Kamis, 27 September 2012

Gerbang Lod: Di sinilah Isa Menaklukkan Dajjal





"Sesungguhnya Isa bin Maryam akan membunuh Dajjal di Bab Lud (Gerbang Lod)." (HR Ahmad, Turmudzi, dan Nu'aim bin Hamad).
 

Pada akhir zaman nanti akan turun dajjal ke muka bumi ini.  Rasulullah SAW bersabda, ‘’Ketika sedang tidur,  aku bermimpi melakukan tawaf di Ka’bah. Lalu ada seorang berambut lebat yang meneteskan air dari kepalanya, lalu aku tanyakan siapakah ini? mereka menjawab, ‘Ibnu Maryam AS’.’’

‘’Kemudian aku berpaling dan melihat seorang laki-laki yang gemuk, berkulit merah, berambut keriting, matanya buta sebelah, dan matanya itu seperti buah anggur yang masak (tak bersinar). Mereka mengatakan, ”Ini Dajjal”. Dia adalah orang yang paling mirip dengan Ibnu Qathn, seorang laki-laki dari Khuza’ah.” [HR Bukhari dan Muslim].
Dalam hadis lainnya disebutkan, ‘’Lalu turunlah Isa bin Maryam di menara putih di bagian timur Damaskus. Isa menemukan Dajjal di Pintu Lod, kemudian membunuhnya.’’ (HR Abu Daud)

Dari Mujami bin Jariyah Al-Anshari RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Isa bin Maryam akan membunuh Dajjal di Bab Lud (Gerbang Lod).'' (HR Ahmad, Turmudzi, dan Nu'aim bin Hamad).

''Tidak ada satu orang kafirpun yang masih hidup, semuanya terbunuh. Lalu Isa berhasil menyusul Dajjal di Pintu Lod dan membunuhnya. Lalu beberapa kaum Muslimin yang diselamatkan Allah ke hadapan Isa bin Maryam. Ia mengusap wajah mereka dan memberitahukan kepada mereka tentang kedudukan mereka di surga.'' (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Hakim).

Dalam hadis di atas diungkapkan bahwa Dajjal akan dikalahkan Nabi Isa AS di Gerbang Lod. Di manakah letaknya?  Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith Al-Nabawi, Lod atau Gerbang Lod adalah kota yang terletak dekat Baitul Maqdis atau Elia di Palestina dekat Ramalah.

‘’Dahulu, rombongan kafilah dari Syam (Suriah) yang menuju Mesir Singgah di kota ini, Begitu juga sebaliknya,’’ ujar Dr Syauqi.

Kini, Lod merupakan salah satu kota yang berkembang di Dataran Sharon, yaitu 15 km di tenggara Tel Aviv, Israel. Lod yang dalam bahasa Arab adalah al-Ludd itu, konon menjadi tempat tinggal Suku Benyamin.  Kota seluas 12.226 km persegi intu sudah  muncul sejak Periode Kanaan. Temuan tembikar di daerah tersebut menunjukkan Kota Lod telah eksis sejakr 5600 hingga 5250 Sebelum Masehi.

Dan sejak saat itu,  Lod menjadi hunian Bangsa Yahudi hingga penaklukan yang dilakukan oleh Romawi pada tahun 70 Masehi. Kota ini dikenal sebagai pusatnya pemikir dan pedagang Yahudi. Menurut peneliti sejarah, Martin Gilbert, Raja Dinasti Hasmonean Jonathan Maccabee dan saudara laki-lakinya simon Maccabaeus memperluas daerah kekuasaannya di bawah kendali Yahudi, termasuk menaklukkan Kota Lod.

Pada tahun 43 M, Gubernur Romawi untuk Suriah, Cassius, menjual penduduk Lod sebagai budak. Selama Perang Romawi-Yahudi I, Prokonsul Suriah, Cestius Gallus, menghancurkan kota tersebut dalam perjalanannya menuju Yerusalem pada tahun 66 M. Dua tahun berikutnya kota ini diduduki oleh Kekaisaran Vespasian.

Selama Perang Kitos, tentara Roma mengepung Kota Lod dan mengganti namanya menjadi Lydda. Pada saat itu terjadi pemberontakan Yahudi dipimpin oleh Julian dan Pappus.  Lydda kemudian dikuasai dan banyak Yahudi yang dieksekusi. “Pembunuhan Lydda” sering digunakan sebagai kalimat pujian di dalam Talmud.

Romawi berhasil menguasai kota yang 75 persen penduduknya bangsa Yahudi itu pada 70 M. Pada abad ke-3 Kekaisaran Septimius Severus mengangkat status Lod menjadi sebuah kota yang disebut dengan Colonia Lucia Septimia Severa Diospolis. Diospolis berarti Kota Para Dewa.

Ketika diduduki oleh Kekaisaran Romawi, kebanyakan penduduknya menganut agama Kristen. Saat itu, Romawi memang tengah melakukan kristenisasi besar-besaran di daerah kekuasaannya. Namun,  pada abad ke-6 M, kota itu kembali berganti nama menjadi Georgiopolis, untuk menghormati seorang prajurit Kekaisaran Diocletian, St George. Gereja dengan nama yang sama juga dibangun di kota tersebut untuk mengenangnya.

Kota ini menjadi salah satu lokasi yang penting setelah penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina oleh pasukan tentara Muslim yang dipimpin Khalid bin Walid pada 636M. Selama penaklukan yang dilakukan kaum Muslim, Lod menjadi markas Provinsi Filastin, meskipun selanjutnya dipindahkan ke Ramla.

Pada awal abad ke-11 M,  tepatnya tahun 1099,  Tentara Salib merebut kota ini dari bangsa Arab dan menamainya menjadi St Jorge de Lidde. Namun, kota tersebut direbut kembali dari Tentara Salib  pada tahun 1191 oleh pasukan Saladdin.  Penjelajah Yahudi, Benjamin Tudela, mengatakan, saat Saladdin menaklukkan Lod sebanyak 1.170 keluarga Yahudi tinggal di sana.

