Minggu, 26 Mei 2013

Pertolongan Allah akan datang, Maka Janganlah Mengeluh






Dalam menjalani hidup yang digariskan Allah Swt mungkin ada getir yang kita rasakan. Seperti hidup yang kadang terasa manis, maka kegetiran menjadi sebuah keniscayaan. Hal yang terbaik adalah senantiasa ridha atas ketetapanNya, dan berbuat yang terbaik untuk mendapatkan keridhaanNya. Bukan mengeluh, sebab hanya mereka yang tak beriman yang senantiasa putus harapan.
Seperti kaum muslimin yang menjalani perang Khandaq dalam ayat 214 surat Al Baqarah di muka. Dalam kondisi paling kritis pun, seorang muslim tidak boleh memiliki prasangka buruk terhadap Allah, apalagi mengeluh terhadap kondisi yang berlaku. Ketahuilah pertolongan Allah sungguh amat dekat!
Sore itu Rabu, tanggal 27 Juni 2007 ada sebuah sms masuk ke hp ustadz Burhan. Sms itu berasal dari Abdul Majid rekannya dan berbunyi: NANTI MALAM SAYA MAU KE RUMAH BA’DA MAGRIB, BOLEH GA?
Sang ustadz menjawab: BOLEH, TAPI JANGAN BA’DA MAGRIB. ABIS ISYA AJA YA…. DITUNGGU!
Abdul Majid membalas lagi: JGN DITUNGGU, KARENA MAU “NGEREPOTIN”. ANGGAP AJA DATENG MENDADAK!
Ustadz Burhan tidak membalas sms terakhir dan benar saja begitu shalat Isya telah didirikan, Abdul Majid pun datang ke rumah Ustadz.
Abdul Majid datang ke rumah Ustadz Burhan dengan tampang kusut. Sepertinya dia lagi banyak masalah. Biasa orang sekarang, Hidup sarat dengan masalah! Saking pusing dengan masalahnya ia langsung berkata kepada ustadz dan masuk rumahnya tanpa salam:
“Bang Haji, tolongin saya dong pinjemin duit barang tiga juta setengah… Saya lagi pusing nih!”
“Emangnya ada apa Majid?” sang ustadz bertanya balik.
Setahu ustadz Burhan, Abdul Majid adalah anak yang baik. Dia baru berumur 27 tahun dan belum menikah. Meski demikian, Abdul Majid mau memikirkan nasib anak-anak yatim di kampungnya, dan ia pun mendirikan sekolah gratis untuk mereka. Abdul Majid di kampungnya dikenal sebagai tuan guru.
“Begini… saya pernah janji sama anak-anak di sekolah bahwa kalau mereka lulus ujian akhir tahun ini saya mau ajak mereka jalan-jalan ke Jakarta. Semalam saya sudah lihat raport mereka semua. Alhamdulillah mereka lulus! Tapi tiba-tiba saya terbayang janji saya tempo hari. Malam tadi saya kalkulasi, keperluan jalan-jalan adalah tiga setengah juta. Hari Jum’at raport dibagiin dan Sabtu saya mau ajak mereka semua jalan-jalan…. Tolong dong bang haji, pinjemin saya duit tiga setengah juta!”
Ustadz Burhan hanya tersenyum mendengar penuturan Abdul Majid. Tulus sekali anak ini, gumamnya. Demi kepentingan anak-anak yatim sampai sedemikian hebatnya ia memikirkan.
Sambil tersenyum dan menghibur Ustadz Burhan bilang kepada Abdul Majid:
“Begini…. urusan tiga setengah juta gampang nyarinya. Asal elo dan gua malam ini dan besok mau ngerjain tiga hal:
1) Tahajud malam ini.
2) Berdoa sungguh-sungguh sama Allah agar Dia mau kasih duit sejumlah itu, dan
3) Punya duit berapa sekarang di kantong?”
Kalimat terakhir Ustadz Burhan mengagetkan Abdul Majid. Dengan keheranan ia bertanya, “Ada sih 250 ribu..!”
“Boleh gak disedekahin 100 ribu?!” ustadz Burhan bertanya.
Sambil keheranan Abdul Majid bertanya, “Disedekahin ke Antum?”
“Nggak…. sedekahin aja kemana ente mau! Insya Allah kalo tiga hal ini elo kerjain, Allah bakal ngedatengin uang yang kita perluin. Asal kita yakin Allah bakal nolong!”
Pembicaraan antara dua hamba Allah pun terus berlangsung. Hingga waktu menunjukkan lebih dari jam 9 malam. Ustadz Burhan pun menyuruh Abdul Majid pulang.
Namun Abdul Majid belum mau berdiri dari kursi. Maka ustadz pun masuk kamar. Sejurus kemudian dia membawa 5 lembar uang limapuluh ribuan. Uang itu diberikan kepada Abdul Majid dan ia pun menghitungnya.
