Kamis, 18 Juli 2013
Kenapa Hizbu Tahrir Benci Terhadap Gerakan Islam Seperti Ikhwanul Muslimin...Ini Faktanya
Diposting oleh Abdul rohmat
Ketika Syi'ah mencaci maki para
shahabat dan mengatakan bahwa para shahabat telah merubah Al Qur'an,
mencaci maki istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ummul
mukminin, tapi bagiHizbut
Tahrir ini adalah masalah kecil!! Kenapa bisa seperti itu? Karena
berdasarkan pada hal yang paling penting bagi mereka, yaitu permasalahan
khilafah.
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:”kebanyakan
dari umatku yang mati berdasarkan pada Kitabullah dan Al Qadha wal Qadar
dai Allah adalah karenanya al anfus (dicabutnya nyawa)” (HR. Al
Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id 5/6, Ibnu Hajar menshahihkannya dalam
Fathul Bari 10/167)
Hizbut Tahrir mengatakan bahwa aqidah Islam yang ada pada Hizbut Tahrir
adalah bersadarkan pada akal dan siyasi (Al Iman halaman 68 dan Hizbut
tahrir halaman 6). Maka akal orang-orang ini adalah dasar dari agama.
Mereka berkata “kami mengetahui Allah berdasarkan akal kami”. Tapi
bertentangan dengan pernyataan ini, adalah pernyataannya Umar Bakri,
bahwa salah satu sebab perpecahan di kalangan muslimin adalah ketika
sebagian kaum muslimin menggunakan akal dalam membahas permasalahan
aqidah (Tafsir surat Al Ma'idah 5/29).
Mereka menjelaskan bahwa khilafah tidak akan tegak dengan berdasarkan
pada akhlaqul karimah, tetapi berdirinya khilafah adalah dengan
pengoreksian terhadap doktrin aqidah dan manhaj yang dibawa atau
dipraktekkan dalam Islam (At Taqatul Hizbi halaman 1).
Dan dikatakan oleh mereka bahwa dakwah pada akhlaqul karimah tidaklah
akan membuat masyarakat menjadi benar dan tidak akan membuat tegaknya
khilafah, tapi masyarakat itu akan tegak dikarenakan adanya koreksi pada
doktrin aqidah dan tidaklah dengan menyerukan pada akhlaqul karimah
(Manhaj Hizbut Tahrir fit Taghyir halaman 26-27).
Maka kita katakan “Masyarakat itu akan tegak dengan keduanya (aqidah dan
akhlaqul karimah), dan Islam menyerukan pada keduanya”. Taqiyuddin
mengingkari adanya ikatan emosi pada jiwa manusia, tidak ada ikatan
bathin. Dia katakan tidak ada ikatan emosi pada jiwa manusia dalam
ajaran Islam. Karena pendapatnya inilah, kami melihat Hizbut Tahrir
tidak mempunyai kelemah-lembutan dan akhlaqul karimah dalam menghadapi
umat.
Dia berkata dalam Nizhamul Islam halaman 61 dan Al Fikrul Islami Al
Mu'asyir halaman 202 bahwa mereka-mereka (para ulama Ahlus Sunnah) yang
mengatakan bahwa wanita itu semuanya aurat, maka hal ini adalah bukti
dari keruntuhan, perusakan akhlaq, padahal sudah pasti bahwa laki-laki
dan perempua itu akan bertemu bersama-sama ketika melakukan transaksi
jual-beli.
Lalu dia katakan dalam An Nizham halaman 10 dan 12, bahwa berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahram itu tidak akan merusak akhlaq.
Dia mengatakan bahwa bila wanita itu berhijab maka hal itu adalah
keruntuhan dan perusakan akhlaq, tapi dia berkata bahwa berjabat tangan
dengan wanita bukan mahram itu tidak merusak akhlaq.
