehingga mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki secara optimal, baik kompetensi personal, professional, dan kemasyarakatan. Kompetensi tersebut mutlak dikembangkan dalam rangka memperkuat sifat konservatif pada diri guru. Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, sehingga pascasertifikasi perlu ada upaya sistematis, sinergis, dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional. Agar terbangun tanggung jawab profesi yang tidak hanya bersifat pribadi atau individu guru yang bersangkutan akan tetapi juga mampu menjadi komitemen kolektif dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Jakarta.

Fasli Jalal. (2007). Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?. Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya

Muchlas Samani. (2008). Sertifikasi Guru Sebagai Bagian Peningkatan Kualitas Pendidikan. Makalah disampaikan pada seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan. Program Pascasarjana UNY, 22 Maret di Yogyakarta

I Wayan Santyasa, Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan Profesionalisme Guru, Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Ganesha. Jurnal Tidak Di Publikasikan

Maftukh, Muhamad. Sertifikasi Dan Guru Profesional. http://penulismuda.com/artikel-mainmenu-42/2946-sertifikasi-dan-guru-profesional diakses 15 Agustus 2011

EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN

1. Pendahuluan

Mutu pendidikan dipengaruhi banyak faktor, yaitu siswa, pengelola sekolah (kepala sekolah, guru, staf, dan dewan/komite sekolah), lingkungan (orangtua, masyarakat, dan sekolah), kualitas pembelajaran, dan kurikulum (Suhartoyo, 2005:2). Hal senada juga dikemukakan oleh Mardapi (2003:8) bahwa usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian. Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi siswa untuk belajar yang lebih baik.

Salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan dengan demikian adalah proses pembelajaran yang dilakukan, sedangkan salah satu faktor penting untuk efektivitas pembelajaran adalah faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran. Evaluasi dapat mendorong siswa untuk lebih giat belajar secara terus menerus dan juga mendorong guru untuk lebih meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta mendorong sekolah untuk lebih meningkatkan fasilitas dan kualitas manajemen sekolah.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka di dalam pembelajaran dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu mengajar dengan baik tetapi juga mampu melakukan evaluasi dengan baik. Kegiatan evaluasi sebagai bagian dari program pembelajaran perlu lebih dioptimalkan. Evaluasi tidak hanya bertumpu pada penilaian hasil belajar, tetapi juga perlu penilaian terhadap input, output, maupun kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Optimalisasi sistem evaluasi menurut Mardapi (2003:12) memiliki dua makna, yaitu 1) sistem evaluasi yang memberikan informasi yang optimal dan 2) manfaat yang dicapai dari evaluasi. Manfaat yang utama dari evaluasi adalah meningkatkan kualitas pembelajaran dan selanjutnya akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan.

Bidang pendidikan ditinjau dari sasarannya, evaluasi ada yang bersifat makro dan ada yang mikro. Evaluasi yang bersifat makro sasarannya adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk memperbaiki bidang pendidikan. Evaluasi mikro sering digunakan di tingkat kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian belajar peserta didik. Pencapaian belajar ini bukan hanya yang bersifat kognitif saja, tetapi juga mencakup semua potensi yang ada pada peserta didik. Jadi sasaran evaluasi mikro adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggungjawabnya adalah guru (Mardapi, 2000:2).

Konteks program pembelajaran di sekolah menurut Mardapi (2003:8) bahwa keberhasilan program pembelajaran selalu dilihat dari hasil belajar yang dicapai siswa. Di sisi lain evaluasi pada program pembelajaran membutuhkan data tentang pelaksanaan pembelajaran dan tingkat ketercapaian tujuannya. Keberhasilan program pembelajaran selalu dilihat dari aspek hasil belajar, sementara implementasi program pembelajaran di kelas atau kualitas proses pembelajaran itu berlangsung jarang tersentuh kegiatan penilaian.


  1. Pembelajaran

Pembelajaran yang sering juga disebut dengan belajar mengajar, sebagai terjemahan dari istilah instructional terdiri dari dua kata, belajar dan mengajar. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Woolfolk dan Nicolich (1984:159) yang mengatakan bahwa learning is a change in a person that comes about as a result of experience. Belajar adalah perubahan dalam diri seseorang yang berasal dari hasil pengalaman. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, kecakapan, dan kemampuan, daya reaksi, dan daya penerimaan yang ada pada individu (Sujana dan Ibrahim, 2004:28).