Abdul Majid mengira bahwa keperluannya sebesar tiga juta setengah akan ditutupi oleh ustadz. Matanya berbinar saat melihat ustadz membawa lembaran kertas berwarna biru itu. Kelima lembar uang itu dihitungnya dihadapan ustadz. Usai menghitung Abdul Majid berkata, “Kok Cuma dua ratus lima puluh ribu doang?” Ia bertanya keheranan, mungkin jumlah yang ia dapati jauh dari harapan.
“Iya… itu cuma segitu doang. Mudah-mudahan itu jadi pancingan. Yang penting jangan lupa tiga hal tadi. Insya Allah pasti akan ada pertolongan!” Ustadz Burhan coba menegaskan.
Tapi Abdul Majid masih belum merasa yakin. Meski sudah diantar hingga ke halaman oleh Ustadz Burhan, ia masih bertanya, “Emangnya bener kalo saya kerjain 3 hal tadi, saya bisa dapat duit Jum’at pagi?” Terlihat raut kebimbangan pada wajah Abdul Majid.
“Jangankan Jum’at pagi, besok pagi pun kalo Allah mau pasti uang itu bisa kite dapetin. Yang penting yakin dan kerjain aja 3 hal itu!” Ustadz Burhan sekali lagi meyakinkan.
Akhirnya Abdul Majid pun pulang bersama sepeda motornya.
Kamis siang pukul 13 tanggal 28 Juni 2007, Abdul Majid mengirim SMS ke nomer ustadz Burhan. Sms itu berbunyi: ASSALAMU’ALAIKUM. SUDAH SIANG GINI SAYA BELOM DAPET 3,5 JT. PADAHAL SUDAH SHODAQOH. ADA CARA LAIN GA?
Dari sms itu, Ustadz Burhan tahu bahwa Abdul Majid sedang panik. Maka beliau pun membalas: KALO UDAH SEDEKAH, SEKARANG DOA AJA YANG SUNGGUH-SUNGGUH DAN BERTAWAKKAL. PASTI ALLAH TOLONG!
Lama tidak ada balasan sms dari Abdul Majid. Ustadz mengira bahwa Abdul Majid sudah mendapat pertolongan atas masalahnya. Namun pukul 19:56 ada sebuah sms lagi dari Abdul Majid masuk ke hpnya:
ASTAGFIRULLAHAL’ADZIM. KIRA2 SAYA DOSA APA YA? DO’A SAYA GAK DI QOBUL.
Menerima sms itu Ustadz Burhan turut merasa panik. Besok pagi padahal sudah hari Jum’at. Hal yang membuat panik sang ustadz adalah bahwa dirinya telah menggiring Abdul Majid untuk masuk ke jalan Allah Swt demi menyelesaikan permasalahannya. Ustadz Burhan khawatir, andai saja pertolongan Allah itu tidak datang, pasti keyakinan Abdul Majid kepada Allah Swt akan berkurang. Lama Ustadz Burhan berdoa kepada Allah Swt agar dia berkenan memudahkan urusan Abdul Majid. Usai hatinya tenang, sang ustadz membalas sms dengan menuliskan:
ALLAH GAK BUTA & TULI. DIA NGELIAT DAN NGEDENGER APA YANG KITA PERLUIN. TERUS SAJA BERDOA DAN TAWAKKAL! SAYA JUGA BERDOA SEMOGA URUSAN INI AKAN DPT PERTOLONGAN.
Abdul Majid tidak membalas sms. Ustadz Burhan mengira jangan-jangan dia sudah tidak percaya lagi dengan kekuatan doa. Maka Ustadz Burhan pun terus mendoakan Abdul Majid dan urusannya.
Hingga saatnya kira-kira pukul 9 pagi di hari Jum’at. Ustadz Burhan mendengar suara dering masuk di hpnya. Namun karena beliau sedang berada dalam kendaraan umum, maka hp itu tidak diangkatnya.
Tepat beberapa langkah setelah beliau turun dari metro mini yang ditumpanginya, sekali lagi hpnya berdering. Beliau tidak sempat melihat nomer penelpon pada display hp. Belum lagi beliau berucap salam, terdengarlah suara yang begitu riang di seberang:
“Bang haji…. Alhamdulillah, Alhamdulillah! Ini Majid, saya sudah dapat duit tiga setengah juta itu. Bukan pinjem lagi, kebetulan ada orang ngasih… Alhamdulillah!”
Mendengar suara gembira itu, ustadz Burhan turut bersyukur. Beliau pun bertanya, penasaran “Bagaimana ceritanya bisa dapet duit itu?”
“Entar saya datang ke rumah bang haji deh…. Biar bisa cerita selengkapnya. Sekarang saya mau pulang ke kampung dulu, ngejar pembagian raport. Mudah-mudahan besok pagi bisa bawa anak-anak main ke Jakarta!”
Telepon itu pun ditutup dengan diakhiri suara nada riang Abdul Majid. Kini tinggal, ustadz Burhan bertanya-tanya darimana Allah mendatangkan pertolongan itu?
Belakangan beliau tahu dari seseorang bahwa bupati dimana Abdul Majid berada memberikan bantuan kepada sekolahnya persis sebesar uang yang dibutuhkan oleh Abdul Majid.
Sungguh pertolongan Allah akan datang, maka janganlah mengeluh!
Salam
Bobby Herwibowo

