Rabu, 27 Juli 2011

Makar dan Mungkar


Dalam bahasa agama, makar tak selalu dipahami dalam perspektif politik, sebagai usaha menggulingkan pemerintahan yang sah. Akan tetapi, makar secara umum dipahami sebagai perbuatan jahat atau persekongkolan jahat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia //(al-sa`yu fi al-fasad khufyah) untuk membahayakan atau mencelakakan orang lain.

Maka, rencana jahat orang-orang Yahudi untuk membunuh Nabi Isa AS, disebut Alquran sebagai tindakan makar (QS Ali Imran [3]: 54). Begitu juga rencana jahat kaum kafir Quraisy untuk membunuh Nabi Muhammad SAW pada malam hijrah, dinamakan makar. "Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS al-Anfal [8]: 30).

Dalam ayat di atas, perbuatan makar tak hanya dinisbatkan kepada manusia, tetapi juga disandarkan kepada Allah SWT, dan bahkan dikatakan bahwa Allah SWT adalah sebaik-baik pelaku makar. Lantas, apa makna makar Allah itu?

Menurut banyak pakar tafsir, termasuk al-Razi dan al-Alusi, makar Allah itu mengandung makna kiasan (majaz isti`arah) yang dipergunakan sekurang-kurangnya untuk tiga makna. Pertama, makar dalam arti pembalasan serupa (musyakalah), yaitu tindakan Tuhan menggagalkan rencana jahat yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam kasus Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW.

Kedua, makar dalam arti pembiaran Tuhan dalam sementara waktu kepada para pelaku kejahatan untuk tetap menikmati hidup dan bersenang-senang dalam kesesatan (istidraj), sehingga mereka makin membabi buta, sampai tiba waktunya Allah mengutuk dan mengazab mereka secara tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka.(QS al-An`am [6]: 44).

Ketiga, makar dalam arti tindakan Tuhan menghukum dan mengazab orang-orang yang suka berbuat jahat (mungkar). "Maka, apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS al-A`raf [7]: 99).

Meskipun ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir, tetapi tidak berarti kita bebas dari makar dan murka Allah. Kita sebagai pribadi maupun bangsa bisa terkena makar dan murka Allah bilamana kita tak berhenti dan terus bergelimang dengan dosa-dosa dan kejahatan (kemungkaran). Jangan tertipu dan menipu diri sendiri, dengan hanya berkata, "Allah Maha Pengasih, Rahmat-Nya lebih besar dari amarah-Nya, dan Allah pasti memaafkan kita."

Yang benar, seorang Muslim diperintahkan agar memiliki sifat khauf, yaitu rasa takut yang besar kepada Allah di satu pihak, dan sifat raja', yaitu rasa penuh harap (optimisme) di lain pihak. Sikap demikian pernah ditunjukkan oleh sahabat Umar bin Khatab. Katanya, "Sekiranya diberitahukan bahwa yang masuk sorga hanya satu orang, maka aku berharap orang itu aku. Dan sekiranya, diberitahukan bahwa yang masuk neraka hanya satu orang, maka aku takut dan khawatir, jangan sampai orang itu aku."

Itu berarti, di samping optimistis, seorang Muslim mesti memiliki kewaspadaan dari kemungkinan makar Allah, dengan cara menjauhi berbagai tindak kejahatan dan kemungkaran, baik lahir maupun batin. Wallahu a`lam.

Oleh Dr A Ilyas Ismail
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/06/23/ln7xrb-makar-dan-mungkar

Senin, 25 Juli 2011

APA BEKAL TERBAIK MENUJU RAMADHAN?

Ramadhan adalah bulan berkah.

Betapa celaka jika melewati Ramadhan tanpa memperoleh ampunan Allah SWT. Na'udzubillah.

Bekal terbaik adalah TAQWA (QS Al Baqoroh 2:197)

Taqwa adalah bekal hidup paling berharga dalam diri seorang muslim. Tanpanya hidup menjadi tidak bermakna dan penuh kegelisahan. Sebaliknya, seseorang akan merasakan hakikat kebahagiaan hidup, baik di dunia mau pun di akhirat apabila ia berhasil menyandang sebagai orang yang bertakwa.

Berikut adalah beberapa persiapan agar mampu 'Berbekal Takwa' saat memasuki Ramadhan

1/ BERILMU

Ilmu mendahului amal.
Pahami & kuasai petunjuk Al Quran & petunjuk Rasul saw, dg cara mentadaburi ayat2 Quran & Hadist, khususnya yg berkenaan dg Ramadhan.

Dalil :
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya" (QS Al Isra :36)

2/ BERTAUBAT pada Allah

Dalil:
"Wahai orang2 beriman bertaubatlah kpd Allah dg taubat nasuha (yaitu taubat yg sebenarnya"
(QS At Tahrim: 8)

Rukun taubat :
-mengetahui kesalahan
-tidak mengulangi kesalahan tsb
-mengganti dg amal yg lebih baik

3/ ISLAH (saling bermaafan) & Kembalikan hak sesama

Urusan pd sesama manusia dpt menghalangi Ridha Allah. Selesaikan segala urusan yg berkenaan dg harga diri atau harta (jika sdh memungkinkan).

'Saling bermaafan' tidak hanya sekedar 'tradisi' atau 'lip service' semata. Lakukan dg tulus dlm memohon maaf atas sgl khilaf, lalu buktikan dg sikap yg lbh baik.

Sabda Rasul saw,
"Barangsiapa yg mempunyai kezaliman thdp saudaranya berkenaan dg harga diri atau hartanya, maka hendaklah minta dihalalkan hari ini, sblm diambil ketika tidak lagi bermanfaat dinar & dirham, betapapun dia mempunyai amalan yg salih maka akan diambil sebesar kedzaliman nya. Dan jika tdk mempunyai amal salih, maka kejelekan saudaranya akan ditimpakan kepadanya (HR Bukhari)

4/ Persiapkan REJEKI yg BAIK & HALAL.

Salah satu syarat diterima doa adlh rejeki halal.
Halal mencarinya, halal pula apa2 yg dikonsumsinya.

Dalil :
Sabda Rasul saw,
"Sesungguhnya Allah itu suci bersih dan Allah tidak menerima kecuali yg suci bersih juga" (HR Muslim)


Ibadah puasa Ramadhan tahun ini sudah hampir tiba. Kehadirannya merupakan momentum yang sangat berharga bagi kita untuk bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam memperbanyak amal kebajikan sehingga kita betul-betul termasuk golongan insan bertakwa. Semoga Allah meridhoi kita berjumpa dengan bulan mulia dengan bekal taqwa. Aamiin YRA

Jumat, 22 Juli 2011

Semangat Kerja Penghapus Dosa


Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya ada dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan melakukan shalat, puasa, haji, dan umrah." Para sahabat bertanya, "Lalu, apa yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah SAW?" Beliau menjawab, "Bersemangat dalam mencari rezeki."