Di bawah Kesultanan Ottoman (Turki Usmani), Gereja Saint George dibangun pada tahun 1870. Pada 1892 stasiun kereta untuk pertama kalinya dibangun di seluruh kota. Pada pertengahan abad ke-19 M, pedagang Yahudi bermigrasi ke kota tersebut namun kembali mengungsi pada tahun 1921 setelah tejadi Kerusuhan Jaffa. Pada tahun-tahun ini Lydda berada di bawah administrasi Mandat Inggris di Palestina sebagai keputusan Liga Bangsa-Bangsa yang diikuti dengan Perang Dunia I.

Selama Perang Dunia II, Inggris mengatur pos-pos pasukannya di dalam dan sekeliling Lydda dan stasiun keretanya. Setelah peresmian negara Israel pada tahun 1948, bandar udara Lod diubah namanya menjadi Bandara Ben Gurion.

Hingga 1948,  Lydda menjadi permukiman bangsa Arab dengan populasi sekitar 20 ribu penduduk dan sebanyak 18.500 jiwa adalah Muslim dan sisanya Kristen. Pada 1947 Perserikatan Bangsa-Bangsa membagi Palestina kepada dua bangsa: Yahudi dan Arab. Sedangkan Lydda diminta untuk dilepaskan dari bangsa Arab.

Namun bangsa Arab menolak rencana tersebut. Maka setelah menyatakan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948 Israel menyerang dan merebut beberapa daerah Arab di luar yang diberikan PBB, termasuk Lydda. Dua bulan berikutnya Pasukan Pertahanan Israel memasuki Lydda. Menurut tentara Israel, sebanyak 250 bangsa Arab, baik pria, wanita, maupun anak-anak terbunuh.

Selama 1948, populasi di Lydda meningkat menjadi 50 ribu jiwa, yang sebagian besar merupakan pengungsi Arab. Namun sekitar 700 hingga 1.056 orang diusir atas perintah komando tinggi Iseael dan dipaksa berjalan sepanjang 17 km menuju garis Legiun Arab pada hari terpanas tahun itu. Banyak yang meninggal karena kelelahan dan dehidrasi dalam perjalanan tersebut. 

Kota Lydda kemudian dikuasai oleh tentara Israel. Beberapa ratus keturunan Arab yang tinggal di kota itu tidak diizinkan menempati rumah-rumah mereka. Mereka segera kalah jumlah akibat masuknya imigran Yahudi dari berbagai daerah pada Agustus 1948. Sebagian dari mereka adalah Yahudi yang tinggal di negara-negara Arab.

Maka seperti awal mula berdirinya kota tersebut, Kota Lydda kembali menjadi kota Yahudi. Imigran Yahudi terus berdatangan, awalnya dari Maroko dan Tunisia, lalu dari Ethiopia dan kemudian dari Uni Soviet.

Di dalam Kota Lod  terdapat sebuah dinding setinggi tiga meter yang dibangun untuk memisahkan distrik Yahudi dari distrik bangsa Arab. Pertumbuhan daerah Arab sangat minim, sementara Pemerintah Israel telah mendorong pembangunan di daerah Yahudi. Beberapa layanan seperti lampu jalan dan pengumpulan sampah hanya dilakukan di distrik Yahudi.

Hal itu mengingatkan kita ketika Berlin terbagi dua oleh Tembok Berlin karena berlakunya dua kekuatan di situ, yaitu Amerika Serikat di Berlin Barat dan Uni Soviet di Berlin Timur.
Oleh: Friska Yolandha

Bersyukur itu Menenangkan dan Mengusir Keluh Kesah


bersyukur dan bahagia
 

Sebelum engkau melangkah terlalu jauh dari negerimu
Sebelum engkau memiliki cita-cita besar
Sebelum engkau terlalu angkuh 
Sebelum engkau terlalu banyak mengeluh