Selasa, 21 Mei 2013

Bidadari Surga



Setiap manusia punya rasa cinta,
yang mesti dijaga kesuciaanya
namun ada kala insan tak berdaya,
saat dusta mampir bertahta

kuinginkan dia,
yang punya setia.
Yang mampu menjaga kemurniaanya.
Saat ku tak ada,
ku jauh darinya,
amanah pun jadi penjaganya

*Hatimu tempat berlindungku,
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,
dijadikan engkau istriku

Engkaulah.....
Bidadari Surgaku

Tiada yang memahami,
sgala kekuranganku
kecuali kamu, bidadariku

Maafkanlah aku
dengan kebodohanku
yang tak bisa membimbing dirimu

*Hatimu tempat berlindungku,
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,
dijadikan engkau istriku

Engkaulah.....

Jumat, 17 Mei 2013

Hikmah Membunuh Cicak

Diriwayatkan dari Imam Ahmad, “Bahwasanya ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api maka mulailah semua hewan melata berusaha memadamkannya, kecuali cicak, karena sesungguhnya cicak itu mengembus-embus api yang membakar Ibrahim.” (Imam Ahmad)

Cicak yang mengembus agar api semakin membesar terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Apakah cicak termasuk hewan terkutuk sehingga ia tetap harus dibunuh hingga akhir zaman? Bukankah cicak mengurangi populasi nyamuk?
Terdapat banyak dalil yang memerintahkan kita untuk membunuh cicak, di antaranya:

Dari Ummu Syarik radhiallahu ‘anha; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cicak. Beliau menyatakan, “Dahulu, cicak yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang membunuh cicak dengan sekali bantingan maka ia mendapat pahala sekian. Siapa saja yang membunuhnya dengan dua kali bantingan maka ia mendapat pahala sekian (kurang dari yang pertama), ….” (HR. Muslim).
Dalam riwayat Muslim; dari Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebut (cicak) sebagai hewan fasiq (pengganggu).
Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa membunuh cicak hukumnya sunnah, tanpa pengecualian.