Mereka mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah merupakan sebuah kelompok
yang mengurusi masalah politik, seluruh kegiatannya adalah berhubungan
dengan politik, ini yang mereka katakan. Kegiatan mereka bukan pada hal
tarbiyah, bukan pula pada memberikan targhib dan tarhib, namun semuanya
hanyalah yang berikaitan dengan politik (Manhaj Hizbut Tahrir Fit
Taghyir halaman 28 dan 31, juga dalam Hizbut Tahrir halaman 25). Apakah
kalian pernah mendengar apa yang mereka katakan itu? Itu yang mereka
nyatakan. Mereka berkata “Kami membolehkan orang-orang untuk membentuk
hizb-hizb, berdasarkan pada firman Allah,
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia yang menyeru
pada kebaikan dan melarang kejelekan serta beriman kepada Allah” (Ali
Imran 110)
Ini adalah dalil yang mereka pakai, padahal seperti yang mereka katakan,
bahwa kegiatan mereka seluruhnya hanya berkaitan dengan politik!!.
Maka kegiatan politik ini telah dijadikan sebagai aqidah bagi mereka,
dan karena hal inilah mereka melakukan tawar menawar dengan mubtadi'
(dan juga musyrikin) seperti Syi'ah, mereka mengatakan bahwa bekerja
sama dengan syi'ah adalah tidak apa-apa. Dan mereka melakukan hal
tersebut dengan kuffar Yahudi.
Mereka mengatakan dalam majalahnya, Al Wa'ie, nomor 75 halaman 23, tahun
1993, bahwa tidak ada perbedaan antara madzhab Syafi'i dan Hanafi, dan
mereka telah salah karena mendalilkan hal ini untuk menjelaskan yang
berikutnya, begitu pula Ja'fari dan Zaidi.
Dan mereka berkata “dan inilah yang terjadi antara kalangan Sunni dengan
Syi'i, yang sebenarnya ada orang-orang yang berada di belakang
perpecahan ini (yang mempunyai maksud tertentu) dan kami harus memerangi
orang-orang itu, sebab tidak ada perbedaan antara keduanya, dan siapa
saja yang melakukan perbedaan itu maka akan kami lawan”.
Orang-orang Hizbut tahrir sebenarnya mengetahui apa yang dinyatakan oleh
orang-orang syi'ah tentang 'Aisyah dan para shahabat, mereka
mendengarnya di Hyde Park (sebuah tempat di Inggris) dan tetap saja
mereka katakan tidak ada perbedaan antara Sunni dan Syi'i. Ketika Syi'ah
mencaci maki para shahabat dan mengatakan bahwa para shahabat telah
merubah Al Qur'an, mencaci maki istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, ummul mukminin, tapi bagi Hizbut Tahrir ini adalah masalah
kecil!! Kenapa bisa seperti itu? Karena berdasarkan pada hal yang paling
penting bagi mereka, yaitu permasalahan khilafah.
Mencaci maki para shahabat, mencaci maki para istri Rasul, menuduh para
shahabat telah merubah Al Qur'an adalah hal kecil dibandingkan dengan
permasalahan yang “paling besar”, apakah itu? Masalah khilafah.
Itulah yang menyebabkan kenapa mereka mengatakan bahwa kitab yang
terbaik adalah Al Hukumah Al Islamiyyah padahal didalamnya terdapat
kekufuran dan pernyataan bahwa melawan Sunni adalah merupakan aqidah
bagi Syi'i, karena aqidah syi'i itu cocok dengan aqidahnya mereka. Tapi
Hizbut Tahrir tidak mau tahu tentang hal itu dan memilih untuk
mengabaikannya.
Oleh karena itu, mereka (Hizbut Tahrir) dapat ditemukan di Qum, tempat
dimana Khomeini hidup. Mereka mengira bahwa di sana dapat ditegakkan
khilafah.
Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, mereka mengatakan bahwa
Allah membolehkan umat Islam untuk mendirikan hizb-hizb, dengan berdalil
dengan surat Ali Imran ayat 110. Tapi lihat apa yang mereka katakan
“Sesungguhnya amar ma'ruf nahi munkar tidak bisa dijalankan kecuali
sebelumnya telah ditegakkan khilafah dan hukum-hukum Islam” (Manhaj
Hizbut Tahrir Fit Taghyir halaman 21). Lalu andai amar ma'ruf nahi
munkar itu tidak bisa dijadikan sebagai suatu cara, kanapa kalian masih
menukil ayat itu?.