Hari ini kukendarai keretaku menuju suatu tempat. Melewati perempatan lampu merah yang berada tak jauh dari gang rumahku. Sebuah pemandangan yang biasa ketika kulihat seorang Bapak-bapak (maaf) yang tubuhnya tak terlihat layaknya manusia kebanyakan. Sulit bagiku menggambarkan karena dengan mengingatnya saja ada gemuruh yang tertahan dalam dada. Tapi bagiku, beliau adalah laki-laki hebat yang mungkin karena kehebatannya itulah, krna kehebatan akan ketabahannya menerima takdir yang demikian itulah yang membuat beliau menjadi salah satu laki-laki terhebat di mataku.
Teman,mungkin kalau saya ataupun kita yang mengemban takdir yang beliau pikul sekarang, kita tidak akan sanggup menerimanya. Dan mungkin krna itu jugalah Tuhan tidak memberikan cobaan seperti yang beliau terima. Karena kita terlalu lemah. Karena kita tidak sekuat beliau.
Kuseberangi perempatan jalan itu. Di seberang, kulihat lagi beberapa Bapak-bapak (maaf) pengemis yang tak biasanya kulihat di sana. Itu artinya semakin bertambahlah jumlah mereka yang mengharap ada rasa kasihan dan kesadaran saudara-saudaranya untuk membagi sebagian kecil rezeki yang dititipkan Tuhan kepada mereka. Wajah mereka menua. Entah memang karena umur mereka yang telah hampir mencapai puncaknya ataukah karena kerasnya hidup yang mereka lalui sehingga wajah itupun tampak lusuh dan tak sesegar seperti umur mereka yang sebenarnya.
Seorang Bapak yang kuceritakan di atas, seorang Bapak yang tangannya cacat sejak lahir, seorang Bapak berpakaian lusuh dg wajah menghiba sambil membawa kotak infak, dan seorang Bapak yang hanya bisa terduduk sembari menunggu ada yang mau memberinya uang di pinggir jalan. Ya, merekalah 4 orang Bapak yang begitu berharap uluran tangan yang memberinya rezeki dari si pengguna jalan raya itu. Ada yang memberi dengan melemparkan uang itu kepada mereka. Tidak langsung ke tangan mereka, teman. Tapi uang itu dilemparkan kepada mereka dan mereka pun memungutnya di jalan itu… Allah…. T_T
Teman, jika kalian diberi uang dan orang itu memberinya dengan cara melemparkannya kepadamu, bagaimana reaksimu? Saya yakin sebagian besar orang akan marah. Tapi tidak dengan mereka. Mereka memungutinya dan mengucapkan “ALHAMDULILLAH” sembari mendo’akan orang tersebut.
Entahlah… Apakah karena kemiskinan hidup yang mereka tanggung dan kerasnya perlakuan yang mungkin telah setiap hari mereka dapatkan membuat mereka ikhlas diperlakukan “tidak biasa”.
Bukankah mereka juga manusia seperti kita? Bukankah mereka juga memiliki perasaan? Bahkan sebenarnya manusia seperti merekalah yang lebih mudah untuk bersedih. Mereka tidak seberuntung kebanyakan orang lain dalam memperoleh harta, maka haruskah kita juga membuat mereka tidak seberuntung kebanyakan orang dalam memperoleh perhatian dan kasih sayang? Ingatlah, mereka saudara kita. Karena sesungguhnya kita dan mereka ibarat satu tubuh yang seharusnya jika satu bagian terluka, yang lain juga ikut merasakannya.
Teman,kadang saat kita sakit, kita juga sering mengeluh. “Kenapa saya harus menanggung penyakit ini? Saya tidak sanggup”. Banyak lagi kalimat-kalimat yang menunjukkan keluhan kita saat sebuah penyakit menjadi satu cobaan yang diberikan kepada kita. Padahal, jika kita sakit, kita masih beruntung karena masih bisa dan memiliki biaya untuk berobat ke sana ke mari. Kita masih bisa memilih tempat-tempat dan obat-obat terbaik untuk mengobati penyakit kita. Kita masih bisa meminta ini dan itu bermanja pada orang tua, kerabat, sahabat, ataupun teman untuk melepas keinginan dan selera kita di kala sakit itu. Masih ada yang menjenguk dan memperhatikan. Masih ada yang mengkhawatirkan kita. Tapi mereka? jangankan orang lain, mungkin mereka sendiripun tidak peduli lagi penyakit apa yang mereka derita. Bukan karena mereka dzalim terhadap diri mereka sendiri, tapi karena itulah, karena terlalu banyak beban dan derita yang harus mereka pikul. Jika harus mengeluh lagi, itu hanya akan memperpanjang daftar keluhan mereka, hanya akan memperpanjang riwayat masalah mereka. Apakah akan usai? Tidak…karena mereka begitu sadar bahwa hidup mereka tidak akan berubah dengan mengeluh dan mengeluh.
Ah…… Ingin rasanya memeluk mereka.
Tapi, andaikan diri duduk di sampingnya, bukan mereka yang akan menangis. melainkan AKU. Karena si “AKU” terlalu lemah. Bahkan jauh lebih lemah dari mereka siempunya dan menanggung nasib itu………
Teman, jika hari ini kita ingin mengeluh dengan sakit yang kita derita, ingatlah bahwa masih banyak saudara kita yang mungkin lebih parah dari kita. Di luar sana mungkin ada dari mereka yang tengah dalam kondisi lemah terbaring di atas tempat tidur rumah sakit atau bahkan berada dalam keadaan sakaratul maut. “Na’udzubillah…
Jika hari ini kita mengeluh dengan pekerjaan yang telah kita dapat, ingatlah bahwa di luar sana msh banyak saudara kita yang berjuang dalam tapak demi tapak utk memperoleh pekerjaan. Menapaki langkah hanya untuk mengumpulkan uang demi mengisi perut hari ini, esok, dan esoknya lagi…
Jika hari ini kita mengeluh kedinginan hanya krna tidak memiliki selimut, ingatlah ketika di luar sana banyak saudara kita yang bahkan tidak memiliki tempat berteduh dari dinginnya hujan dan udara yang mencekam tubuhnya. Bayangkanlah ketika mereka hanya bisa duduk di antara toko-toko sembari memeluk lutut dengan tubuh yang menggigil kedinginan…
Jika hari ini kita masih mengeluh, berjalanlah keluar sana, peluklah tubuh itu atau sekedar pandangilah ia, semoga kita bisa lebih bersyukur karenanya…

Dikirim oleh sahabat : vie. zahrasyavie

Berdakwahlah Sesuai Kemampuan


Setiap kita punya kewajiban untuk berdakwah. Harus ada yang menunaikannya di suatu negeri. Jika tidak ada yang menunaikan dakwah, maka semuanya berdosa. Jika sudah ada yang menunaikan, maka yang lain gugur kewajibannya. Namun dakwah di sini sesuai kemampuan. Karena demikianlah yang namanya kewajiban. Para ulama memberikan kaedah, “Kewajiban itu tergantung pada kemampuan”. Demikianlah dalam dakwah.

Perintah untuk Berdakwah

Dakwah itu adalah suatu kewajiban. Jika sebagian telah menunaikannya, maka gugur bagi yang lainnya. Kata Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam risalah beliau yang penuh faedah,Mengenai perintah untuk berdakwah sekaligus keutamaannya dijelaskan dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imron: 110).

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33).

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17).

Rabu, 12 September 2012

Berhentilah Sejenak di Terminal Kehidupan

“Marilah kita duduk sejenak untuk beriman”
(Muadz bin Jabal)

“Marilah kita beriman sejenak.
Sesungguhnya hati lebih cepat berbolak-balik
daripada isi periuk yang sedang menggelegak”

(Ibnu Rawaahah, kepada Abu Dardaa’)

Bobby De Porter dalam bukunya Quantum Learning memberikan satu tips penting dalam teknik membaca. Dia berkata, agar apa yang kita baca melekat di benak, maka perbanyaklah jeda saat membaca. Hal ini terkait hasil penelitian tentang cara kerja otak di mana otak kita memiliki kemampuan menerima informasi yang penuh (100%) saat pertama kali membaca, namun akan terus berkurang selama proses membaca tersebut.