Sikap yang tepat dalam memahami perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sikap “sami’na wa atha’na” (tunduk dan patuh sepenuhnya) dengan berusaha mengamalkan sebisanya. Demikianlah yang dicontohkan oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka adalah manusia yang jauh lebih bertakwa dan lebih berkasih sayang terhadap binatang, daripada kita. Di antara bagian dari sikap tunduk dan patuh sepenuhnya adalah menerima setiap perintah tanpa menanyakan hikmahnya. Dalam riwayat-riwayat di atas, tidak kita jumpai pertanyaan sahabat tentang hikmah diperintahkannya membunuh cicak. Mereka juga tidak mempertanyakan
status cicak zaman Ibrahim jika dibandingkan dengan cicak sekarang. Jika dibandingkan antara mereka dengan kita, siapakah yang lebih menyayangi binatang?

Penjelasan di atas tidaklah menunjukkan bahwa perintah membunuh cicak tersebut tidak ada hikmahnya. Semua perintah dan larangan Allah ada hikmahnya. Hanya saja, ada hikmah yang zahir, sehingga bisa diketahui banyak orang, dan ada hikmah yang tidak diketahui banyak orang. Adapun terkait hikmah membunuh cicak, disebutkan oleh beberapa ulama sebagai berikut:

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Para ulama sepakat bahwa cicak termasuk hewan kecil yang mengganggu.” (Syarh Shahih Muslim, 14:236)
Al-Munawi mengatakan, “Allah memerintahkan untuk membunuh cicak karena cicak memiliki sifat yang jelek, sementara dulu, dia meniup api Ibrahim sehingga (api itu) menjadi besar.” (Faidhul Qadir, 6:193)
Hikmah yang disebutkan di atas, hanya sebatas untuk semakin memotivasi kita dalam beramal, bukan sebagai dasar beramal, karena dasar kita beramal adalah perintah yang ada pada dalil dan bukan hikmah perintah tersebut. Baik kita tahu hikmahnya maupun tidak.

Segala sesuatu memiliki manfaat dan madarat. Kita–yang pandangannya terbatas– akan menganggap bahwa cicak memiliki beberapa manfaat yang lebih besar daripada madaratnya. Namun bagi Allah–Dzat yang pandangan-Nya sempurna–hal tersebut menjadi lain. Allah menganggap madarat cicak lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena itu, Allah memerintahkan untuk membunuhnya. Siapa yang bisa dijadikan acuan: pandangan manusia yang serba kurang dan terbatas ataukah pandangan Allah yang sempurna?

Manakah yang lebih penting, antara mengamalkan perintah syariat atau melestarikan hewan namun tidak sesuai dengan perintah syariat? Orang yang kenal agama akan mengatakan, “Mengamalkan perintah syariat itu lebih penting. Jangankan, hanya sebatas cicak, bila perlu, harta, tenaga, dan jiwa kita korbankan demi melaksanakan perintah jihad, meskipun itu adalah jihad yang sunnah.”

Di Manakah Tujuh Langit Itu?

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba‑Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Isra’ : 1).

Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat  sebahagian tanda‑tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An‑Najm:13‑18).
Ayat-ayat itu mengisahkan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mi’raj adalah perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal‑hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.

Di dalam kisah yang agak lebih rinci di dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah mencapai langit ke tujuh. Dari kisah itu orang mungkin bertanya-tanya di manakah langit ke tujuh itu. Mungkin sekali ada yang mengira langit di atas itu berlapis-lapis sampai tujuh dan Sidratul Muntaha ada di lapisan teratas. Benarkah itu? Tulisan ini mencoba membahasnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.

Sekilas Kisah Isra’ Mi’raj

Di dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ dan mi’raj dengan menggunakan “buraq”. Di dalam hadits hanya disebutkan bahwa buraq adalah ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Ini menunjukkan bahwa “kendaraan” yang membawa Nabi SAW dan Malaikat Jibril mempunyai kecepatan tinggi.

Apakah buraq sesungguhnya? Tidak ada penjelasan yang lebih rinci. Cerita israiliyat yang menyatakan bahwa buraq itu seperti kuda bersayap berwajah wanita sama sekali tidak ada dasarnya. Sayangnya, gambaran ini sampai sekarang masih diikuti oleh sebagian masyarakat, terutama di desa-desa.

Dengan buraq itu Nabi melakukan Isra’ dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Setelah melakukan shalat dua rakaat dan meminum susu yang ditawarkan Malaikat Jibril Nabi melanjutkan perjalanan mi’raj ke Sidratul Muntaha.

Nabi SAW dalam perjalanan mi’raj mula-mula memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang di kanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam‑kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non‑fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (zhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir.

Jibril juga mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An‑Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.

Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali sehari‑semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh‑sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Saya telah meminta keringanan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu‑Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba‑Ku.”

Di manakah Tujuh Langit

Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah Isra’ mi’raj dan sebutan “sab’ah samawat” (tujuh langit) di dalam Al-Qur’an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.

Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna “tujuh langit”, dan hakikat langit dalam kisah Isra’ mi’raj.

Sejarah Tujuh Langit

Dari segi sejarah, orang-orang dahulu –jauh sebelum
Al-Qur’an diturunkan — memang berpendapat adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda.

Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga. Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.

Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan. Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu. Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.

Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.

Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, …, sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba’ah, khamsah, sittah, dan sab’ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum’at, karena itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya kewajiban shalat Jum’at berjamaah.

Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian “Ahad” daripada “Minggu”.

Makna Tujuh Langit

Langit (samaa’ atau samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan‑lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda‑benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.

Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh  puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al‑Baqarah:261 Allah menjanjikan:

Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH  tangkai yang masing‑masingnya berbuah seratus butir.  Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang‑orang yang dikehendakinya….

Juga di dalam Q.S. Luqman:27:

Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….

Jadi  ‘tujuh langit’ semestinya dipahami pula sebagai tatanan benda‑benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan‑lapisan langit.