Semangat dalam bekerja merupakan keharusan untuk siapa pun yang ingin mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Baik sukses di dunia maupun akhirat. Begitu pun, dengan orang yang semangat dalam bekerja, dia akan meraih kebagiaan. Bahagia karena akan mendapatkan impian dan harapannya.

Islam sangat menghargai orang yang penuh dedikasi dan loyalitas dalam bekerja. Dalam kondisi apa pun, kita harus tetap bersemangat untuk selalu bergerak menangkap peluang-peluang dan membuka pintu-pintu rezeki yang telah disediakan-Nya. Allah Maha Rahman dan Rahim, Allah pula Mahakaya. Oleh karena itu, kita jangan takut kehabisan dengan kekayaan di dunia ini.

Untuk membuktikan dan meraih anugerah-Nya, Allah SWT menyeru kita untuk bergerak dinamis menyambut rezeki-Nya. Bukan dengan berdiam diri banyak zikir dan berdoa, atau mengasingkan diri untuk semedi dan lain sebagainya, tetapi bergerak terus menciptakan dan membuka peluang. Berdoa harus, tetapi rezeki tidak datang dengan sendirinya kalau tidak ditopang dengan berusaha meraihnya. Bekerja juga merupakan bentuk ibadah yang kualitasnya sama dengan ibadah-ibadah lainnya.

Dalam surah Al-Jumu'ah [62]: 10, Allah SWT berfirman, "Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." Rasulullah SAW bersabda, "Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat dan puasa)." (HR Thabrani dan Baihaqi).

Kalau tidak bergerak dan kerja keras, hal itu melawan sunatullah dan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Rasul bersabda, "Sebaik-baik manusia dalam melakukan pekerjaannya adalah mereka yang berusaha semaksimal mungkin dengan mengeluarkan kemampuan yang ada dalam dirinya." Tidak langsung memvonis diri tidak mampu dan tidak ditakdirkan untuk miskin atau gagal.

Rasulullah SAW sangat menyukai orang yang bekerja dengan penuh tantangan, ketimbang mudah putus asa atau pasrah terhadap usaha yang sedang dikerjakan. Rasulullah SAW pernah mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz ketika melihat tangan Sa'ad yang kasar karena bekerja keras. "Inilah dua tangan yang dicintai Allah," kata Nabi Muhammad SAW.

Di dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, terkadang ia dapat atau terkadang ia ditolak."

Sangat disayangkan karena tidak sedikit mental yang tidak siap bertarung dalam meraih rezeki-Nya. Mereka ingin mudah dalam meraihnya, salah satunya dengan meminta. Kalau ingin sukses, keluarkanlah keringat dari badan sendiri dan berjuanglah untuk menikmati kerja keras.


Oleh Encep Dulwahab
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/07/07/lnygkp-semangat-kerja-penghapus-dosa

Selasa, 19 Juli 2011

orang asing (ghuroba) dan nasionalisme

Masyarakat Semenanjung Arab terdiri dari banyak qabilah (suku). Ikatan ke-qabilahan sangat kuat membentuk kepribadian orang Arab. Seorang yang berasal dari qabilah tertentu tidak mudah melepaskan diri dari pengaruh dan dominasi nilai-nilai ke-qabilah-an kelompoknya. Realitas ini pada masa modern tidak terlampau kental dibandingkan pada masa lalu, terutama di masa hidupnya Nabi Muhammad saw lima belas abad yang lalu. Di masa kehidupan Rasulullah saw terdapat banyak sekali jumlah qabilah di jazirah Arab. Diantaranya banu Ghathafan, banu Asad, banu Kalb, banu Syaiban, banu Sulaim, banu Bakr, banu Khuza’ah, banu Tamiim, banu Aslam, banu Mustholiq dll.

Kental dan dominannya nilai-nilai ke-qobilahan di masa Rasulullah saw dahulu kala barangkali dapat disejajarkan dengan nilai-nilai kebangsaan yang dewasa ini tumbuh dan berkembang di setiap nation-state yang ada di dunia. Seiring masuknya dunia ke dalam era globalisasi maka fanatisme ke-qobilahan atau kesukuan menjadi sulit bertahan. Kemudian diganti dengan fanatisme pada skala yang lebih luas yaitu ke-bangsa-an atau Nasionalisme. Sehingga kita menyaksikan bagaimana masing-masing bangsa berusaha memperjuangkan keunggulan bangsanya di tengah pertarungan global antar-bangsa. Sedemikian hebatnya faham dan ideologi Nasionalisme berkembang dewasa ini, sampai-sampai muncul ungkapan Right or Wrong is My Country. Suatu ungkapan yang berarti saya akan bela negara saya, baik ketika benar maupun ketika salah. Pokoknya saya akan bela mati-matian negara dan bangsa saya, bagaimanapun keadaannya. Apakah ajaran seperti ini dibenarkan oleh Islam? Apakah ini merupakan ajaran yang mendatangkan keridhaan Allah SWT?

Kalau kita perhatikan pada zaman Nabi saw hidup dahulu kala, maka kita temukan fanatisme ke-qobilahan atau kesukuan demikian dominan dan menggejala. Pada masa itu setiap orang Arab sangat bangga dan rela mati demi membela qobilahnya. Lalu datanglah Nabi Muhammad saw membawa seruan untuk meninggikan Kalimat Allah. Suatu kalimat yang dijunjung tinggi oleh setiap orang beriman. Kalimat tersebut ialah Laa ilaha illa Allah (tiada ilah selain daripada Allah). Dengan Tauhid diharapkan setiap orang yang menyambutnya akan memuliakan kalimat Allah dan merendahkan serta meninggalkan seruan orang-orang kafir.

وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى

وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

”...dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah 40)

Seruan orang-orang kafir adalah membanggakan segala hal yang bersifat duniawi-material dan bersifat primordial. Salah satunya ialah mengutamakan kesamaan qobilah atau suku daripada ikatan hubungan dengan Pencipta Alam Raya, yaitu Allah SWT. Hubungan dengan Allah ialah seperti ikatan iman dan taqwa. Oleh karenanya Allah mencela bentuk persahabatan duniawi-material sebagai ikatan yang hanya memberikan keakraban sebatas hidup di dunia. Sedangkan di akhirat kelak nanti persahabatan seperti itu akan berubah menjadi bentuk permusuhan. Adapun mereka yang menjalin persahabatan di dunia berlandaskan taqwa, maka ikatan kasih-sayangnya akan berlaku di dunia hingga ke akhirat.

الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ

”Teman-teman akrab pada hari itu (hari berbangkit) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf 67)

Demikian pula Allah menyuruh kita menjalin hubungan silaturrahim dengan berharap terpeliharanya hubungan silaturrahim itu melalui cara memanggil Nama Allah di dalam doa-doa kita. Allah sangat senang bila kita menjadikan-Nya sebagai sebab ikatan di antara kita satu sama lain.

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa 1)

Sesungguhnya Al-Qur’an mengakui eksistensi bangsa dan suku sebagai realitas nyata bentuk berkelompoknya ummat manusia. Namun Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk menjadikan faktor bangsa atau suku sebagai sumber perekat apalagi kebanggaan dan kemuliaan. Allah jelas menekankan bahwa yang sepatutnya menjadi sebab kemuliaan ialah berlombanya seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam hal bertaqwa kepada Allah swt.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى

وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَلِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ

عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS Al-Hujurat 13)

Allah tidak menghendaki kecuali agar orang-orang beriman menjadikan Zat-Nya sebagai pemersatu hubungan satu sama lain. Dan hendaknya janganlah kita berfikir bahwa kekayaan dunia dapat menyebabkan bersatunya hati di antara sesama mu’min. Artinya, marilah kita jadikan semangat beribadah, ber-’amal sholeh, berkomitmen dan loyal kepada ajaran Islam sebagai satu-satunya faktor yang mempersatukan kita, bukan selain itu. Jangan hendaknya menyangka bahwa faktor kekayaan, kekuasaan, kesamaan qobilah, suku atau bangsa dapat menjadi faktor pengikat hubungan hati sesama orang beriman. Itu semua hanyalah bentuk pengikat yang bersifat fatamorgana dan palsu. Kalaupun bisa terlihat menyatu, maka itu hanyalah bentuk persatuan artifisial, sebatas keakraban selagi masih di dunia atau selagi berbagai faktor duniawi tersebut masih ada. Namun begitu faktor-faktor duniawi tersebut sudah meninggalkan mereka, maka segera akan terjadi konflik bahkan saling salah menyalahkan satu sama lain. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...!

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا

مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

”... dan (Allah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Anfal 63)

وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَاثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ

وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًاوَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

”Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut 25)

Pantaslah bilamana Nabi Muhammad saw menggambarkan bahwa da’wah Islam pada mulanya menjadi seruan yang asing di tengah dominannya tradisi dan fanatisme ke-qabilahan. Masyarakat Arab di masa itu memandang bahwa ajaran Islam merupakan hal yang aneh bahkan berselisih dengan tradisi dan nilai-nilai ke-qabilahan yang berkembang. Namun setelah ajaran Islam tumbuh-subur di jazirah Arab, berkat suksesnya da’wah Nabi saw dan para sahabat radhiyallahu ’anhum, maka nilai-nilai Tauhid menggantikan fanatisme ke-qabilahan.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Islam diawali dalam keadaan asing." (HR Ahmad 3596)

Tauhid menjadi perekat sejati keanekaragaman suku bahkan bangsa yang menerima Islam sebagai jalan hidup. Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) dan Al-Mahabbatu fillah (kasih-sayang karena Allah) meliputi Suhaib Ar-Rumi yang orang Romawi, Salman Al-Farisi yang orang Persia, Bilal bin Rabah yang orang Etiopia serta Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan orang Arab dari qabilah Quraisy asli. Begitu pula kalimat Allah telah merajut kaum Muhajirin yang berasal dari aneka qabilah di Mekkah dengan Kaum Anshor yang berasal dari aneka qabilah di Madinah. Pendek kata tumbuhlah sebuah peradaban baru yang dilandasi oleh penghambaan kepada Allah sebagai pengikat utama keaneka-ragaman masyarakat di jazirah Arab pada masa itu.

Peradaban berlandaskan ikatan Islam dan Iman tersebut berlanjut selama belasan abad hingga dunia menyaksikan betapa luasnya wilayah dimana berkibar bendera Tauhid sebagai perekat aneka suku dan bangsa. Wilayah Islam membentang dari Maroko di ujung barat benua Afrika hingga kepulauan Maluku di ujung timur Indonesia. Tanah Iman membentang dari Semenanjung Balkan Eropa di ujung utara hingga Madagaskar Afrika di ujung selatan. Pada masa itu bila seorang muslim mengadakan safar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, maka ia tidak perlu memperlihatkan paspor maupun visa karena seluruh wilayah merupakan bagian dari negerinya sendiri, yaitu negeri Islam dan kaum muslimin.

Namun seiring berjalannya waktu dekandensi nilai-nilai keimanan merebak, lalu diperburuk dengan terjadinya penjajahan fihak kolonialis Barat ke negeri-negeri Islam sehingga terjadilah set-back. Kaum muslimin yang berjuang membebaskan negerinya dari penjajah kafir Barat berhasil dipersuasi oleh para penjajahnya masing-masing untuk mengedepankan nilai-nilai kebangsaan daripada aqidah Tauhid sebagai identitas kemerdekaan kaumnya. Para penjajah kafir Barat hanya mau hengkang dari negeri jajahannya bila telah dipastikan bahwa negeri yang bakal ditinggalkannya telah menjadikan faham Nasionalisme sebagai pengikat utama kaum tersebut, dan bukan Kalimat Tauhid.

Sejarahpun berulang. Fanatisme kelompok yang bersifat primordial muncul kembali menggantikan ikatan Tauhid. Perbedaannya hanyalah bahwa di masa Rasulullah saw fanatisme tersebut berskala qabilah, sedangkan pada era modern ia berskala bangsa. Faham dan ideologi ke-qabilah-an alias sya’biyyah di masa lalu menjadi faham ke-bangsa-an (Nasionalisme) alias qaumiyyah di masa kini. Hal ini seiring dengan dunia memasuki era globalisasi. Skala boleh meluas, namun inti ikatannya tetap sama. Apa yang mengikat dan membentuk perasaan kasih-sayang dan persatuan bukanlah ikatan hubungan dengan Pencipta alam raya, Allah swt, melainkan ikatan duniawi-material atau bersifat primordial. Sehingga dewasa ini barangsiapa mengusung ikatan Islam dan Iman sebagai perekat masyarakat dipandang asing dan aneh. Kalimat Tauhid dibatasi pada urusan pribadi semata. Segala upaya menjadikan Kalimat Tauhid sebagai perekat masyarakat dipandang mengancam persatuan dan kestabilan nasional.