Dan Umar Bakri pun mengatakan hal yang sama pada Tafsirnya Surat Al
Ma'idah 2/233. Mereka katakan bahwa kegiatan mereka total pada
permasalahan politik.
Maka kita katakan pada mereka. Apakah Salafus Shalih tidak pernah
mendengar ayat ini sebelumnya? Kalaupun mereka (Salafus Shalih)
mendengar, apakah mereka mendirikan kelompok sendiri-sendiri? Apakah
mereka memahami ayat itu seperti pemahamanmu? Tentu saja tidak,
sebaliknya pemahamanmu ini bukanlah dalam rangka memahami ayat, tapi
dalam rangka merusak ayat. Kami pun mengetahui bahwa kelompok yang
bergerak dalam permasalahan politik bukan hanya Hizbut Tahrir saja, tapi
juga ada Ikhwanul Muslimin. Mereka juga mengatakan boleh untuk membuat
kelompok-kelompok dan mereka pun menukil ayat yang sama.
Mereka adalah biang pembuat perpecahan umat. Mereka masing-masing
membuat kelompok, lalu mereka pun berpecah belah dan akhirnya saling
benci satu sama lainnya. Ini adalah suatu pemahaman yang menyelisihi
Salaf.
Rasulullah berkata bahwa jika ada dua khalifah yang dibai'at, maka salah
satunya harus dibunuh. Tapi mereka katakan bahwa hadits ini ahad.
Siapakah yang memberitahumu bahwa para shahabat tidak menerima hadits
ahad? Kita telah menjelaskan pada mereka (Hizbut Tahrir) tentang
salahnya pendapat ini selama bertahun-tahun. Maka berikanlah pada kami,
ucapan-ucapan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, shahabat,
tabi'in dan yang selainnya bahwa hadits ahad tidak bisa diambil dalam
permasalahan aqidah? Mereka katakan bahwa haram mengambil hadits ahad
dalam permasalahan aqidah tapi haram meninggalkan hadits ahad dalam
permasalahan ahkam!! Apakah ini bukan suatu pertentangan?
Maka disini ada pertanyaan penting yang harus ditujukan pada mereka. Mereka sering mendengung-dengungkan ayat,
“Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru pada
kebajikan, menyeru yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka lah
orang-orang yang beruntung” (Ali Imran 104)
Lalu bagaimana bisa ayat ditafsirkan dan hendaklah ada segolongan dari
Hizbut Tahrir? Sekarang kita katakan, apakah umat ini ada sebelum
lahirnya Taqiyuddin An Nabhani? Tentu saja, umat ini sudah ada sejak
jaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu kenapa kita perlu
pada Taqiyuddin dan Hizbut Tahrir? Apakah merupakan suatu kebaikan jika
membolehkan membentuk partai-partai dalam Islam, di dalam umat ini
sedangkan kalian melarangnya di dalam tubuh kalian (di dalam Hizbut
Tahrir)?
Dan sungguh menakjubkan orang-orang ini, yang mereka sebenarnya
mendakwahkan pada perpecahan. Mereka berteriak agar umat ini bersatu,
tapi mereka sendiri terpecah-belah.
Mereka seharusnya tidak boleh melakukan hal ini. Jika kalian ingin agar
umat ini bersatu, maka hal yang pertama yang harus kalian lakukan adalah
pergi dan kutuklah hizb kalian (dan membubarkannya), lalu setelah itu
barulah kalian berdakwah untuk bersatu.
Hal lainnya, adalah mereka selalu mendengung-dengungkan ayat di atas
(Ali Imran 104), tapi apakah mereka terlihat, secara dhahir, melakukan
amar ma'ruf nahi munkar? Tidak, mereka hanya melakukan hal itu untuk
kepentingan diri-diri mereka dan kelompoknya saja.