Tujuh langit pada Mi’raj

Kisah Isra’ Mi’raj sejak lama telah menimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit. Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah Isra’ mi’raj adalah langit ghaib.

Dalam kisah mi’raj itu peristiwa lahiriah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitul Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit lahiriah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib.(dakwatuna)

Manusia yang Akan Mendapat Laknat Allah SWT




Tujuan diutusnya para rasul ke dunia adalah agar umat manusia mengetahui hakikat kehidupan dunia dan mampu menghindari keburukan-keburukan yang ditimbulkan oleh ketidakmengertian dan hawa nafsu.

Akibat kebodohan dan hawa nafsu, manusia akan mendapatkan kehinaan, siksa, dan malapetaka. Padahal sesungguhnya manusia diciptakan di dunia adalah untuk beribadah dan menjadi khalifah, panutan, dan pemimpin yang baik di muka bumi ini.

Maka, sangat merugi golongan orang-orang yang kafir dan ingkar terhadap Allah. Di antara golongan yang merugi itu adalah orang-orang yang membunuh saudara sebagian mereka, mengusir golongan dari mereka dari kampung halaman mereka, saling bantu-membantu dengan berbuat dosa dan permusuhan, mereka pun beriman kepada sebagian al-kitab (Taurat) dan kufur terhadap sebagian yang lain (QS Al-Baqarah: 85).

Golongan lain adalah orang-orang yang murtad dari agamanya, memusuhi Islam semasa hidupnya dan mati dalam keadaan kafir (QS Al-Baqarah: 217), 
orang yang menghalangi menyebut nama Allah SWT dalam masjid dan berusaha merobohkannya (QS Al-Baqarah: 114), 
orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah SWT, yang membunuh para nabi tanpa hak  (QS Ali Imron: 22 dan 56), 
membuat kerusakan di bumi (QS Al-Maidah: 33), 
orang-orang Yahudi yang pendusta (QS Al-Maidah: 41), 
serta orang-orang malas mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat (QS At-Taubah: 54-55).

Selain itu, golongan lain yang akan mendapatkan laknat dunia adalah orang-orang munafik dan kafir yang menggunakan kekuasaannya secara batil (QS At-Taubah: 69), 
orang-orang munafik (QS At-Taubah: 74), 
tidak mau berjihad di jalan Allah (QS At-Taubah: 8-85), 
serta penduduk suatu negeri yang tidak beriman kepada nabi mereka dan mereka tidak mendapatkan keimanan apabila mereka beriman, seperti kaum Yunus (QS Yunus: 98).

Begitu pula golongan orang yang suka membantah tentang Allah SWT tanpa ilmu pengetahuan dan yang menyembah Allah SWT dengan tidak penuh keyakinan. 
Mereka juga seperti golongan orang-orang yang suka berita-berita kekejian dan menyebarluarkan di kalangan orang-orang beriman (QS An-Nur: 19), 
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik melakukan perzinaan (QS an-Nur: 23), 
orang-orang yang menyakiti Allah SWT dan rasul-Nya (QS Al-Ahzab: 57), 
orang-orang dzalim yang mendustai para rasul sepanjang masa (QS Az-Zumar: 25-26),
kaum Ad yang sombong di muka bumi dengan mengatakan, “Siapa yang paling kuat daripada kami?” mereka juga kufur terhadap ayat-ayat Allah SWT (QS Fushilat: 15) 
dan orang-orang Yahudi Bani Nadzir yang diusir oleh Rasulullah dan orang-orang Islam dari kota Madinah Al-Munawaroh karena pengkhianatan dan permusuhan mereka (QS Al-Hasyr: 2-3).

Merekalah golongan-golongan yang terancam dengan laknat dunia dan akhirat akibat kelalaian dan kekafiran mereka. Rasulullah sesungguhnya telah mengajarkan dan menuntun kepada syariat yang benar. Telah ada pada diri Rasulullah uswatun hasanah (teladan yang baik). Maka, sudah sepatutnya kita menjalankan syariat Allah SWT dan hendaknya jangan melakukan perbuatan kafir dan khianat seperti golongan orang-orang yang merugi tersebut.


Oleh KH Muhammad Dawam Saleh  : Pengasuh PP. Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/05/07/mmeqpe-manusia-yang-akan-mendapat-laknat-allah-swt

Fase: Perjalanan Kita






Kala itu kita pernah hidup di rahim, dan kita menyebutnya sebagai surga Azali.
Semua doa, harapan, dan sari-sari kebaikan kita nikmati.
Seperti matahari pagi yang menyinari sebuah taman bunga.
Ia selalu dirawat oleh pemiliknya sehingga orang yang melihatpun bersuka cita karenanya.
Sampai suatu masa dalam rahim, Tuhan meminta kesaksian kepada kita : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” dan kita menjawab : “Benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”.
Hendak kemanakah kita ?
Sampai suatu masa kita terlahir ke dunia, kita menangis dan orang di sekeliling kita menyambut dengan tawa…
Kala itu kita mengenal apa itu kasih sayang keluarga dan kita menyebutnya masa kanak-kanak.
Sampai suatu masa kita mencapai akil baligh, kita bersuka cita dan orang di sekeliling kita berpesan, “Peganglah akhlak yang telah kami ajarkan semasa kanak-kanakmu dulu…”
Kala itu kita mengenal apa itu cinta kasih, pertemanan, permusuhan, dunia dan kita menyebut itu semua pendewasaan.
Dan kita mulai menulis catatan amal, baik dan buruk.
Sampai suatu masa, kita menemui suatu petunjuk menuju kebenaran hakiki.
Hendak kemanakah kita ?
Ada yang mengikuti petunjuk itu dan ada pula yang mendustakan. Namun tak sedikit yang menerima petunjuk harus menyerah. Kala itu kita menyebutnya ujian.
Ketahuilah kawan,
Sampai pada akhirnya kita akan meninggalkan dunia ini, yang mana orang-orang menyebutnya kematian.
Namun ada 2 pilihan :
Hendak tertawa atau menangiskah kita? sebagaimana orang di sekeliling kita melepas kita dengan tangisan…
Akhirnya, hanya kepada Tuhan kita akan akan kembali…