Pantaslah bilamana Nabi Muhammad saw menggambarkan bahwa da’wah Islam pada mulanya menjadi seruan yang asing di tengah dominannya tradisi dan fanatisme ke-qabilahan. Lalu Nabi saw memprediksikan bahwa keterasingan seperti sediakala akan terulang kembali di akhir zaman. Persis sebagaimana yang kita alami dewasa ini. Ketika dimana-mana ideologi Nasionalisme telah diterima bahkan diusung, maka siapa saja yang kemudian menyuarakan agar Islam dijadikan pengikat masyarakat ia akan segera dipandang aneh dan ketinggalan zaman. Namun Rasulullah saw menegaskan bahwa di masa seperti ini justeru berbahagialah orang-orang asing. Siapakah mereka? Simaklah hadits di bawah ini selengkapnya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ

فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ النُّزَّاعُ مِنْ الْقَبَائِلِ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Islam diawali dalam keadaan asing, akan kembali dalam keadaan asing seperti awal mulanya, maka berbahagialah bagi orang-orang asing." Dikatakan; Siapakah orang-orang asing itu? Beliau menjawab: "Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah." (HR Ahmad 3596)

Berdasarkan sabda Nabi saw di atas dapat kita simpulkan bahwa orang-orang asing yang berbahagia ialah mereka yang tidak terperangkap ke dalam fanatisme ke-qabilahan di masa Rasulullah saw dahulu kala. Padahal nilai-nilai ke-qabilahan sedemikian dominannya di masa itu. Sedangkan dewasa ini berarti yang Nabi saw maksudkan sebagai orang-orang asing yang berbahagia ialah mereka yang tidak terperangkap ke dalam fanatisme ke-bangsaan ketika nilai-nilai ke-bangsa-an sedemikian dominannya di masa kini.

Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan Al-Ghurabaa. Pertemukanlah kami dengan sesama Al-Ghurabaa. Peliharalah kami dari fitnah sya’biyyah maupun qaumiyyah di Akhir Zaman ini. Amin ya Rabbal ’aalamiin.-

Sabtu, 16 Juli 2011

tanya jawab mengenai amalan pada malam nisfu syaban

Amalan Nisfu Syaban

Assalamualaikum.

Ustadz, mohon bantuan penjelesannya mengenai nisfu syaban. Apakah sebenarnya nisfu syaban itu, dan apakah benar pada malam itu disunatkan melakukan amalan/ibadah tertentu? Bagaimanakah hukumnya meyakini hal ini? Saya akan sangat bersyukur sekali bila ustadz dapat segera menjawab pertanyaan saya ini. Terima kasih.

Salaam,
jawaban

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar bahwa secara umum bulan Sya’ban punya kekhususan tersendiri. Keterangan itu kita dapat dari hadits-hadits yang shahih, yang merupakan keterangan valid dari Rasulullah SAW.

1. Amal Hamba Diangkat ke Langit

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Sya'ban merupakan bulan di mana amal shalih setiap hamba akan diangkat ke langit.

Salah satu dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berkut ini:

Dari Usamah bin Zaid berkata, saya bertanya, “Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban.” Rasul saw bersabda, "Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah)

2. Starting Point Persiapan Ramadhan

Di samping itu bulan sya’ban yang letaknya persis sebelum Ramadhan seolah menjadi starting point untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Sehingga isyaratnya adalah kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan.

Dalam hal mempersiapkan hati atau sisi ruhiyah, Rasulullah saw. mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:

Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. (HR Muslim).

Mengkritisi Kekuatan Riwayat Amaliah Nisfu Sya'ban

Sedangkan khusus tentang keutamaan malam pertengahan bulan, atau lebih dikenal dengan istilah nisfu sya’ban, memang ada dalil yang mendasarinya. Namun para ulama berbeda pendapat tentang kekuatan derajat periwayatannya.

Sebagian kalangan menggunakan dalil-dalil lemah itu dengan alasan bahwa bila suatu hadits tidak terlalu parah kelemahannya, masih boleh digunakan landasan ibadah yang bersifat keutamaan. Sebagian lain agak ketat dalam menyeleksi dalil-dalil yang dianggap dhaif, sehingga semuanya dibuang begitu saja.

Di antara dalil-dalil yang dianggap lemah itu misalnya hadits berikut ini:

Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.

Memang kalau kita mau jujur dengan hasil penelitian para muhaddtis, riwayat hadits ini tidak mencapai derajat shahih. Ada sebagian kalangan yang menghasankan, tetapi tidak sedikit juga yang secara tegas mendhaifkannya.

Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan bahwa tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu sya’ban.

Begitu juga Ibnu Katsir telah mendha’ifkan hadits yang menerangkan tentang bahwa pada malam nisfu sya’ban itu, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu hingga bulan Sya’ban tahun depan.

Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban itu, sebagaimana yang sering dikerjakan oleh sebagian umat Islam dengan serangkaian ritual, kami tidak mendapatkan satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat.

Sebagaimana kita tahu, sebagian dari umat ini banyak yang mengkhususkan malam itu untuk membaca surat Yasin, atau melakukan shalat sunnah dua raka’at dengan niat minta dipanjangkan umur, atau niat agar menjadi kaya dan seterusnya. Memang praktek seperti ini ada di banyak negeri, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Mesir, Yaman dan negeri lainnya.

Bahkan mereka pun sering membaca lafaz doa khusus yang -entah bagaimana- telah tersebar di banyak negeri meski sama sekali bukan berasal dari hadits Rasulullah SAW.

Kritik terhadap Lafaz Doa Malam Nisfu Sya’ban

Sering kita dapati bahwa sebagian umat Islam memanjatkan doa khusus pada malam nisfu sya’ban. Di dalam doa itu mereka meminta agar Allah SWT menghapuskan taqdir yang buruk yang telah tertulis di lauhil mahfuz. Seperti doa berikut ini:

Ya Allah, jika engkau mencatat aku di sisi-Mu dalam ummul kitab, sebagai orang yang celaka (sengsara), terhalang, terusir, atau sempit rizkiku, maka hapuskanlah Ya Allah dengan dengan karunia-Mu atas kesengsaraanku, keterhalanganku, keterusiranku dan kesempitan rizkiku. Dan tetapkanlah aku disisimu di dalam ummil kitab sebagai orang yang bahagia, diberi rizki, dan diberi pertolongan kepada kebaikan seluruhnya. Karean sesungguhnya Engkau telah berfirman dan firman-Mu adalah benar, di dalam kitab-Mu yang Engkau turunkan melalui lisan nabi-Mu yang Engkau utus: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz).

Hal itu karena mereka berhujah bahwa Allah SWT dengan kehendak-Nya bisa menghapus apa-apa yang pernah ditulisnya di lauhil mahfuz dan menggantinya dengan taqdir yang lain. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (lauhil Mahfuz). (QS Ar-Ra’d: 39).

Oleh sebagian ulama, lafaz doa seperti itu dianggap bertentangan, karena apa-apa yang sudah tertulis di lauil mahfuz tidak mungkin dihapus. Karena ada sabda Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali kebahagiaan, kesengsaran dan kematian.”

Ibnu Abbas berkata, ”Allah SWT menghapuskan apa yang dikehendakinya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, kecuali penciptaan, perilaku, ajal, rizqi, kebahagiaan dan kesengsaran.”