Menurut aliran behavioristik, kegiatan belajar terjadi karena adanya kondisi/stimulus dari lingkungan. Kegiatan belajar merupakan respons/reaksi terhadap kondisi/stimulus lingkungannya. Belajar tidaknya seseorang tergantung kepada faktor kondisional dari lingkungan. Lingkungan dapat berupa lingkungan keluarga, masyarakat maupun lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah terdiri dari guru, media pembelajaran, buku teks, kurikulum, teman sekelas, peraturan sekolah, maupun sumber-sumber belajar lainnya.

Salah seorang tokoh aliran behavioristik, Gagne dalam Gredeer dan Margaret (1986:121) mengemukakan bahwa belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi internal (internal conditions of learning), kondisi eksternal (external conditions of learning), dan hasil belajar (outcomes of learning). Komponen-komponen tersebut dilukiskan dalam bentuk Gambar 1.

Gambar 1 Komponen Belajar (Gagne dalam Gredeer dan Margaret, 1986:121)

Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisir lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar. Hal ini dipertegas oleh Sudjana (2002:29) yang menyatakan bahwa mengajar adalah suatu proses mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan kegiatan belajar.

Berdasarkan tinjauan proses, pembelajaran terdapat dua kegiatan yang terjadi dalam satu kesatuan waktu dengan pelaku yang berbeda. Pelaku belajar adalah siswa sedangkan pelaku pengajar (pembelajar) adalah guru. Kegiatan siswa dan kegiatan guru berlangsung dalam proses yang bersamaan untuk mencapai tujuan instruksional tertentu. Jadi dalam proses pembelajaran terjadi hubungan yang interaktif antara guru dengan siswa dalam ikatan tujuan instruksional. Karena pelaku dalam proses pembelajaran adalah guru dengan siswa, maka keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari faktor guru dan siswa.


  1. Evaluasi Program

  1. Tes, Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi

Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam evaluasi, yaitu tes, pengukuran, dan penilaian (test, measurement, and assessment). Tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respons seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan (Mardapi, 1999:2). Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Obyek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun motivasi. Respons peserta tes terhadap sejumlah pertanyaan menggambarkan kemampuan dalam bidang tertentu. Tes merupakan bagian tersempit dari evaluasi.

Pengukuran (measurement) dapat didefinisikan sebagai the process by which information about the attributes or characteristics of thing are determinied and differentiated (Oriondo dan Antonio, 1998:2). Guilford dalam Griffin dan Nix (1991:3) mendefinisi pengukuran dengan assigning numbers to, or quantifying, things according to a set of rules. Sementara itu Ebel dan Frisbie (1986:14) berpendapat pengukuran dinyatakan sebagai proses penetapan angka terhadap individu atau karakteristiknya menurut aturan tertentu.

Hal senada dikemukakan Allen dan Yen dalam Mardapi (2000:1) mendefinisikan pengukuran sebagai penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Dengan demikian, esensi dari pengukuran adalah kuantifikasi atau penetapan angka tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu. Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengukuran memiliki konsep yang lebih luas dari pada tes. Guru dapat mengukur karakteristik suatu objek tanpa menggunakan tes, misalnya dengan pengamatan, rating scale atau cara lain untuk memperoleh informasi dalam bentuk kuantitatif.

Penilaian (assessment) memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi. The Task Group on Assessment and Testing (TGAT) mendeskripsikan asesmen sebagai semua cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja (performance) individu atau kelompok (Griffin dan Nix, 1991:3). Popham (1995:3) mendefinisikan asesmen dalam konteks pendidikan sebagai sebuah usaha secara formal untuk menentukan status siswa berkenaan dengan berbagai kepentingan pendidikan. Boyer dan Ewel dalam Stark dan Thomas (1994:46) mengemukakan assessment is processes that provide information about individual students, about curricula or programs, about institutions, or about entire systems of institutions.

Asesmen sebagai proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang kurikulum atau program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi.. Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa asesmen atau penilaian merupakan kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.

Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan penilaian, pengukuran maupun tes. Stufflebeam (2003) mengemukakan bahwa:

Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing descriptive and judgmental information about the worth and merit of some object’s goals, design, implementation, and impact in order to guide decision making, serve needs for accountability, and promote understanding of the involved phenomena.


Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi, dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggung jawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Sementara itu National Study Committee on Evaluation dalam Stark dan Thomas (1994:12) menyatakan bahwa evaluation is the process of ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives. Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya. Hal ini dipertegas oleh Griffin dan Nix (1991:3) menyatakan:

Measurement, assessment, and evaluation are hierarchial. The comparison of observation with the criteria is a measurement, the interpretation and description of the evidence is an assessment and the judgement of the value or implication of the behavior is an evaluation.


Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat hierarkis. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran diartikan sebagai kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, penilaian (assessment) merupakan kegiatan menafsirkan dan mendeskripsikan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi merupakan penetapan nilai atau implikasi perilaku. Brikerhoff dalam Mardapi (2000) menjelaskan bahwa evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai.

Lebih lanjut Brikerhoff dalam Mardapi (2000) mengemukakan dalam pelaksanaan evaluasi terdapat tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu: 1) focusing the evaluation (penentuan fokus yang akan dievaluasi), 2) designing the evaluation (penyusunan desain evaluasi), 3) collecting information (pengumpulan informasi), 4) analyzing and interpreting (analisis dan interpretasi informasi), 5) reporting information (pembuatan laporan), 6) managing evaluation (pengelolaan evaluasi), dan 7) evaluating evaluation (evaluasi untuk evaluasi). Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi, evaluator pada tahap awal harus menentukan fokus yang akan dievaluasi dan desain yang akan digunakan.

Hal ini berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara implisit menekankan adanya tujuan evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana melaksanakan evaluasi. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data, menganalisis dan membuat interpretasi terhadap data yang terkumpul serta membuat laporan. Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara keseluruhan. Weiss dalam Oriondo dan Antonio (1998) menyatakan the purpose of evaluation research is to measure the effect of program against the goals it set out accomplish as a means of contributing to subsuquest decision making about the program and improving future programming.

Ada empat hal yang ditekankan pada rumusan tersebut, yaitu: 1) menunjuk pada penggunaan metode penelitian, 2) menekankan pada hasil suatu program, 3) penggunaan kriteria untuk menilai, dan 4) kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang. Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya.

Adapun tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.

Bidang pendidikan ditinjau dari sasarannya, evaluasi ada yang bersifat makro dan ada yang mikro. Evaluasi yang bersifat makro sasarannya adalah program pendidikan, yaitu program yang direncanakan untuk memperbaiki bidang pendidikan. Evaluasi mikro sering digunakan di tingkat kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian belajar siswa. Pencapaian belajar ini bukan hanya yang bersifat kognitif saja, tetapi juga mencakup semua potensi yang ada pada siswa. Jadi sasaran evaluasi mikro adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggungjawabnya adalah guru (Mardapi, 2000:2).


  1. Model-model Evaluasi Program Pembelajaran

Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai dalam mengevaluasi program pembelajaran. Berbagai model sebagaimana yang dikemukakan oleh Kirkpatrick (2009) adalah:

    1. Jack PhillPS’ Five Level ROI Model,

    2. Daniel Stufflebeam’s CIPP Model (Context, Input, Process, Product),

    3. Robert Stake’s Responsive Evaluation Model,

    4. Robert Stake’s Congruence-Contingency Model,

    5. Kaufman’s Five Levels of Evaluation,

    6. CIRO (Context, Input, Reaction, Outcome),

    7. PERT (Program Evaluation and Review Technique),

    8. Alkins’ UCLA Model,

    9. Michael Scriven’s Goal-Free Evaluation Approach,

    10. Provus’s Discrepancy Model,

    11. Eisner’s Connoisseurship Evaluation Models,

    12. Illuminative Evaluation Model,

    13. Portraiture Model.


Berbagai model tersebut di atas akan diuraikan model yang populer dan banyak dipakai sebagai strategi atau pedoman kerja dalam pelaksanaan evaluasi program pembelajaran, yaitu 1) Evaluasi Model Kirkpatrick (Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model), 2) Evaluasi Model CIPP (Context, Input, Prosess, and Product), dan 3) Evaluasi Model Stake (Model Couintenance).