Senin, 06 Mei 2013

EMPAT GOLONGAN Dalam Beribadah


                    AMAL IBADAH YANG DITERMA ALLAH SWT

Di antara hal yang kita harapkan dari amal ibadah yang telah kita lakukan adalah amalan-amalan tersebut diterima di sisi Allah ta’ala. Namun ternyata tidak semua orang yang berharap amalannya diterima di sisi Allah, amalannya tersebut benar-benar diterima oleh Allah azza wa jalla. Begitu banyak manusia yang amalannya tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah ta’ala.
Apabila kita melihat manusia dalam beribadah kepada Allah, ternyata mereka terbagi menjadi beberapa golongan, setiap golongan berharap bahwa dia-lah yang paling baik amalannya. Namun harapan adalah harapan, tidak semua orang yang berharap dapat merasakan hasil baiknya, kecuali apabila ia meniti jalan yang telah disyariatkan. Seorang penyair bersenandung:
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا             إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى الْيَبَسِ
“Engkau berharap keselamatan namun enggan meniti jalannya, ketahuilah bahtera itu takkan berjalan di atas daratan”
Bila kita cermati secara mendalam, manusia dalam beribadah kepada Allah terbagi menjadi empat golongan. Dari keempat golongan tersebut, tidak ada yang selamat atau menjadi firqoh naajiyah kecuali satu golongan saja. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan keempat golongan tersebut:
Golongan Pertama: “Golongan orang yang enggan beribadah kepada Allah, mereka adalah golongan yang sombong (mustakbir).”
Bagi yang enggan beribadah kepada Allah, mereka termasuk orang yang sombong, angkuh, dan congkak, dan Allah telah menjelaskannya di dalam al-Qur`an. Yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku, mereka akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”  (QS. Ghafir: 60)
Sekiranya seseorang sombong di hadapan sesama manusia, maka dia tidak akan mencium wanginya surga, lantas bagaimana bisa dia sombong dengan Tuhan Semesta Alam. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah dari kesombongan.“ (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bila demikian, lalu bagaimana dia sombong kepada Allah, sedangkan yang memberikan kehidupan baignya adalah Allah semata??!! Bagaimana dia bisa congkak, padahal yang mengguyurkan segala kenikmatan di setiap waktu adalah Allah azza wa jalla??!! Bagaimana ia bisa angkuh, sementara yang menganugerahkan anggota badan yang lengkap lagi sempurna, yang bisa ia pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari adalah Allah ta’ala??!!
Sungguh celaka orang yang diciptakan Allah, namun ia enggan atau sombong dari beribadah kepada Allah. Sungguh tercela orang yang telah diizinkan melangkahkan kakinya di bumi Allah, namun ia berjalan di atasnya dengan penuh kesombongan dan keangkuhan.
Orang seperti ini, dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang enggan masuk surga, sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Para sahabat bertanya: ya Rasulullah, siapa orang yang enggan. Beliau menjawab: Siapa yang taat kepadaku dia masuk surga, siapa yang durhaka kepadaku dia-lah orang yang enggan masuk surga.” (HR. al-Bukhari)
Golongan pertama ini dia begitu jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan petunjuk Nabi muliashallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka itu hendaklah kita menjauh dari sifat golongan yang pertama ini dengan semaksimal mungkin.
Golongan kedua: “Golongan orang yang beribadah kepada Allah, namun juga beribadah kepada selain Allah, mereka adalah para pelaku kesyirikan (musyrik).”
Sungguh celaka, orang yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun ia juga beribadah kepada selain Allah. Sungguh tercela orang yang beribadah kepada Allah, namun ia menghiasi ibadahnya ia dengan kesyirikan kepada selain-Nya.
Ia melaksanakan salat karena Allah, namun kehidupannya masih begitu kental dengan dunia perdukunan. Ia mengerjakan puasa karena Allah, namun masih melakukan persembahan kepada keris, jimat, dan benda-benda buruk lainnya yang dimurkai Allah ta’ala. Ia juga berdoa kepada Allah, namun ia juga memohon dan berseru kepada makhluk selain Allah; ia berseru kepada Rasulullah, malaikat, orang yang dianggap saleh, atau bahkan ada yang terang-terangan memohon kepada keramat tertentu. Wa na’udzu billah.
Padahal semua perbuatan tersebut merupakan kesyirikan, yang akan menyeret pelakunya ke dalam neraka, ia kekal selama-lamanya di dalamnya. Perhatikanlah penyesalan orang-orang yang berbuat kesyirikan pada hari kiamat, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala berikut:
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ. إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Demi Allah, kami dahulu benar-benar berada di dalam kesesatan yang nyata, tatkala kami samakan kalian (berhala-berhala) dengan Rabb semesta alam.” (QS. asy-Syu’aro’: 97-98)
Bagaimana seseorang begitu lancang berbuat kesyirikan, padahal Allah telah melarang hal tersebut dalam firman-Nya:
وَاعْبُدُوْا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan janganlah menyekutukannya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)
Bagaimana seseorang begitu ingkar terhadap Allah dengan kesyirikan, padahal yang menciptakan dirinya adalah Allah ta’ala semata. Suatu hari Ibnu Mas’ud bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
“Dosa apa yang paling besar?” Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu.” (HR. al-Bukhari)
Itulah dosa paling besar, engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu. Begitu banyak ancaman dari Allah ta’ala bagi para pelaku kesyirikan, yang kesemuanya berujung kepada siksa di neraka dan diharamkan atasnya surga. Allah berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesunguhnya barang siapa yang berbuat kesyirikan kepada Allah, maka sungguh Allah akan mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah di neraka.” (QS. al-Ma’idah: 72)
Dari keterangan ini kita mengetahui, bahwa golongan yang kedua juga merupakan golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus.
Golongan ketiga: “Yaitu golongan orang yang beribadah kepada Allah semata, namun dengan tata cara yang tidak sesuai dengan syariat Rasulullah, maka dialah pelaku hal baru dalam agama (mubtadi’).”
Golongan yang ketiga ini, meskipun mereka mengalamatkan ibadahnya kepada Allah semata, ikhlas lillahi ta’ala dalam beribadah kepada-Nya, namun mereka tidak bijak lantaran beribadah tidak sesuai dengan Syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak sesuai dengan perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis yang mulia ini menerangkan bahwa orang yang beribadah namun tidak sesuai dengan Syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ibadahnya akan tertolak. Orang yang mengamalkan suatu amalan yang tidak pernah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalannya akan sia-sia. Meskipun ia meyakini bahwa amalan tersebut adalah baik, walaupun ia begitu semangat dalam mengerjakannya, selama tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalannya akan tertolak. Lelah dan letihnya dalam beribadah tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian kita mengetahui, alangkah bahayanya orang yang beramal tidak sesuai dengan Syariat Rasulullah, amalannya akan sia-sia dan tidak akan diterima di sisi Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, orang yang melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  akan terhalangi dari bertaubat kepada Allah. Sebab dia meyakini bahwa amalannya adalah benar, perbuatannya adalah Sunah, jika demikian maka bagaimana mungkin ia akan bertaubat kepada Allah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِنَّ الله احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat bagi setiap pelaku amalan yang tidak dicontohkan oleh beliau.” (Hadis shahih. ash-Shahihah no. 1620)