Selain itu lafaz doa itu seolah-olah menggantungkan kepada Allah SWT apakah ingin mengabulkan atau tidak. Padahal salah satu adab berdoa adalah harus ber’azam atau bertekad kuat untuk dikabulkan. Sedangkan penggunaan lafaz (bila Engkau kehendaki), seolah mengesankan tidak serius dalam meminta. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Bila kamu meminta kepada Allah SWT maka mantapkanlah permintaanmu itu.

Wallahu a`lam bishshawab, Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc.

Senin, 11 Juli 2011

HARUSKAH KITA BERMAHDZAB..???

Ustadz, mohon dijelaskan tentang hukum mengikuti salah satu dari empat madzhab, sikap kita tehadap mereka yang bermadzhab dan yang mewajibkan bermadzab, serta sejauh mana kebenaran klaim bahwa mereka mengikuti salah satu imam tersebut, terutama di negeri ini.
Jazakallah khayran.



Abu Abdillah
Alamat: Rawamangun, jaktim
Email: abu_abdilxxxx@yahoo.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Pertanyaan serupa pernah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah, beliau menjawab:
“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan tidak ada seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada. Sehingga mereka kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah para imam besar. Mereka memiliki pengikut yang merumuskan madzhab mereka. Pengikut para imam ini mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta fatwa-fatwa para imam. Kemudian ditulis dalam banyak kitab sehingga menyebarlah madzhab mereka dan dikenal banyak orang. Yaitu disebabkan pengikut para imam yang menuliskan dan mengumpulkan pembahasan dan fatwa dari para imam tersebut.
Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam kesalahan. Karena kadang sebagia mereka belum mengetahui hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad. Sehingga, dengan sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan sebagian imam yang lain mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga mereka berfatwa dengan fatwa yang benar. Hal seperti ini banyak terjadi dalam berbagai masalah yang mereka bahas, semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena itulah Imam Malik berkata:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر
Setiap boleh menolak dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini“, yaitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini hanya layak dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain itu, jika seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada madzhab ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik kepada Asy Syafi’i, atau kepada Imam Ahmad, atau kepada Imam Malik, atau kepada Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib baginya adalah melihat sumber pendapat dan cara pendalilan dari para imam tersebut. Pendapat yang lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat yang ada, maka itulah yang diambil. Sedangkan dalam perkara ijma, tidak boleh ada yang memiliki pendapat lain. Karena para ulama tidak mungkin bersepakat dalam kebatilan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة…. الحديث
Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah
Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang dimaksud”
Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan dalil dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka ini yang diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil. Demikian juga, jika pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Ishaq bin Rahawaih didukung dalil, ini yang diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil pendapat yang berdasarkan dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak berdasarkan atas dalil. Karena Allah Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy Syuura: 10)
Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk mengembalikan setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang dalilnya paling kuatlah yang diambil.
Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya kepada orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat memilihkan pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’, sangat memahami ilmu agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap keilmuannya. Orang awam sebaiknya merujuk dan bertanya kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.
Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama -baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal ketinggian kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat 5 waktu, ia dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia memanjangkan janggut, tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang lain, dan pertanda-pertanda lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istiqamah. Maka jika anda ditunjukkan kepada seorang ulama, dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda kebaikan dan ia pun dikenal kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya tentang hal-hal yang anda belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah, Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui” (QS. Al Anbiya: 7)
[Sampai di sini penjelasan beliau, dikutip dari Fatawa Nurun 'Ala Ad Darb Juz 1, http://binbaz.org.sa/mat/4729]
Mengenai mayoritas orang yang menisbahkan diri kepada salah satu mahdzab di negeri kita, yaitu mahdzab Syafi’i, kami pernah menanyakan kepada Syaikh Ali Salim Bukair hafizhahullah saat berkunjung ke Indonesia, beliau adalah seorang faqih (pakar fiqih) Mazhab Syafi’i dan Anggota Majelis Syura negeri Yaman. Beliau mengatakan bahwa pada realitanya kebanyakan orang yang mengaku bermadzab Syafi’i adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam masalah furu’, dan mereka banyak menyelisihi mahdzab Syafi’i dalam perkara ushul dan banyak mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah zaman belakangan yang menyelisihi qoul mu’tamad (pendapat yang dijadikan pegangang utama madzhab Syafi’i).
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel UstadzKholid.Com
http://kajian.net/

Ketika Hati Galau dan Terasing


Ibnu Mas'ud RA pernah didatangi oleh jamaahnya selepas taklim. "Tempat mana yang harus aku datangi saat aku mendapati keadaanku galau dan terasing?" seru jamaah.

"Datangilah tempat yang Alquran sering dibacakan. Kamu duduk dan simak bacaannya. Niscaya kamu akan dapati ketenangan. Lalu, datangi tempat-tempat yang kamu diajak untuk mengingat dan menyebut Allah dan akan bertambah ilmumu. Terakhir, datangi alas sajadahmu di keheningan malam dan mengadulah kepada Rabb Pengatur hidupmu."

Cerita sarat hikmah ini boleh jadi menjadi bagian dari cerita hidup kita. Karena satu hal yang pasti, keadaan galau dan terasing menjadi sesuatu yang tidak bisa terpisah dalam perjalanan hidup manusia. Dan, di antara kunci melepas lara dan keterasingan hidup adalah dengan sering mendatangi majelis-majelis ilmu dan zikir.

Rasul pernah mengatakan, betapa beruntungnya orang yang rajin dan istiqamah hadir di majelis-majelis ilmu dan zikir. "Tidaklah satu kaum duduk membaca Alquran lalu mengkajinya dan berzikir kecuali akan menyita perhatian para malaikat, terliputi ketenangan di hatinya, ditenggelamkan dalam lautan rahmat-Nya dan semakin dimasyhurkan namanya di hadapan makhluk Allah."

Ada banyak hikmah yang didapatkan dengan sering duduk berbaur dalam lautan manusia yang berzikir dan menuntut ilmu. Inilah yang akan kita dapati dengan menghadiri majelis kebanggaan Allah dan malaikat-Nya itu.

Pertama, ilmu dan pengetahuan kita semakin bertambah. Hal yang tidak bisa dimungkiri adalah sering kali masalah menghimpit kita dan sulit menemukan cara menyikapi dan penyelesaiannya. Boleh jadi lantaran keterbatasan ilmu dan pengetahuan kita. Dengan hadir di majelis ilmu dan zikir, berarti ada upaya pengayaan informasi dan ilmu.

Kedua, iman terjaga dan bertambah kuat. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal." (QS al-Anfal [8]: 2).

Ketiga, tumbuh kecintaan kepada ulama. Rasul bersabda, "Siapa yang memuliakan ulama, kalian memuliakanku dan siapa yang memuliakanku, Allah muliakan dengan surga-Nya."