Memang demikianlah adanya. Kita manusia penuh dengan keterbatasan. Otak yang seringkali mampu menemukan banyak kejadian luar biasa pun memerlukan jeda untuk kemudian bisa kembali bekerja.

Bukan hanya otak (akal) saja yang membutuhkan jeda. Raga dan jiwa, sebagai elemen yang ada pada diri manusia, juga membutuhkannya. Saat seseorang memekerjakan raganya terus-menerus, pasti akan ada saatnya rasa lelah, letih, penat datang sebagai sinyal yang mengarahkannya untuk berhenti sejenak.

Berhenti sejenak bukan berarti mematahkan langkah dan menjauhkan dari tujuan. Berhenti sejenak berbeda dengan diam. Karena ibarat berkendaraan, berhenti sejenak dapat menghilangkan kantuk dan memulihkan kembali stamina tubuh. Ia seperti halnya seekor burung yang hinggap di pepohonan, menghimpun tenaga untuk kemudian kembali terbang lebih jauh. Sama halnya dengan kereta yang berhenti di setiap stasiun untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, mengisi bahan bakar, mengecek mesin agar perjalanan selamat hingga ke tujuan. Ibarat musafir yang beristirahat seraya mencocokkan arah kompas, mengukur peta dan memeriksa bekal perjalanan.

Begitu pentingnya jeda dalam kehidupan ini, sehingga Rasulullah saw tidak menyudutkan Hanzalah atas segenap perasaan yang ditumpahkan kepada beliau saat merasakan aroma kemunafikan yang menghinggapinya.

“Ketika aku bersamamu ya Rasulullah, aku merasakan seolah-olah syurga dan neraka itu sangat dekat. Lantas air mataku mengalir. Tapi, di rumah aku bersendagurau bersama anak-anak dan isteriku . Tidakkah aku ini seorang munafik ya Rasulullah?”, ujar Hanzalah.

Rasulullah tersenyum, lalu bersabda,“Demi yang jiwaku di tanganNya andai kalian tetap seperti kalian di sisiku dan terus berdzikir niscaya para malaikat akan berjabat tangan kalian, sedang kalian berada di atas tempat tidur dan di jalan raya, akan tetapi wahai Hanzalah, ada waktumu (untuk beribadah) dan ada waktumu (untuk duniamu)”. – HR. Muslim

Tentu pula kita ingat bagaimana kisah Salman Al Farisi bersama sahabatnya, Abu Darda. Ia pernah tinggal bersama Abu Darda beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.

Pada suatu hari, Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnah esok hari. Dia menyalahkannya, “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” kata Abu Darda. Salman menjawab, “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah dan di samping melakukan shalat, tidurlah!” Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi dengan ilmu”.

Satu lagi kisah dalam kehidupan orang-orang shalih terdahulu, ketika ada beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan, “Aku tidak akan menikah dengan wanita.” Yang lain berkata, “Aku tidak akan memakan daging.” Dan yang lain lagi mengatakan, “Aku tidak akan tidur dengan alas.” Mendengar itu, Nabi saw memuji Allah dan bersabda, “Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR Muslim dari Anas ra)

Begitu pula dengan kehidupan Rasulullah saw sendiri. Kita pernah mendapati kisah beliau yang menyaksikan permainan tombak dari kaumHabsyi bersama Aisyah ra . Dan beliau juga, suatu ketika, melakukan lomba lari bersamanya.

Sungguh, berbagai kisah di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa Rasulullah saw dan para shahabat memenuhi hari-hari mereka dengan ibadah kepada Allah SWT. Dan di antara kesibukan beribadah itu, mereka sempatkan untuk mengambil jeda menghibur jiwa bersama orang-orang yang dicinta.

Sekarang, marilah kita tengok kehidupan kita. Akankah kita melakukan jeda dari segenap kesibukan duniawi untuk kemudian bermunajat kepada Allah, menanamkan kembali rasa syukur atas setiap curahan rahman dan rahimNya yang telah lama kita abaikan? Akankah kita merasa perlu untuk berhenti sejenak menghisab diri untuk kemudian bertaubat menyungkur sujud kepada Sang Khaliq, meraih kembali kekokohan iman yang kini sudah kian rapuh?

Yaa Bilal, arihna bi shalaah.” Demikian kata Rasulullah saw kepada Bilal. “Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat.’ Dan, Rasulullah pun mengistirahatkan diri dengan shalatnya, merasakan kesejukan dan kesenangan di dalamnya, sebagaimana pula sabda beliau, “Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain (sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.”

Demikianlah, Allah sang Khaliq Maha Tahu keadaan makhlukNya, Dia berikan kesempatan kepada kita untuk berhenti sejenak dalam terminal-terminal kehidupan. Dalam sehari ada lima waktu jeda untuk melakukan shalat. Dan dalam setiap bilangan tahun, ada Ramadhan.

Oleh: Ummu Mushlih, IMUSKA, Korea Selatan

Target Berbahaya Di Balik Ide Sertifikasi Ulama



Oleh: Harits Abu Ulya Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA

Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,

Akhirnya Ansyad Mbai (Ketua BNPT) buru-buru membantah pihaknya menggulirkan isu sertifikasi ulama di Indonesia. Menurut Ansyad yang benar adalah Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mencontohkan Singapura yang melakukan sertifikasi ulama. Jurus ngeles ini jalan keluar satu-satunya setelah hampir semua kalangan dari tokoh ormas, para kyai dan bahkan seorang Ketua MK (Mahfud MD) ikut menolak ide sertifikasi. Seperti pepatah “siapa yang menabur angin maka akan menuai badainya”, kira-kira prediksi saya terhadap langkah BNPT kedepan akan seperti itu. Kenapa demikian? Sekalipun dalam dua tahun terakhir BNPT banyak menfasilitasi berbagai komponen atau elemen masyarakat untuk membuat berbagai agenda dalam proyek deradikalisasi.Proyek ini nasional, dengan harapan bisa memenangkan hati dan pikiran publik (the strategy of winning the heart and mind), dalam bahasa Ansyad Mbai (Ketua BNPT) sebagai perang untuk memenangkan hati nurani.Tapi BNPT bisa dibilang kesandung atau gagal, indikasinya begitu mewacanakan sertifikasi ulama ternyata menjadi buah simalakama buat BNPT.Resistensi publik begitu tinggi, muncul komentar dari yang halus hingga “kasar”; ide gila, ide nyleneh, ngawur, sontoloyo, geblek, entah apalagi. Yang jelas itu artikulasi kekesalan publik atas ide atau wacana yang sangat naïf dalam isu terorisme.