  1. Evaluasi Model Kirkpatrick

Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi program pelatihan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal dengan istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan (training) menurut Kirkpatrick (1998) mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 reaction, level 2 learning, level 3 behavior, dan level 4 result.

    1. Evaluasi Reaksi (Evaluating Reaction)

Mengevaluasi terhadap reaksi peserta pelatihan berarti mengukur kepuasan peserta (customer satisfaction). Program pelatihan dianggap efektif apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta pelatihan sehingga mereka tertarik termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta pelatihan akan termotivasi apabila proses pelatihan berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses pelatihan yang diikutinya maka mereka tidak akan termotivasi untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut.

Partner (2009) mengemukakan the interest, attention and motivation of the participants are critical to the success of any training program, people learn better when they react positively to the learning environment. Disimpulkan bahwa keberhasilan proses kegiatan pelatihan tidak terlepas dari minat, perhatian, dan motivasi peserta pelatihan dalam mengikuti jalannya kegiatan pelatihan. Orang akan belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar.

Kepuasan peserta pelatihan dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu, dan penyajian konsumsi yang disediakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan lebih efektif.

    1. Evaluasi Belajar (Evaluating Learning)

Kirkpatrick (1998:20) mengemukakan learning can be defined as the extend to which participans change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as a result of attending the program. Terdapat tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program pelatihan, yaitu pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Peserta pelatihan dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan keterampilan.

Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas program pelatihan maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan keterampilan pada peserta pelatihan maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau lebih hal berikut: 1) pengetahuan yang telah dipelajari, 2) perubahan sikap, dan 3) keterampilan yang telah dikembangkan atau diperbaiki.

    1. Evaluasi Tingkah Laku (Evaluating Behavior)

Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pelatihan dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti pelatihan juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.

Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti program pelatihan. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apakah peserta merasa senang setelah mengikuti pelatihan dan kembali ke tempat kerja? Bagaimana peserta dapat mentrasfer pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh selama pelatihan untuk diimplementasikan di tempat kerjanya? Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan pelatihan.

    1. Evaluasi Hasil (Evaluating Result)

Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari suatu program pelatihan di antaranya adalah kenaikan produksi, peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan turnover (pergantian) dan kenaikan keuntungan.

Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork (tim kerja) yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi terhadap impact program (pengaruh program). Tidak semua pengaruh dari sebuah program dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu evaluasi level 4 ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level-level sebelumnya.


  1. Evaluasi Model CIPP

Konsep evaluasi model CIPP (Context, Input, Prosess, and Product) pertama kali dikemukakan oleh Stufflebeam tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (The Elementary and Secondary Education Act). Konsep tersebut ditawarkan Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki. Hal ini dipertegas oleh Madaus dkk (1983:118) yang mengemukakan the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but to improve.

Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program maupun institusi. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam (2003) menggolongkan sistem pendidikan atas empat dimensi, yaitu context, input, process, dan product, sehingga model evaluasi yang ditawarkan diberi nama CIPP model yang merupakan singkatan ke empat dimensi tersebut.

Sudjana dan Ibrahim (2004:246) menerjemahkan masing-masing dimensi tersebut dengan makna:

  1. Context, situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan, situasi ini merupakan faktor eksternal, seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi negara, dan pandangan hidup masyarakat,

  2. Input, sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan pendidikan, komponen input meliputi siswa, guru, desain, saran, dan fasilitas,

  3. Process, pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/bahan di dalam kegiatan nyata di lapangan, komponen proses meliputi kegiatan pembelajaran, pembimbingan, dan pelatihan,

  4. Product, hasil yang dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan, komponen produk meliputi pengetahuan, kemampuan, dan sikap (siswa dan lulusan).


Aspek yang dievaluasi dan prosedur pelaksanaan evaluasi model CIPP menurut Stufflebeam dalam Oliva (1992:491) seperti pada Tabel 1.