Bukan sekedar balasan di dunia yang akan ia terima, namun di akhirat kelak ia akan terhalangi dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, dan siapa yang meminum satu teguk saja, niscaya dia tidak akan dahaga selama-lamanya, sebagaimana hal tersebut dijelaskan pada Hadis al-Bukhari dan Muslim.
Maka itu, hendaklah kita memperhatikan kembali tata cara salat kita, puasa, zikir, doa, dan ibadah-ibadah kita yang lainnya. Marilah kita meneliti dan mempelajari kembali hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ibadah kita menjadi benar, dan kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang membuat-buat amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari keterangan singkat ini dapat kita ketahui bahwa golongan ketiga golongan tersebut jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka adalah golongan menyimpang dari jalan yang lurus.
Adapun golongan yang benar, yang sesuai dengan jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah golongan yang keempat, mereka adalah: “Golongan orang yang beribadah kepada Allah semata dengan tata cara yang sesuai dengan Syariat-Nya, merekalah kaum mukmin yang mengesakan Allah (muwahhid).”
Golongan terakhir inilah yang selamat dalam beribadah kepada Allah ta’ala dan amalannya berbuah pahala di sisi-Nya. Dikatakan selamat, sebab mereka mendasari ibadah mereka dengan dua hal penting begitu penting, yaitu: 
Ikhlas karena Allah, dan: 
Mutaba’ah atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua hal inilah yang dijelaskan Allahta’ala di akhir surat al-Kahfi. Firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa yang berharap berjumpa dengan Rabb-nya, hendaklah ia beramal saleh dan tidak berbuat kesyirikan terhadap Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas: 
Hendaklah beramal saleh yaitu yang sesuai dengan Syariat Allah, “dan tidak berbuat kesyirikan terhadap Rabb-nya,” yaitu amalan yang diinginkan wajah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan inilah dua rukun diterimanya amalan; harus murni untuk Allah, dan benar sesuai dengan Syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibn Katsir)
Setelah kita mengetahui bahwa golongan manusia yang selamat dan sesuai dengan jalan yang lurus adalah yang senantiasa ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan selalu meniti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perlu kita ketahui, bahwa yang menjadi tugas agung kita semua adalah berusaha mengilmui, mempelajari, dan membuka kembali lembaran-lembaran ilmu yang telah ditulis oleh para ulama. Sebab, muslim yang baik adalah yang mendasari ucapan dan perbuatannya dengan ilmu, sehingga tidaklah ia berkata atau berbuat melainkan dengan dasar ilmu yang bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah, yakni hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah, 
sudahkan kita mempelajari al-Qur`an dan as-Sunnah yang merupakan sumber hukum Islam?? 
Sudahkah kita menyisihkan waktu sehari-hari untuk menggapai kampung akhirat, ataukah kita sibuk dengan perhiasan dunia yang menipu lagi semu?? 
Sudahkah kita meniti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, yang mana jalan hidup mereka penuh dengan ilmu dan amal?? 
Ataukah kita malah cenderung kepada budaya kaum tercela yang menghalalkan segala cara, yang tidak peduli terhadap perkara agama?? 
Sudahkah kita mempersiapkan bekal menuju tempat yang penuh dengan kenikmatan dan kekal abadi dengan beramal saleh?
Hendaklah kita benar-benar memperhatikan beberapa pertanyaan tersebut, agar Allah begitu perhatian dengan kita. Hendaklah kita menghiasi hari-hari kita dengan ilmu dan amal, agar Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.
Bersih Dari Sifat Takabbur dan Sombong
Dalil yang akan diberikan kali ini adalah dalil tentang sifat takabur dan sombong. Dijelaskan dalam dalil, yaitu quran dan hadits, bahwa memiliki sifat takabur dan sombong adalah haram hukumnya.Banyak sekali dalil yang memerintahkan kita untuk tidak takabur dan sombong, baik dalam Al Quran maupun Hadits. Dalil dalil ini tentunya sah secara hukum dan wajib kita ikuti sebagai pedoman hidup kita. Dalil dalil tentang sabar ini antara lain:
Dalil dari Al Quran
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Qashash:83)
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. “ (QS. Luqman:18)
Dalil yang diambil dari surat Al Qashash:83 menjelaskan bahwa sorga adalah tempatnya orang-orang yang tidak sombong. Dan pada dalil yang terdapat dalam surat Luqman:18 Allah swt memerintahkan kita untuk tidak sombong kepada sesama.
Dalil dari Hadits
Ada banyak dalil tentang sabar yang berasal dari hadits atau sunnah Rasul. Semoga dalil ini dapat membuat kita selalu bisa bertawadhu dalam kehidupan di dunia agar tidak menjadi takabur dan sombong. Adapun dalil tentang haramnya takabur dan sombong yang berasal dari hadits atau sunnah Rasul adalah sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong walaupun hanya sebesar atom.” Ada seorang laki-laki berkata: “Sesungguhnya seseorang itu suka memakai pakaian yang bagus dan sandal/sepatu yang bagus pula.” Nabi Muhammad saw kembali bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah, suka pada keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan sesame manusia.” (HR. Muslim)
Dari Salamah bin Al Akwa ra bahwasannya ada seorang laki-laki makan di hadapan Nabi Muhammad saw  dengan memakai tangan kirinya, beliau lantas bersabda: “Makanlah dengan memakai tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak bisa.” Nabi Muhammad saw bersabda lagi: “Kamu tidak bisa, itu adalah perbuatan sombong.” (HR. Muslim)
Dari Haritsah bin Wahb ra berkata: “Saya mendengar Nabi Muhammad saw bersabda, “Maukah kamu sekalian aku beritahu tentang ahli neraka? Yaitu setiap orang yang kejam, rakus, dan sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa’id Al Khudry ra dari nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “Sorga dan neraka itu berdebat; neraka berkata: “Padaku orang-orang yang kejam dan sombong” 
Sorga berkata: “Padaku orang-orang yang lemah (tertindas) dan miskin” Kemudian Allah member keputusan kepada keduanya: “Sesungguhnya kamu sorga adalah tempat rahmatKu, Aku memberi rahmat dengan kamu kepada siapa saja yang Aku kehendaki. Dan sesungguhnya kamu neraka adalah tempat siksaanKu, Aku menyiksa dengan kamu kepada siapa saja yang Aku kehendaki; dan bagi masing-masing kamu berdua Aku akan memenuhimya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra bahwasannya Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat orang yang menurunkan kainnya di bawah mata kaki karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah ra berkata, Nabi Muhammad saw bersabda: “Ada tiga kelompok orang yang nanti pada hari kiamat Allh tidak akan berbicara dengan mereka, Allah tidak akan membersihkan (mengampuni dosa) mereka, dan Allah tidak akan memandang mereka, serta mereka akan disiksa dengan siksaan yang pedih, yaitu: orang tua yang berzina, raja (penguasa) yang suka bohong, dan orang miskin yang sombong.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra berkata, Nabi Muhammad saw bersabda, Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman:  “Kemuliaan adalah pakaianKu dan kebesaran adalah selendangKu, maka barangsiapa yang menyaingi Aku dalam salah satunya maka Aku pasti akan menyiksanya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra bahwasannya Nabi Muhammad saw bersabda: 
“Suatu ketika ada seorang laki-laki berjalan dengan memakai perhiasan dan bersisir rambutnya, ia mengherani dirinya sendiri dengan penuh kesombongan di dalam perjalanannya itu, kemudian tiba-tiba Allah menyiksanya yaitu ia selalu timbul tenggelam di permukaan bumi sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Salamah bin Al Akwa ra berkata, nabi Muhammad saw bersabda: 
“Seseorang itu senantiasa membanggakan dan menyombongkan dirinya sehingga ia dicatat dalam golongan yang kejam lagi sombong, kemudian ia tertimpa apa yang biasa menimpa mereka.” (HR. At Turmudzy)
Jakarta  19/4/2013