Kenapa Ansyad Mbai Cs (BNPT) ingin meraih dukungan dan legitimasi publik? Dikarenakan paradigma yang diadopsi oleh BNPT dalam memetakan fenomena terorisme dan akar penyebabnya menempatkan pemahaman-pemahaman radikal (dalam agama Islam) sebagai faktor atau penyebab utamanya. Maka perlu langkah deradikalisasi dan kontra-radikalisasi. Deradikasilsasi dibangun atas asumsi; adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan,keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi, dsb). Akhirnya melahirkan spirit perlawanan untuk perubahan dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apapun. Ideologi radikal ditempatkan sebagai akar sesungguhnya dari fenomena terorisme, dalam kerangka pandangan seperti inilah deradikalisasi di manefestasikan. Dan deradikalisasi dianggap sebagai jawaban tuntas atas persoalan terorisme. Dan BNPT ingin mensublimasi publik dalam paradigma seperti ini, dengan target lenyapnya pemahaman radikal ditengah-tengah mereka (umat Islam). Efek berikutnya jika BNPT berhasil dengan hal tersebut maka akan bisa memuluskan kepentingan-kepentingan yang lebih besar; penguatan legal frame (regulasi) sampai pelarangan kelompok-kelompok yang dicap radikal atau fundamentalis.

Dan hakikat deradikalisasi yang diimplementasikan oleh BNPT itu adalah langkah ”soft approach”, turunan dari strategi kontra-terorisme. Sebuah kebijakan politik sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan ”terorisme” baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan). Namun sayangnya, bisa dipastikan BNPT menempatkan term radikal dengan pemaknaan yang stereotif, over simplikasi dan subyektif.”Radikal” menjadi label yang di lekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara padang, sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan mainstream yang ada. Atau cap ”radikal” itu untuk orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikiranya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariat dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kedzaliman global.

Maka yang dimaksud ”de-radikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.

Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ektrem dengan dunia Barat. (lihat laporan utama majalah Time ed 13 September 2004, setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal menurut kacamata Barat).

Dalam konteks inilah sesungguhnya ide sertifikasi ulama itu di wacanakan oleh BNPT. Upaya untuk memaksa mindset (baca;pikiran, logika berpikir, isi otak) para ulama sama seperti yang di inginkan oleh BNPT. Mereka (BNPT) berharap sekali ulama itu legowo mau mengusung Islam moderat, liberal dan pluralis. Dan mereka yang sudah mendapat sertifikasi itulah yang dianggap legal untuk menyampaikan dakwah ketengah-tengah umat.Menjadi komunikan yang piawai membangun persepsi dan pemahaman umat Islam yang lebih moderat dan pluralis. Dengan begitu benih-benih terorisme akan tereduksi habis. Cara pandang seperti ini hakikatnya manampar muka BNPT sendiri, secara tidak sadar telah menuduh para ulama yang ada selama ini menjadi biang lahirnya tindakan-tindakan radikal fisik atau bahkan terorisme. Dan tidak salah kalau langkah BNPT dianggap sebagai deradikalisasi yang salah arah, karena dengan jelas-jelas menyudutkan Islam, ulama dan umatnya sebagai habitat subur lahirnya terorisme.Bahkan seolah bernafsu sekali setback membangun kehidupan masyarakat di bawah rezim yang represif dan tirani.

Jadi sertifikasi ulama pada awalnya sebagai upaya revisi pemikiran.Inilah substansi ide sertifikasi ulama, awalnya tidak masuk di ranah legalitas atau pengakuan. Namun sekalipun BNPT bermaksud hanya main di ranah substansi pemikiran tetap saja akhirnya pada tataran praksis akan mereduksi ”titel” ulama. Sebuah ”titel” yang hakikatnya bukan hadiah atau pemberian negara atau pemerintah tapi itu adalah pengakuan umat kepada mereka dengan segala parameternya. Ulama itu bukan orang yang memegang SIM (surat izin mubaligh) dari pemerintah untuk bisa ceramah atau dakwah dimimbar-mimbar, forum tertutup maupun terbuka.Sebuah pembodohan jika berupaya membangun mindset masyarakat (umat Islam) penerimaan atau penolakan mereka terhadap ulama berdasarkan ada tidaknya sertifikat yang dimiliki seseorang. Umat harus sadar bahaya atau implikasinya lebih jauh strategi seperti ini.

Sertifikasi ulama adalah derivat dari strategi counter ideologi radikal (deradikalisasi), dan berdiri diatas paradigma ”sarang laba-laba” artinya sangat rapuh sekali.Sebuah upaya revisi pemikiran yang hakikatnya adalah tahrif (penyimpangan) dan tadzlil (penyesatan) pada terma-terma utama yang dituduh sebagai pemicu lahirnya radikalisme dalam Islam. Dalam berbagai forum yang digelar, BNPT berusahan menawarkan tafsiran-tafsiran baru terhadap teks-teks samawi. Karena selama ini pemahaman yang dianggap radikal terhadap teks-teks (nash) menjadi sumber lahirnya terorisme. Karena itu BNPT dalam perang pemikiran dan opini berusaha “mengkonstruksi” ulang beberapa pengertian terhadap terminologi-terminologi tertentu. Misalkan BNPT selalu menampilkan “ijtihad-ijtihad” baru terhadap istilah: 1.Jihad/istishad/ightiyalat dan intihar, 2. Klaim kebenaran, 3. Amar ma’ruf nahyi munkar, 4. Hijrah, 5. Thagut, 6. Muslim dan kafir, 7.Ummatan washat, 8.Doktrin konspirasi, 9. Tasamuh, 10. Daulah Islam dan Khilafah.