Tabel 1 Aspek dan Prosedur Pelaksanaan Evaluasi Model CIPP


Context Evaluation

Input Evaluation

Process Evaluation

Product Evaluation

Obyek (sasaran)

Mendefinisikan operasional context, mengidentifikasi dan memperkirakan kebutuhan dan mendiagnosa masalah, memprediksi kebutuhan dan peluang

Mengidentifikasi dan memperkirakan kapabilitas sistem, strategi input yang sekarang tersedia, dan mendesain untuk implementasi strategi

Mengidentifikasi dan memperkirakan di dalam proses, tentang kerusakan di dalam desain prosedur atau implementasi, menyediakan informasi sebelum program diputuskan dan memperbaiki dokumen even prosedural dan aktivitas

Menghubungkan informasi outcomes dengan obyek dan informasi context, input, dan process

Metode

Mendeskripsikan context, membandingkan dengan yang sebenarnya dan mengawasi input dan output, membandingkan kemungkinan dan ketidakmungkinan sistem kerja, dan menganalisa penyebab ketidakmungkinan dan ketidaksesuaian kenyataan dengan tujuan (harapan)

Mendeskripsikan dan menganalisis SDM dan sumber daya material yang tersedia, solusi strategis, dan desain prosedur untuk relevansi, kemungkinan kegiatan yang dapat dilaksanakan, dan kebutuhan ekonomi dalam rangkaian kegiatan

Memonitoring setiap aktivitas yang berpotensi terdapat tantangan secara prosedural, dan memberikan tanda untuk antisipasi, untuk memperoleh informasi yang spesifik untuk memutuskan suatu program, dan mendeskripsikan proses yang aktual

Mendefinisikan operasional dan mengukur kriteria asosiasi dengan obyektif dan membandingkan hasil pengukuran dengan standar sebelum dilakukan antisipasi, dan menginterpretasi outcomes berdasarkan dokumen informasi context, input, dan process

Hubungan pengambilan keputusan dengan proses perubahan

Memutuskan dalam hal menyajikan perangkat, tujuan asosiasi, dengan mendiskusikan kebutuhan dan peluang, dan sasaran asosiasi untuk perubahan perencanaan kebutuhan

Memilih SDM sebagai pendukung, solusi strategis, dan desain prosedural untuk perubahan struktur kerja (aktivitas)

Untuk implementasi dan memperbaiki desain program dan prosedur untuk efektivitas proses kontrol

Untuk memutuskan dalam kegiatan secara kontinu, menghentikan (mengakhiri), modifikasi, mengatur kembali fokus perubahan aktivitas dengan tahapan materi yang lain dalam proses perubahan untuk mengatur kembali aktivitas perubahan


Stufflebeam dalam naskah yang dipresentasikan pada Annual Conference of the Oregon Program Evaluation Network (OPEN) Portland tahun 2003, memperluas makna evaluasi product menjadi impact evaluation (evaluasi pengaruh), effectiveness evaluation (evaluasi efektivitas), sustainability evaluation (evaluasi keberlanjutan), dan transportability evaluation (evaluasi transformasi) (Stufflebeam, 2003:59-62).


  1. Evaluasi Model Stake (Model Couintenance)

Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description (deskripsi) dan judgement (pertimbangan), serta membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu antecedent (program pendahulu/masukan/context), transaction (transaksi/kejadian/process), dan outcomes (hasil/result). Stake dalam Tayibnapis (2000:19) berpendapat menilai suatu program pendidikan harus melakukan perbandingan yang relatif antara program satu dan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu.

Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Lebih lanjut Stake dalam Tayibnapis (2000:20) menyatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain pihak. Dalam model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes (hasil) data di bandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program.


  1. Cakupan Evaluasi Program Pembelajaran

Evaluasi program pembelajaran menurut Soetopo (2007:137) adalah pemberian estimasi terhadap pelaksanaan pembelajaran untuk menentukan keefektifan dan kemajuan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Memperoleh gambaran yang komprehensif tentang efektivitas program pembelajaran, terdapat tiga komponen yang perlu dijadikan obyek evaluasi, yaitu a) desain program pembelajaran, b) implementasi program pembelajaran, dan c) hasil program pembelajaran yang dicapai.