Keempat, cara paling jitu menghancurkan keangkuhan diri. Saat menegakkan kepala ke atas, melihat para ustaz, bukankah artinya kita mau mendengar dan melihat siapa yang di atas kita. Ketika merintih dalam doa, maknanya supaya keluhan kita didengar. Itu artinya kita kecil, bodoh dan teramat banyak kekurangan. Karenanya, duduk di majelis zikir dan ilmu, pada gilirannya mampu membekap kesombongan kita.

Kelima, berkumpul dengan orang saleh. Insya Allah, mereka yang hadir di majelis zikir atau ilmu adalah para perindu, pemburu kasih sayang, dan rida Allah. Mereka adalah orang-orang yang ingin hidupnya bermakna dan bahagia dunia akhirat. Nabi SAW bersabda, "Saat orang-orang saleh berkumpul dan menyebut Allah, malaikat mengepakkan sayapnya dan menaungi mereka dengan untaian doa: "Ya Allah rahmati mereka dan ampuni mereka."


Oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/07/08/lo0f2u-ketika-hati-galau-dan-terasing

Semangat Kerja Penghapus Dosa


Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya ada dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan melakukan shalat, puasa, haji, dan umrah." Para sahabat bertanya, "Lalu, apa yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah SAW?" Beliau menjawab, "Bersemangat dalam mencari rezeki."

Semangat dalam bekerja merupakan keharusan untuk siapa pun yang ingin mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Baik sukses di dunia maupun akhirat. Begitu pun, dengan orang yang semangat dalam bekerja, dia akan meraih kebagiaan. Bahagia karena akan mendapatkan impian dan harapannya.

Islam sangat menghargai orang yang penuh dedikasi dan loyalitas dalam bekerja. Dalam kondisi apa pun, kita harus tetap bersemangat untuk selalu bergerak menangkap peluang-peluang dan membuka pintu-pintu rezeki yang telah disediakan-Nya. Allah Maha Rahman dan Rahim, Allah pula Mahakaya. Oleh karena itu, kita jangan takut kehabisan dengan kekayaan di dunia ini.

Untuk membuktikan dan meraih anugerah-Nya, Allah SWT menyeru kita untuk bergerak dinamis menyambut rezeki-Nya. Bukan dengan berdiam diri banyak zikir dan berdoa, atau mengasingkan diri untuk semedi dan lain sebagainya, tetapi bergerak terus menciptakan dan membuka peluang. Berdoa harus, tetapi rezeki tidak datang dengan sendirinya kalau tidak ditopang dengan berusaha meraihnya. Bekerja juga merupakan bentuk ibadah yang kualitasnya sama dengan ibadah-ibadah lainnya.

Dalam surah Al-Jumu'ah [62]: 10, Allah SWT berfirman, "Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." Rasulullah SAW bersabda, "Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat dan puasa)." (HR Thabrani dan Baihaqi).

Kalau tidak bergerak dan kerja keras, hal itu melawan sunatullah dan apa yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Rasul bersabda, "Sebaik-baik manusia dalam melakukan pekerjaannya adalah mereka yang berusaha semaksimal mungkin dengan mengeluarkan kemampuan yang ada dalam dirinya." Tidak langsung memvonis diri tidak mampu dan tidak ditakdirkan untuk miskin atau gagal.

Rasulullah SAW sangat menyukai orang yang bekerja dengan penuh tantangan, ketimbang mudah putus asa atau pasrah terhadap usaha yang sedang dikerjakan. Rasulullah SAW pernah mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz ketika melihat tangan Sa'ad yang kasar karena bekerja keras. "Inilah dua tangan yang dicintai Allah," kata Nabi Muhammad SAW.

Di dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, terkadang ia dapat atau terkadang ia ditolak."

Sangat disayangkan karena tidak sedikit mental yang tidak siap bertarung dalam meraih rezeki-Nya. Mereka ingin mudah dalam meraihnya, salah satunya dengan meminta. Kalau ingin sukses, keluarkanlah keringat dari badan sendiri dan berjuanglah untuk menikmati kerja keras.


Oleh Encep Dulwahab
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/07/07/lnygkp-semangat-kerja-penghapus-dosa

Jumat, 08 Juli 2011

Keteladanan Umar Bin Abdul Azis

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang paling disenangi rakyatnya. Banyak ahli sejarah menjulukinya dengan Khulafaur Rasyidin kelima. Saat menjadi khalifah, Umar pernah mengambil paksa harta yang dimanfaatkan keluarga khalifah karena melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dan menyerahkannya ke baitulmal.

Umar juga membuat kebijakan menghapus pegawai pribadi bagi khalifah. Umar menekankan terjalinnya kedekatan hubungan antara pejabat dan rakyat. Umar juga berhasil menciptakan kemakmuran. Hal itu tergambar dari sulitnya mencari penerima zakat sehingga harta negara yang berasal dari zakat sampai menggunung. Menariknya, meskipun rakyat hidup makmur, Umar tetap hidup sederhana. Ia pernah membuat petugas protokoler terkejut. Pasalnya, Umar menolak kendaraan dinas karena lebih memilih binatang tunggangan miliknya sendiri.

Saat Umar sakit, Maslamah bin Abdul Malik datang menjenguknya. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Ia bertanya kepada Fatimah, istri Umar, "Tidakkah engkau mencuci bajunya?" Fatimah menjawab, "Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain, kecuali yang dipakainya."

Suatu ketika, Umar memanggil istrinya yang memiliki banyak perhiasan pemberian ayahnya. "Wahai istriku, pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan-perhiasan ini ke baitulmal atau kamu izinkan saya meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku, kamu, dan perhiasan ini berada dalam satu rumah." Fatimah menjawab, "Saya memilih kamu daripada perhiasan-perhiasan ini."

Umar juga dikenal bersih dan jujur. Diriwayatkan Amr bin Muhajir, suatu hari salah seorang anggota keluarganya memberi apel. Umar lantas berkata, "Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai." Amr bertanya, "Mengapa pemberian hadiah dari orang yang masih ada hubungan kekerabatan ditolak? Padahal, Rasulullah SAW juga menerima hadiah." Umar menjawab, "Sesungguhnya, hadiah yang diberikan kepada Rasulullah benar-benar HADIAH, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah SUAP."

Dalam situasi Indonesia seperti saat ini, keteladanan Umar patut dicontoh.

Pertama, hidup sejahtera adalah hak setiap warga negara. Islam menganut prinsip keadilan, tidak ada orang miskin di tengah orang kaya.

Kedua, seorang pemimpin harus menjaga amanah rakyat. Karena itu, penyalahgunaan kekuasaan harus dihindari demi terciptanya bangsa yang makmur, sejahtera, dan damai.