Misalkan masalah “jihad”; BNPT berusaha menampilkan tafsiran yang menyempitkan makna jihad. Dan berusaha mengaborsi dengan argumentasi yang “lacut” bahwa jihad tidak lagi harus di maknai sebagai “al Qital”. Maka hakikatnya ini bukanlah “ijtihad” melainkan dekonstruksi terminologi yang telah baku ditentukan oleh syariat. Tampak sekali, jihad menjadi momok dan seolah menjadi perkara yang harus di aborsi pada diri umat Islam.Demikian juga pada istilah lainya, bahkan cenderung melakukan monsterisasi dan mengkriminalisasi istilah-istilah daulah Islam dan Khilafah. Dibangun persepsi seolah menjadi suatu istilah secara politik perkara yang tidak menguntungkan bagi umat dan kalau perlu harus dibuang jauh-jauh dari benak umat Islam.

Jika BNPT mengkampanyekan “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” dalam berbagai kesempatan, sejauh ini tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksudkan Islam versi BNPT tersebut. Penulis berani ambil kesimpulan inilah yang disebut dengan “kalimatul haq iroda bihal baatil” (kalimat yang benar tapi yang diinginkan adalah kebatilan).

Dengan kata lain, ini artikulasi manipulatif BNPT atas nama pluralisme, liberalisme, moderatisme yang jelas-jelas telah difatwakan haram oleh MUI. Dan inilah hakikat yang hendak diraih dari proyek deradikalisasi dengan derivatnya (sertifikasi ulama), pengarusutamaan “Islam moderat” menjadi arus utama di negeri Indonesia dalam bingkai sistem Sekuler Kapitalis-demokrasi. Dan seolah menjadi kewajiban bagi BNPT untuk mengaborsi, menyumbat atau mengalenasi kelompok Islamis yang hendak menegakkan Islam kaffah untuk Indonesia. Penulis melihat justru BNPT menanam benih spiral kekerasan dan teror dalam ruang politik Indonesia yang makin carut marut.

Maka dari paparan diatas, wajar jika umat Islam mempersoalkan bahkan menolak wacana sertifikasi ulama. Karena sebuah ide yang sangat berbahaya karena menyeret masyarakat luas secara manipulative untuk melupakan akar/hulu terorisme yang hakiki. Kemudian berpotensi melahirkan tafsiran menyimpang terhadap nash-nash syariah. Dan tidak kalah bahayanya akhirnya membuat polarisasi umat Islam (perpecahan). Program ini pada akhirnya akan melahirkan bahaya (dzarar) lebih besar berupa tetap tegaknya sistem sekular dan langgengnya imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Di bawah sistem sekular, umat Islam hidup dalam kehidupan yang sempit, jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan yang paling dasyat adalah di hadapan Allah SWT termasuk golongan orang-orang yang nista. Na’udzubillah min dzalik

Berbicara, Mendulang Pahala atau Dosa?


Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,

Oleh : Kinan Nasanti
Bicara adalah kebutuhan.. Dengan bicara gagasan-gagasan yang tersimpan di kepala, dan emosi yang tersimpan di hati jadi bisa ditangkap oleh orang lain. Hal ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi kita. Bahkan menyehatkan! Apalagi bila kemudian gagasan dan emosi kita ini direspon oleh lawan bicara, tentu ini makin membuat kita merasa diperhatikan.

Begitu banyak orang yang merasa diterima di sebuah lingkungan hanya gara-gara dia bisa mendominasi pembicaraan atau karena orang-orang mau mendengarkan kata-katanya, juga mengagumi isi ceritanya. Respon yang positif ini akan mendorong seseorang untuk melakukaan hal yang sama di lain tempat dan waktu.

Sebaliknya banyak orang yang merasa ditolak hanya gara-gara dia tidak bisa mengimbangi lawan bicaranya, atau tak ada yang mengagumi cerita-ceritanya, bahkan tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya.

Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya. Semua kata yang keluar dari lisan seorang muslim seharusnya punya konsekuensi yang lebih besar dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Ini disebabkan seorang muslim berbicara diawali dengan pemahaman atas apa yang dia bicarakan dan pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia bicarakan, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Pemahaman atas apa yang dia bicarakan membuat seorang muslim tidak bicara “ngaco”. Ilmu menjadi dasarnya, baik ilmu yang diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal, bahkan ilmu dari pengalaman hidup sekalipun. Pemahaman terhadap ilmu ini akan membuat seorang muslim bisa bijaksana memilah kata-kata yang tepat, sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan orang yang diajak bicara.

Pengetahuan tentang konsekuensi atas apa yang dia bicarakan pun akan mendorong seorang muslim untuk menjaga lisannya agar hanya mengeluarkan kata-kata terbaik yang mengandung kemanfaataan dan keselamatan bagi orang lain. Bukan sekedar kata-kata basa-basi dengan harapan mendapat decak kagum dari orang lain. Bukan juga kalimat-kalimat manis yang diluncurkan hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, tanpa ada nilai manfaatnya bagi orang lain.

Dalam beberapa hal, ini masih bisa ditolerir pada batas-batas tertentu. Namun bila kemudian menjadi kebiasaan yang berkepanjangan dikhawatirkan bisa menjerumuskan kita pada kata-kata dusta tanpa kita sadari, hanya untuk tujuan ini; tujuan pengakuan dari orang lain. Sungguh, sebuah kebohongan yang kita ucapkan sekali, dan kemudian kita ulangi kedua kali bahkan sampai ketiga kalinya tanpa adanya penyesalan akan menjadikan kita terbiasa olehnya.