  1. Desain Program Pembelajaran

Desain program pembelajaran dinilai dari 1) aspek tujuan yang ingin dicapai ataupun kompetensi yang akan dikembangkan, 2) strategi pembelajaran yang akan diterapkan, dan 3) isi program pembelajaran.

    1. Kompetensi yang akan dikembangkan

Salah satu aspek dari program pembelajaran yang dijadikan obyek evaluasi adalah kompetensi yang akan dikembangkan, khususnya kompetensi dasar dari mata pelajaran yang bersangkutan. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kompetensi dasar yang akan dikembangkan, yaitu a) menunjang pencapaian kompetensi standar kompetensi maupun kompetensi lulusan, b) jelas rumusan yang digunakan (observable), c) mampu menggambarkan dengan jelas perubahan tingkah laku yang diharapkan diri siswa, dan d) mempunyai kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.

    1. Strategi pembelajaran

Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai strategi pembelajaran yang direncanakan, yaitu a) kesesuaian dengan kompetensi yang akan dikembangkan, b) kesesuaian dengan kondisi belajar mengajar yang diinginkan, c) kejelasan rumusan, terutama mencakup aktivitas guru maupun siswa dalam proses pembelajaran, dan d) kemungkinan keterlaksanaan dalam kondisi dan alokasi waktu yang ada.

    1. Isi program pembelajaran

Isi program pembelajaran yang dimaksud adalah pengalaman belajar yang akan disiapkan oleh guru maupun yang harus diikuti siswa. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai isi program pembelajaran, yaitu a) relevansi dengan kompetensi yang akan dikembangkan, b) relevansi dengan pengalaman murid dan lingkungan, c) kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa, d) kesesuaian dengan alokasi waktu yang tersedia, dan e) keautentikan pengalaman dengan lingkungan hidup siswa.


  1. Implementasi Program Pembelajaran

Selain desain program pembelajaran, proses implementasi program atau proses pelaksanaan pun perlu dijadikan obyek evaluasi, khususnya proses belajar dan pembelajaran yang berlangsung di lapangan. National Council for the Social Studies (2006:4) mengemukakan evaluation istrument should measure both content and process. Disimpulkan bahwa evaluasi dalam social studies seharusnya mengukur isi maupun proses pembelajaran.

Sedangkan mengenai standar evaluasi proses pembelajaran Sudjana dan Ibrahim (2004:230-232) menampilkan sejumlah kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi proses belajar dan pembelajaran yaitu 1) konsistensi dengan kegiatan yang terdapat dalam program pembelajaran, 2) keterlaksanaan oleh guru, 3) keterlaksanaan dari segi siswa, 4) perhatian yang diperlihatkan para siswa terhadap pembelajaran yang sedang berlangsung, 5) keaktifan para siswa dalam proses belajar, 6) kesempatan yang diberikan untuk menerapkan hasil pembelajaran dalam situasi yang nyata, 7) pola interaksi antara guru dan siswa, dan 8) kesempatan untuk mendapatkan umpan balik secara kontinu.


  1. Hasil Program Pembelajaran

Selain desain program dan implementasi, komponen ketiga yang perlu dievaluasi adalah hasil-hasil yang dicapai oleh kegiatan pembelajaran. Hasil yang dicapai ini dapat mengacu pada pencapaian tujuan jangka pendek (ouput) maupun mengacu pada pencapaian tujuan jangka panjang (outcome). Outcome program pembelajaran tidak kalah pentingnya dengan output, karena dalam outcome ini akan dinilai seberapa jauh siswa mampu mengimplementasikan kompetensi yang dipelajari di kelas ke dalam dunia nyata (realworld) dalam memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan dalam masyarakat.


  1. Penutup

Mengevaluasi keberhasilan program pembelajaran tidak cukup hanya dengan mengadakan penilaian terhadap hasil belajar siswa sebagai produk dari sebuah proses pembelajaran. Kualitas suatu produk pembelajaran tidak terlepas dari kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Evaluasi terhadap program pembelajaran yang disusun dan dilaksanakan guru sebaiknya menjangkau penilaian terhadap: 1) desain pembelajaran, yang meliputi kompetensi yang dikembangkan, strategi pembelajaran yang dipilih, dan isi program, 2) implementasi program pembelajaran atau kualitas pembelajaran, dan 3) hasil program pembelajaran.