Ketiga, kedekatan hubungan antara pemimpin dan rakyat perlu dibangun agar aspirasi rakyat bisa diterima langsung oleh pemimpin.

Keempat, di tengah ekonomi yang sedang terpuruk, pejabat negara perlu menjaga perasaan rakyat. Sebagai khalifah, Umar memilih hidup sederhana dengan kendaraan dan pakaian yang sederhana.

Kelima, di tengah maraknya kasus korupsi, Umar memberi teladan bahwa seorang pemimpin harus bersih dan selalu memegang prinsip kejujuran. Keenam, kekayaan seseorang tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan strata sosial. Strata sosial seseorang adalah sejauh mana orang tersebut memiliki kesalehan sosial.

Oleh Khofifah Indar Parawansa
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/06/27/lnfkou-keteladanan-umar-bin-abdul-azis

Rabu, 06 Juli 2011

TUKANG KAYU DAN RUMAH TERAKHIR

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. “Ini adalah rumahmu, ” katanya, “hadiah dari kami.”

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.
Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup
kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.

Senin, 04 Juli 2011

pesan ibu

Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, “Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!”

“Tidak Dik, saya mau makan nasi saja,” kata si pemuda menolak.

Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.

Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, “Tidak Dik, saya sudah kenyang.”

Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, “Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om.”

Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. “Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya.”

Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.

Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, “Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?”

“Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu.”

Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. “Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh.” Si anak pun segera menghitung dengan gembira.

Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, “Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu.”

Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, “Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami.”

Hikmah:
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.

Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.

Takwa dan Fungsinya



Takwa adalah bekal hidup paling berharga dalam diri seorang muslim. Tanpanya hidup menjadi tidak bermakna dan penuh kegelisahan. Sebaliknya, seseorang akan merasakan hakikat kebahagiaan hidup, baik di dunia mau pun di akhirat apabila ia berhasil menyandang sebagai orang yang bertakwa.

Kata takwa sudah amat akrab di telinga kita. Tiap khutbah Jumat sang khotib senantiasa menyerukannya. Bahkan di tiap bulan Ramadhan, kata taqwa pun menghiasi ceramah-ceramah atau kultum-kultum yang diadakan. Taqwa adalah bekal hidup paling utama.

Ketika Abu Dzarr Al-Ghifari meminta nasihat kepada baginda Rasulullah, maka pesan paling pertama dan utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu adalah takwa. Kata Rasulullah SAW, "Saya wasiatkan kepadamu, bertakwalah engkau kepada Allah karena takwa itu adalah pokok dari segala perkara." [Nasr bin Muhammad bin Ibrahim, Kitab Tanbih al-Ghofilin li Abi Laits As-Samarkindi]

Secara lughah (bahasa), takwa berarti: takut atau mencegah dari sesuatu yang dibenci dan dilarang. Sedangkan menurut istilah, terdapat pelbagai pengertian mengenai takwa. Ibn Abbas mendefinisikan, taqwa adalah takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya. [tafsir Ibn Katsir, hal. 71]

Imam Qurthubi mengutip pendapat Abu Yazid al-Bustami, bahwa orang yang bertakwa itu adalah: "Orang yang apabila berkata, berkata karena Allah, dan apabila berbuat, berbuat dan beramal karena Allah." Abu Sulaiman Ad-Dardani menyebutkan: "Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang kecintaan terhadap hawa nafsunya dicabut dari hatinya oleh Allah." [Al-Jami li Ahkamil Qur'an, 1/161]. Sedangkan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan, bahwa hakikat taqwa adalah taqwa hati, bukan takwa anggota badan." [lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, kitab al-Fawaid, hal.173]

Umumnya, para ulama mendefinisikan taqwa sebagai berikut: "Menjaga diri dari perbuatan maksiat, meninggalkan dosa syirik, perbuatan keji dan dosa-dosa besar, serta berperilaku dengan adab-adab syariah." Singkatnya, "Mengerjakan ketaatan dan menjauhi perbuatan buruk dan keji." Atau pengertian yang sudah begitu populer, taqwa adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya.

Dari definisi-definisi di atas menunjukan bahwa urgensi taqwa sudah tidak diragukan lagi, apalagi Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW. secara berulang-ulang menyeru kita supaya bertaqwa. Khusus bagi orang-orang yang bertakwa, Allah telah menjanjikan berbagai macam keistimewaan atau balasan atas mereka, di antaranya: pertama, bagi siapa saja yang bertaqwa kepada-Nya, maka akan dibukakan baginya jalan keluar ketika menghadapi pelbagai persoalan hidupnya. (QS Ath-Thalaq: 2).

Kedua, memperoleh rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS At-Thalaq:3). Ketiga, dimudahkan segala urusannya (QS Al-Thalaq:4). Kelima, diampuni segala dosa dan kesalahannya, dan bahkan Allah SWT. akan melipatgandakan pahala baginya (QS Al-Thalaq: 5). Keenam, orang yang bertaqwa tidak akan pernah merasa takut, mengeluh, was-was dan sedih hati (QS Yunus: 62-63). Ketujuh, mereka yang bertaqwa akan memperoleh berita gembira (al-busyra), baik di dunia maupun di akhirat (QS Yunus: 64).

Di samping memberikan motivasi, janji-janji yang terkandung dalam ayat-ayat di atas juga menjelaskan tentang keutamaan taqwa dan fungsionalnya terhadap problematika kehidupan seorang muslim. Oleh sebab
itu, tidak semestinya bagi seorang muslim atau mukmin memandang remeh perkara ini. Pasal, taqwa berfungsi sebagai bekal hidup yang paling esensial dan substansial.

Lebih-lebih, bagi seorang pemimpin yang sedang memikul amanah dan tanggung jawab, bekal ketaqwaan tentunya sangat diperlukan. Tidak mustahil, seorang pemimpin, apa pun posisi dan levelnya akan mampu menunaikan tugas-tugasnya dengan baik, menemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya serta dapat mencapai tujuan kolektifnya, apabila pemimpin tersebut membekali dirinya dengan ketakwaan kepada Allah.

Ibadah puasa Ramadhan tahun ini sudah hampir tiba. Kehadirannya merupakan momentum yang sangat berharga bagi kita untuk bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam memperbanyak amal kebajikan sehingga kita betul-betul termasuk golongan insan bertakwa. Wallahu'alam bis shawab.

Anger management

Oleh Syaifoel Hardy

Menurut pandangan ahli ilmu jiwa, manusia yang sehat itu apabila bisa bersenang-senang atau bergurau (fun), bermain (play) serta bekerja (work). Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka jiwa kita memerlukan terapi.

Bayangkan saja apabila dalam kehidupan sehari-hari ini kita hanya bekerja dan bekerja. Betapa membosankan. Tidak terkecuali apabila kehidupan kita hanya berisi senda-gurau semata. Atau kita penuhi kegiatan mainan. Betapa berantakannya kehidupan yang tidak pernah serius ini.