Melukai Ibumu, Murkalah Tuhanmu




Seorang ibu tua yang tinggal di kampung memiliki seorang anak pria yang hidup sukses di kota. Anak tersebut menikah dengan seorang wanita karier dan dikarunia seorang anak yang pintar.
Merasa kesepian, sang ibu yang tinggal di kampung berkirim surat kepada anaknya bahwa dua minggu lagi ia akan pergi ke kota menjumpai anak cucunya dan tinggal di sana demi mengusir rasa sepi. Saat menerima surat dari ibunya, sang anak berdiskusi dengan istrinya tentang bagaimana menyikapi kehadiran sang ibu di tengah mereka. Sang istri berkata, “Mas, engkau bekerja seharian penuh hingga larut malam, demikian pula aku. Aku akan merasa risih bila ibumu tinggal di rumah ini sebab ia akan mencibirku dan mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak pandai mengurus anak sendiri.”
Sang istri melanjutkan, “Aku pun tak tega bila menyuruhmu untuk menaruh beliau di panti jompo. Nah, bagaimana kalau kita buatkan saja sebuah saung dari bambu di halaman belakang rumah.
Lalu kita tempatkan ibumu di sana. Ia akan bebas melakukan apa saja. Sementara kita dengan kesibukan yang ada tidak akan pernah merasa terusik.”
Sang suami mengangguk tanda setuju atas usul istrinya. Maka dibuatkanlah sebuah saung bambu di belakang rumah untuk sang ibu. Begitu ibunya datang, anak dan menantu tersebut menerimanya dengan penuh kehangatan, namun sayang mereka menempatkan sang ibu di saung bambu di halaman belakang rumah.
Dan kami berwasiat kepada manusia tentang kedua orangtuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. (kami berwasiat kepadanya). ’bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, karena hanya kepada-Ku-Lah kembalimu [ Qs. Lukman 31 : 14 )
Ibu yang datang ke kota demi mengusir kesepian di desa, malah merasa terisolasi di tengah anak cucunya sendiri.
“Ma, jangan lupa untuk mengirimkan makan tiga kali sehari untuk ibu ya!” Itulah kalimat yang diucapkan sang suami kepada istrinya setiap kali ia hendak berangkat bekerja. Sang istri pun lalu menyampaikan lagi pesan ini kepada pembantunya untuk melakukan hal yang diminta suaminya. Maka, tiga kali sehari makanan diantar oleh pembantu tersebut ke dalam saung.
Namun karena kesibukan mereka berdua, keduanya kerap lupa untuk mengingatkan pembantu tersebut untuk mengantarkan makanan kepada orangtuanya.
Tadinya tiga kali sehari, terkadang hanya dua kali atau satu kali. Setelah berbulan-bulan tinggal di dalam saung, pesan untuk mengirimkan makanan sudah tidak mereka ingat lagi sehingga pembantunya pun ikut lalai mengirimkan padanya makanan.
Allah Swt sungguh murka terhadap anak yang melalaikan hidup orangtuanya!
Piring kotor masih teronggok di pinggir saung. Sudah lama tidak diambil oleh pembantu yang biasa mengantarnya. Karena cahaya yang redup di dalam saung, sang nenek tanpa sengaja menginjak piring itu hingga akhirnya pecah. Tidak ada lagi makanan yang dikirimkan oleh anaknya. Nenek itu lapar. Ia pun pergi ke warung untuk beli makanan untuk sekadar mengganjal rasa lapar. Makanan telah terbeli, lalu dengan apa ia harus meletakkan, sebab tiada lagi alas.
Lalu sang nenek pergi mencari alas untuk makanannya. Tiada yang ia temui selain sebuah batok kelapa. Ia cuci dan bersihkan batok tersebut. Usai dibersihkan, batok itu menjadi teman setia nenek untuk makan. Demikianlah kebiasaan makan yang dilakukan nenek, hingga suatu hari Allah berkenan untuk memberlakukan kehendaknya!!
Di suatu pagi, lepas dari pengawasan baby sitter, seorang bocah lelaki berusia sekitar lima tahun pergi ke halaman belakang. Sudah lama ia tidak bermain ke halaman tersebut. Bocah itu bengong, terperangah saat ia melihat ada sebuah saung bambu di sana. Anak itu pergi menghampiri. Ia dorong pintunya hingga terbuka. Anak tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ia pun masuk ke dalamnya. “Eh… ada pangeran kecil rupanya!” suara nenek terdengar mengguratkan senyum di bibir.
“Nenek siapa ya?” Tanya sang bocah polos.
“Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” Nenek itu mencoba menjelaskan.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak bisa dipisahkan oleh jarak apa pun. Keduanya membaur tak ubahnya darah dan daging.
Sejak itu, sang bocah sering mengunjungi neneknya meski kedua orangtuanya tak tahu apa yang dilakukan anaknya selama ini. Ketika si bocah melihat sebuah benda aneh di pojok saung, ia bertanya, “Itu benda apa, Nek?” si cucu menunjuk ke sebuah benda dengan perasaan ingin tahu. Si nenek melempar pandangan ke arah yang ditunjuk cucunya. Ia tahu bahwa yang dimaksud cucunya adalah batok kelapa.
“Oh… itu piring nenek. Tempat makan nenek. Lucu ya…?!” Nenek menjawab dengan wajah tersenyum.
“Iya, Nek! Ini bagus sekali,” sambut sang cucu. Sang cucu merekam kejadian itu.
Dalam sebuah liburan akhir pekan, bocah ini diajak tamasya ke luar kota oleh papa dan mamanya. Mereka pergi membawa mobil ke tempat wisata. Sesampainya di sebuah taman wisata yang begitu rimbun, teduh dan indah, mereka pun berbagi tawa dan kebahagiaan. Mereka berlari, berkejaran, berjalan dan melompat. Hari itu penuh keceriaan bagi mereka bertiga.
“Haaaap!” sang papa melompat sambil berteriak. Diikuti suara dan lompatan yang sama dari sang mama. Rupanya keduanya telah melompat melintasi bibir selokan kecil di sana. “Ayo Nak… lompati selokan itu. Kamu pasti bisa!” Teriak keduanya berseru kepada anak mereka.
Sang anak berdiri terdiam di seberang. Ia melemparkan pandangan ke dalam selokan. Ia tak mau melompat, namun malah berujar, “Pa… Ma…, tolong ambilkan benda itu dong!” Papanya melihat ke arah benda yang ditunjuk anaknya, ia tahu benda yang dimaksud adalah ‘batok kelapa’ dalam selokan.
“Apa sih, Nak? Nggak usah diambil. Itu kotor!” kata Si papa. Sang mama menimpali dengan kalimat serupa.
Namun si anak tetap bersikeras, merengek dan mengancam bahwa dirinya tidak mau meneruskan tamasya bila mama atau papanya tidak mau mengambilkan benda tersebut.
Keduanya mengalah. Diangkatlah ‘batok kelapa’ yang telah baunya busuk dari selokan. Keduanya repot mencari keran air untuk mencucinya. Setelah agak bersih, batok itu pun diberikan kepada sang anak. Keduanya merasa heran melihat sang anak begitu hangat memeluk batok kelapa tersebut.
Dalam perjalanan kembali ke rumah. Ketiganya masih berada di dalam mobil. Tak sabar dan penuh rasa ingin tahu, sang mama bertanya kepada anaknya, “Mama jadi bingung sama kamu. Sebenarnya untuk apa sih batok kelapa itu, Nak.?!”
Si anak masih memeluk batok itu. Ia angkat kepalanya lalu berkata, “Aku mau kasih kejutan ke mama!”
Dengan kepolosannya ia melanjutkan, “Kalau sampai di rumah, benda ini akan aku cuci sampai bersih. Setelah itu akan aku beri bungkus yang rapih. Bila sudah rapi, aku akan berikan ini untuk mama sebagai alas untuk makan.”
“Untuk makan?!” Mama bertanya keheranan dengan rasa jijik. “Iya, untuk makan. Aku lihat nenek di saung belakang rumah, ia makan dengan ini. Papa dan Mama yang berikan itu untuk Nenek kan?!” Tanyanya polos.
Keduanya bergidik. Allah Swt sungguh telah menegur mereka berdua lewat lidah anak mereka sendiri. Selama ini, sungguh mereka telah menyia-nyiakan orangtua sendiri. Hingga harus makan dengan alas dari sesuatu yang menjijikkan bagi mereka, yaitu batok kelapa. Apakah Anda masih menyia-nyiakan hidup orangtua Anda?!
-Bobby Herwibowo-

Template by:

Free Blog Templates