Penilaian terhadap hasil program pembelajaran tidak cukup terbatas pada hasil jangka pendek atau output tetapi sebaiknya juga menjangkau outcome dari program pembelajaran. Berbagai model evaluasi program dapat dipilih oleh guru maupun sekolah untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program pembelajaran. Pemilihan suatu model evaluasi akan tergantung pada kemampuan evaluator, tujuan evaluasi serta untuk siapa evaluasi itu dilaksanakan.

Sistem evaluasi harus difokuskan dengan jelas pada proses perbaikan daripada pertanggungjawaban untuk produk akhir. Sistem ini harus dioperasikan dekat dengan titik intervensi (obyek yaitu sekolah) untuk perubahan. Pendekatan analisis evaluasi pembelajaran dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan sekolah. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi evaluasi di bidang pendidikan harus ditangani dengan analisis multivariat sehingga dapat memberikan bimbingan kepada pengawas sebagai upaya perubahan.


DAFTAR RUJUKAN


Ebel, R. L., dan Frisbie, D. A. 1986. Essential of Educational Measurement. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Gredeer, B., dan Margaret, E. 1986. Learning and Instruction: Theory into Practice. New York: Macmillan Publising.

Griffin, P., dan Nix, P. 1991. Educational Assessment and Reporting. Sydney: Harcout Brace Javanovich Publisher.

Kirkpatrick, D. L. 1998. Evaluating Training Programs: The Four Levels. San Francisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.

Kirkpatrick, D. L. 2009. Kirkpatrick’s Training Evaluation Model (online). (http://www.businessballs.com/kirkpatricklearningevaluationmodel.htm, diakses 23 Oktober 2009).

Madaus, G. F., Scriven, M. S., dan Stuffebeam, D. L. 1993. Evaluation Models, Viewpoints on Educational and Human Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.

Mardapi, D. 1999. Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi. Makalah disajikan dalam Penataran Evaluasi Pembelajaran Matematika SLTP untuk Guru Inti Matematika di MGMP SLTP, PPPG Matematika Yogyakarta, Yogyakarta, 8-23 November.

Mardapi, D. 2000. Evaluasi Pendidikan. Makalah disajikan dalam Konvensi Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 19-23 September.

Mardapi, D. 2003. Kurikulum 2004 dan Optimalisasi Sistem Evaluasi Pendidikan di Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 10 Januari.

Oliva, P. F. 1992. Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.

Oriondo, L. L., dan Antonio, E. M. D. 1998. Evaluating Educational Outcomes (Test, Measurment, and Evaluation). Florentino St: Rex Printing Company.

Partner, C. 2009. Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus (online). (http://www.coe.wayne.edu/eval/pdf, diakses 23 Oktober 2009).

Popham, W. J. 1995. Classroom Assessment. Boston: Allyn and Bacon.

Soetopo, H. 2007. Evaluasi Program Supervisi Pendidikan. Dalam Imron, A., Burhanuddin, dan Maisyaroh (Eds.), Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep, Pendekatan, dan Penerapan Pembinaan Profesional (hlm. 136-149). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Stark, J. S., dan Thomas, A. 1994. Assessment and Program Evaluation. Needham Heights: Simon & Schuster Custom Publishing.

Stufflebeam, D. L. 2003. The CIPP Model for Evaluation: the Article Presented at the 2003 Annual Conference of the Oregon Program Evaluators Network (OPEN) 3 October 2003 (online). (http://www.wmich.edu, diakses 23 Oktober 2009).

Sudjana, N. 2002. Dasar-dasar Proses Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sudjana, N., dan Ibrahim. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Suhartoyo, E. 2005. Pengalaman Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Pengembangan Budaya Sekolah di SMAN 1 Kasihan Bantul. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Pengembangan Budaya Sekolah, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 23 November.

Tayibnapis, F. Y. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta.

Woolfolk, A. E., dan Nicolich, L. M. 1984. Educational Psychology for Teacher. Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc.

Template by:

Free Blog Templates