Kombinasi ketiga aspek tersebut, apakah itu di rumah, di kantor atau di masyarakat penting sekali demi keseimbangan kesehatan jiwa kita. Rasulullah SAW saja dalam riwayatnya memiliki selera humor, juga suka bermain dengan cucu-cucu beliau SAW, selain bekerja keras.

Apakah itu berarti bahwa kita tidak boleh marah? Atau orang yang marah berarti tidak sehat?

Pulang dari kerja kemarin, suhu udara di Qatar cukup panas. Empat puluh tujuh derajat celcius. Di Surabaya dan Jakarta, maksimal suhu udara 33-34 saja sudah demikian gerahnya. Apalagi suhu sedemikian tinggi di Timur Tengah. Konon, akan lebih panas lagi jika tidak punya duit (Fun: Red!). Tambah panas kan?

Ketika saya nyalakan AC kamar, kali ini koq agak beda. Padahal, pagi hari sebelum berangkat ke kantor rasanya normal-normal saja. Saya cek di sana-sini. Saya tekan beberapa tombol bergantian yang ada di remote control AC tersebut. Tidak juga berubah. Saya putuskan menghubungi Teknisi AC. Sejumlah petunjuk diberikan. Anehnya, tidak juga membawa hasil.

Akhirnya saya cari manual nya. Alhamdulillah masih saya simpan. Biasanya saya paling nggak suka menyimpan hal-hal yang demikian. Tapi tahun lalu, entahlah. Manual AC ini tidak terbuang. Tahap-demi tahap saya baca. Sampai akhirnya pada bagian Out Door Unit. Bagian ini, disarankan tidak boleh terkena sinar matahari atau kipas anginnnya tidak boleh ada block. Artinya, harus menghadap ke udara bebas.

Nah! Outdoor unit AC ini letaknya di teras lantai lima gedung kami. Saya yakin, pasti ada yang nggak beres! Tanpa sabar menunggu, karena udara memang mulai panas juga di dalam rumah, saya naik lift.

Benar dugaan saya. Pindahnya rumah penjaga gedung (watchman) kami ke atas, membuat unit tersebut terganggu. Bagaimana tidak terganggu? lha wong letaknya sudah berubah!

Tanpa berpikir panjang, saya kontak watchman. Kemudian saya suruh menghubungi teknisi AC. Berhubung pulsanya nggak cukup, dia meminta saya menelepon Foreman. Bebeberapa kali ringing, tidak diangkat. Kirim sms juga nggak ada tanggapan. Saya putuskan menelepon dan menelpon lagi.

Begitu dia angkat, kesempatan besar nih untuk ‘nyerocos’!

Saya marah! Anehnya, sudah tahu bahwa marah, lha koq malah bertanya ke saya: “Why are you angry?” Lha yang bilang saya ketawa itu memangnya siapa? Of course saya marah!

Bagaimana tidak marah? Unit yang ada di teras atas gedung itu kan punya saya? Tanpa meminta izin si empunya, tukang dia yang mendirikan kamar watchman di atas itu seenaknya saja memindahkannya ke lain tempat. Bukan hanya itu. Salah satu kabel penguhubungnya ada yang putus. Parahnya lagi, ada pipa kecil yang bocor, sehingga gas yang ada dalam AC nyaris kosong. Pantes, suhu udara jadi kayak seterika saja!

Sebetulnya, saya menyadari bahwa hal-hal yang seperti ini tidak harus diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Niat saya hanya ‘mengajar’ sang Foreman. Kalau saja saya tidak marah, saya kuatir dia akan perlakukan orang lain sama dengan saya nantinya. Jadi, korban malah lebih banyak. Makanya, dibalik kemarahan ini, saya bermaksud ada hikmanya.

Ketika sang teknisi AC sedang sibuk membetulkan kabel-kabel AC, saya bilang kepada watchman: “Untung saya bukan orang Arab, Pakistan atau India. Coba saja seandainya mereka yang jadi saya, pasti kamu sudah ‘dicuci’!” Dia tersenyum, mengiyakan pernyataan saya.

Beberapa saat sebelum teknisi AC datang, saya menelepon lagi sang Foreman, sekedar meyakinkan kalau dia akan mendatangkan teknisi AC untuk memperbaiki kerusakan ini. Tapi nada saya tidak lagi ‘panas’.

Di akhir pembicaraan saya sampaikan terimakasih kepada nya. Sebagai bentuk ekspresi etika kehidupan sosial, bahwa kemarahan kita harusnya terfokus. Bukannya tidak terkontrol kayak orang-orang di belakang ‘tembok’ sana (Baca: Rumah Sakit Jiwa. Red!)

Ringkasnya, orang yang marah boleh-boleh saja sepanjang beralasan. Ketika saya bertanya kepada seorang ahli penyakit jiwa, pemarah bagaimana yang tidak normal, dijawabnya bahwa kemarahan yang ada dalam batas-batas normal adalah kembali normalnya sikap sesudah marah.

Jadi, jangan sampai kemarahan itu berkelanjutan sesudah peristiwanya terjadi. Sebaliknya, malah kita bakalan disebut tidak normal apabila kita tertawa, padahal seharusnya marah!

Maka, berbahagialah orang yang bisa marah, namun mampu mengendalikannya. Termasuk kembali ke kondisi sediakala, sesudah marah-marah yang pada tempatnya. Wallau a’lam!

Sabtu, 02 Juli 2011

Daftar Kode Emoticon Facebook














Facebook Emoticon

Jumat, 01 Juli 2011

Ketika Hati Menangis


Tuhanku….

ketika hati menangis, hanya kau saja yg tahu

Tuhanku….

Ketika mereka meninggalkan aku sendiri

Ketika dunia tiada simpati, Kau tetap mendengar rintihanku

PadaMu tempatku menagih kasih

Ketenangan kurasa mendekatiMu

Syahdu malam tak terasa sunyi

Tuhanku….

Ketika aku dalam kepayahan, dalam kesendirian dihimpit cobaan

Kau beri aku kesabaran, pengalaman mengajar arti kematangan

Lantas Kau membuka pintu hatiku, untuk memberi kemaafan

Pada mereka yang pernah melupakanku

Tuhanku….

Ketika aku buntu

Kau berikan aku kekuatan, kau tunjukkan aku jalan

Kau tak biarkan aku sendirian

Tuhanku….

Yang Maha Pengasih, Rahmatmu tak terkira

Syukurku melangit pun tak tercapai

Sungguh aku merasa berdosa karena dulu sering lalai

Semoga penyesalanku Kau terima

THANK YOU ALLAH FOR THE BLESSINGS YOU HAVE GIVEN

Template by:

Free Blog Templates