Satu kata kebaikan yang keluar dari lisan seorang muslim pun punya konsekuensi bahwa dialah orang pertama yang melaksanakan kata-katanya tersebut. Apa pun kata-kata itu; diucapkan langsung ataupun dalam bentuk tulisan. Bukan suatu yang mudah memang. Kadang tuntutan ini membuat kita jadi takut mengajak orang lain pada kebenaran. Akhirnya kita lebih memilih diam. Padahal satu kebaikan yang kita sebarkan melalui kata-kata kita, kemudian orang lain ikut melaksanakan, maka pahalanya akan mengalir kepada kita tanpa mengurangi pahala orang yang melaksanakannya sedikit pun. Apalagi jika kebaikan itu terus menyebar dan dilaksanakan oleh banyak orang, terus dan terus.

Begitu murahnya Allah memberikan balasan berlipat-lipat atas kebaikan yang telah kita ucapkan kepada orang lain, walau itu hanya sepatah kata. Jika kemudian Allah juga menuntut kita untuk melaksanakan kata-kata kita, itu bukan bermaksud untuk memberatkan, tapi untuk menunjukkan kepada kita bahwa apa pun yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawabannya.

Berbicara untuk kebaikan dan kemanfaatan akan mudah kita lakukan jika ini sudah menjadi kebiasaan.Tanpa diformat terlebih dahulu, semuanya akan mengalir dengan sendirinya. Mudah dan ringan. Tentu saja bagi yang belum terbiasa harus memformat awal semua kebaikan di dalam kepala dan hati kita, kemudian kita ingatkan diri kita untuk mengulanginya kembali, melaksanakan sedikit demi sedikit apa yang kita mampu, berulang-ulang, sampai kemudian menjadi kebiasaan yang keluar secara otomatis. Yang jelas memang butuh waktu dan proses. Dengan demikian gagasan-gagasan dan emosi yang tersimpan di kepala dan hati bisa kita keluarkan dengan lebih baik, tanpa menimbulkan kesia-siaan bagi diri kita juga bagi orang lain.

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kemurkaan Allah atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu perbuat.” (ash shaff : 2-3).

Wallahu a’lam

Senin, 10 September 2012

Masalah adalah Pelajaran



masalah dan kehidupanTidak ada manusia yang terlahir tanpa masalah. Banyak di antara kita menganggap masalah adalah momok yang menyeramkan, dan tentunya tidak ada manusia yang mau menerima suatu masalah. Tapi apabila kita mau melihat sisi lain dari suatu masalah kita bisa mendapatkan pelajaran baru dalam hidup ini.

Masalah memberikan kita pengalaman yang belum tentu orang lain dapatkan. Kita bisa menjadi lebih dewasa dan kuat dalam menjalani hidup ini.

Jadi ucapkan salam dan selamat datang pada masalah, dan jalani dengan kesabaran.

Masalah adalah cara Tuhan agar kita belajar dan mengambil hikmah dibalik itu semua.

Di balik cobaan pasti tersimpan buah yang manis.

Ingatlah semakin TUHAN memberikan cobaan,maka kita adalah termasuk golongan orang orang yang di sayangi TUHAN.

Masalah adalah anak tangga menuju kekuatan yang lebih tinggi. Maka, hadapilah dan ubahlah menjadi kekuatan untuk sukses anda. Tanpa masalah, anda tak layak memasuki jalur keberhasilan. Bahkan hidup ini pun masalah, karena itu terimalah sebagai hadiah.

Move On





”SEBAGIAN besar orang yang melihat belum tentu bergerak, dan yang bergerak belum tentu menyelesaikan (perubahan).”

Kalimat ini mungkin sudah pernah Anda baca dalam buku baru saya, “CHANGE”.

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Indosat, iseng-iseng saya mengeluarkan dua lembaran Rp 50.000. Di tengah-tengah ratusan orang yang tengah menyimak isi buku, saya tawarkan uang itu. “Silahkan, siapa yang mau boleh ambil,” ujar saya. Saya menunduk ke bawah menghindari tatapan ke muka audiens sambil menjulurkan uang Rp 100.000.

Seperti yang saya duga, hampir semua audiens hanya diam terkesima. Saya ulangi kalimat saya beberapa kali dengan mimik muka yang lebih serius. Beberapa orang tampak tersenyum, ada yang mulai menarik badannya dari sandaran kursi, yang lain lagi menendang kaki temannya. Seorang ibu menyuruh temannya maju, tetapi mereka semua tak bergerak. Belakangan, dua orang pria maju ke depan sambil celingak-celinguk.

Orang yang maju dari sisi sebelah kanan mulanya bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan termangu, begitu melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih cepat ke depan. Ia lalu kembali ke kursinya.

Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di depan saya. Gerakannya begitu cepat, tapi tangannya berhenti manakala uang itu disentuhnya. Saya dapat merasakan tarikan uang yang dilakukan dengan keragu-raguan.

Semua audiens tertegun.

Saya ulangi pesan Saya, “Silahkan ambil, silahkan ambil.” Ia menatap wajah saya, dan saya pun menatapnya dengan wajah lucu.
Audiens tertawa melihat keberanian anak muda itu. Saya ulangi lagi kalimat saya,dan Ia pun merampas uang kertas itu dari tangan saya dan kembali ke kursinya. Semua audiens tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak,”Kembalikan,kembalikan!”
Saya mengatakan, “Tidak usah. Uang itu sudah menjadi miliknya.”

Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi lebih kaya Rp.100.000.
Saya tanya kepada mereka, mengapa hampir semua diam, tak bergerak. Bukankah uang yang saya sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan?

Mereka pun menjawab dengan berbagai alasan:
“Saya pikir Bapak cuma main-main …………”
“Nanti uangnya toh diambil lagi.”
“Malu-maluin aja.”
“Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat cool!”
“Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan uang itu …..”
“Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya….”
“Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas…..”
“Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang………”
“Saya, kan duduk jauh di belakang…” dan seterusnya.

Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan tindakan mereka sehari-hari. Hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian opportunity (kesempatan), tetapi kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja.Yang gila itu adalah yang selalu mengharapkan perubahan, sementara itu tetap melakukan hal yang sama dari hari ke hari…..,”

Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya, saya kira kita semua menghadapi masalah yang sama. Mungkin benar kata teman saya tadi, kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari mana. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari, jadi omong kosong perubahan akan datang. Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau bergerak bukan hanya dengan omongan saja.

Seperti kata Jack Canfield,yang menulis buku Chicken Soup for the Soul,yang membedakan antara winners dengan losers adalah “Winners take action. They simply get up and do what has to be done.”.

Selamat bergerak [Ronald Khasali]

Doa utk menenteramkan HATI yg sedang duka



Sesungguhnya orang2 yg beriman itu adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kpd mereka ayat2t-Nya bertambahlah iman mereka dan kpd Tuhan-lah mereka bertawakal (Al-Anfaal : 2).
Hai orang2 yg beriman, berdzikirlah (dgn menyebut nama) Allah, zikir yg sebanyak-banyaknya (Al-Ahzaab : 41).

Doa Imam Ali bin Abi Thalib (sa), utk menenteramkan hati yg sedang duka
Dibaca sesudah shalat Subuh dalam keadaan sujud (di luar shalat). ‘

Ilahî
Qalbî mahjûb wa nafsî ma`yûb
Wa `aqlî maghlûb wa hawâî ghâlib
Wa thâ`athî qalîl wa ma`shiyatî katsîr
Wa lisânî muqirrun/m bidz dzunûb
Fakayfa hîlatî?
Yâ Sattâral `uyûb wa yâ `Allâmal ghuyûb wa yâ Kâsyifal kurûb
Ighfir dzunûbî kullahâ bihurmati Muhammadin wa âli Muhammad
Yâ Ghaffâr yâ Ghaffâr yâ Ghaffâr
birahmatika yâ Arhamar râhimîn


Ilahi, Tuhanku
Hatiku penuh hijab (tirai), jiwaku penuh aib
Akalku terkalahkan, hawa nafsuku mengalahkan
Ketaatanku sedikit, maksiatku banyak
Sedangkan lisanku mengakui dosa-dosa, bagaimana dayaku?
Wahai Yang Maha Menutupi segala aib
Wahai Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib
Wahai Yang Menghilangkan segala duka
Ampuni semua dosa-dosaku
dengan kemuliaan Muhammad dan keluarga Muhammad
Ya Ghafar Ya Ghaffar Duhai Yang Maha Pengampun
dengan rahmat-Mu wahai Yang Mahakasih dari segala yang mengasihi

Malaikat Mendo’akan Orang2 Mukmin dan Menyambutnya di Pintu Sorga.



Sungguh beruntung hamba-hamba Allah yang selalu berusaha meningkatkan ketakwaannya dengan menjahui larangan dan memenuhi perintahNya, senantiasa berikhtiar memelihara dan memperkuat keimanannya. Semuanya demi kepentingan dan keberuntungan manusia sendiri, bila dia berdo’a dan berdzikir itu adalah untuk kebaikannya sendiri, bila dia beramal soleh yang membawa manfaat bagi dirinyaatau orang lain, hakekatnya adalah untuk membawanya pada kehidupan yang tenang, tenteram serta bahagia di dunia dan balasan keberuntungan diakhirat kelak.

Malaikat-Malaikat yang memikul ‘Arsy dan Malaikat yang di sekelilingnya, mereka bertasbih dengan memuji Tuhan mereka dan mereka beriman kepadaNya, dan mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (dengan mengucapkan):

“ Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu(Mu) meliputi segala sesuatu, mak ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalanMu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala ”. (Surat Al Mukmin ayat 7).

“Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam sorga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka dan isteri-isteri mereka dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Surat Al Mukmin ayat 8).

“Dan peliharalah mereka dari kejahatan-kejahatan, dan orang yang Engkau pelihara dari kejahatan-kejahatan pada hari itu, maka sesungguhnya Engkau telah merahmatinya, dan demikian itulah keuntungan yang besar”. (Surat Al Mukmin ayat 9).

Malaikat & Tugas-tugasnya



Malaikat adalah mahluk langit yang mengabdi semata-mata kepada Allah swt., bersifat ghaib, diciptakan dari nur (cahaya). Mereka melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan penuh ketaatan, mulai dari mencatat amal manusia, mencabut nyawa hingga mengelilingi arasy. Islam mengajarkan tidak ada satu malaikatpun yang dapat menjadi perantara atau mencampuri hubungan manusia dengan Allah swt.

Jumlah malaikat banyak sekali, tidak dapat diketahui secara pasti, seperti malaikat yang diturunkan pada bulan Ramadhan dan malaikat yang hadir pada majelis saat berkumpulnya sekumpulan orang yang menuntut ilmu, tidak disebutkan jumlahnya.

Dan orang-orang yang bertakwa, mukminin dan mukminat mendapat sambutan penuh kebahagiaan oleh Malaikat penjaga pintu sorga, sesuai bunyi surat Az Zummar ayat 73 dan 74:
“Dan digiringlah orng-orang yng bertakwa kepada TuhanNya ke sorga berbondong-bondong, sehingga apabila mereka sampai ke sorga itu dan dibukalah pintu-pintunya, dan berkatalah penjaga-penjaganya kepada mereka: Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu, maka masukilah sorga itu dalam keadaan kekal”. “Dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janjiNya kepada kami, dan telah mewariskan bumi ini kepada kami, kami menempati sorga dimana saja yng kami kehendaki. Maka (sorga itulah) sebik-baik balasan orang-orang yang beramal”.

Allah swt. pasti akan memenuhi janjiNya kepada hamba-hamba yang beriman dan mentaati perintahNya, maka segala do’a nya akan dikabulkan, sesuai dengan firmanNya dalam Surat Al Baqarah ayat 186:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku kabulkan permohonan yang mendo’a apabila dia berdo’a kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu dalam kebenaran”.

Template by:

Free Blog Templates