Seseorang yang tidak mempunyai sesuatu maka tidak akan dapat memberikan
apa pun. Jika aku tidak mempunyai uang maka tidak dapat memberikan uang.
Jika mereka (Hizbut Tahrir) tidak mempunyai sunnah, maka sunnah apakah
yang akan mereka berikan pada umat.
Menurut mereka, semua bagian dari dunia ini adalah darul kufr. Mereka
katakan bahwa tidak ada lagi wilayah Islam saat ini, sebab semuanya
adalah tempat kufr. Apakah benar mereka berkata seperti ini? apakah
kalian setuju dengan mereka? Aku telah membaca tulisan mereka dalam
kitab-kitab mereka, mereka katakan “Tanah yang ditempati Muslimin
sekarang adalah darul kufr, walaupun orang-orang yang menempatinya
muslim” (Hizbut Tahrir, halaman 32 dan 103). Mereka tidak memasukkan
Makkah dan Madinah sebagai wilayah muslim! Apakah mereka katakan padamu
kecuali Makkah dan Madinah? Aku akan memberikan pengalaman pribadiku,
salah seorang dari mereka berkata padaku, “semua orang selain yang
tinggal di Makkah dan Madinah adalah bukan muslim dan wilayah tempat
tinggal mereka yang tinggali pun bukanlah Darul Islam (Ad Daulah
Islamiyyah halaman 55, Mitsaqul Ummah halaman 14 dan 44, Manhaj Hizbut
Tahrir halaman 10-11).
Dari semua sumber rujukan tersebut dikatakan bahwa semua tempat adalah
darul kufr dan semua masyarakatnya adalah kufr. Ini berarti tidak ada
muslimin!! Salah seorang dari saudara kita bertanya pada salah seorang
pemimpin mereka, “apakah ada pada saat ini darul Islam?”, dia (pemimpin
Hizbut Tahrir) berkata “Tidak Ada”, lalu saudara kita berkata:”Tapi aku
ingin hijrah” dia berkata “ini tidaklah mungkin”. Lalu dimanakah
kemudian darul hijrah itu? Apakah Makkah dan Madinah bukan tempat Islam?
Lalu kenapa kalian (Hizbut Tahrir) pergi ke London? Ada beberapa fatwa
yang mereka berikan (Jawab wa sual, 24 rabi'ul awal 1390 dan juga 8
muharram 1390). Mereka menjelaskan bahwa laki-laki dibolehkan untuk
mencium wanita non muslim. Dan aku bersumpah bahwa mereka menyetujui hal
ini.
Salah seorang saudara kita yang baru masuk Islam diberikan penjelasan
ini bahwa dia boleh mencium wanita non muslim. Mereka berkata bahwa
boleh untuk melihat foto (gambar) wanita telanjang (b****l), mereka
katakan “Toh ini hanyalah gambar”. Mereka katakan bahwa itu bukanlah
wanita tapi hanyalah gambar. Kemudian mereka berkata bahwa dibolehkan
untuk menjabat tangan wanita lainnya, yaitu ketika melakukan bai'at,
sebab tidak ada perbedaan antara wanita dan pria dalam hal ini (Al
Khilafah halaman 32).
Hal yang ingin saya jelaskan sekarang adalah, aku telah melihat mereka
dan datang ke tempatku. Dan mereka mengatakan tentang hadits dari
'Aisyah. 'Aisyah berkata “Tidak, Wallahi. Rasulullah tidak pernah
menyentuh tangan wanita (selain mahram)”.
Dan mereka katakan bahwa “Tidak, dia ('Aisyah) telah salah”. Aku telah
mendengarnya langusng dari Umar Bakri dan aku mempunyai rekamannya. Dia
katakan bahwa 'Aisyah telah salah, dia salah dalam menyatakan hal ini”.
Maka manakah yang benar, apakah perkataan 'Aisyah atau dia? Apakah kamu
hidup di jaman Rasulullah? Bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti
ini. Padahal hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari!!. Mereka membantah
perkataan 'Aisyah dengan perkataannya Ummu 'Athiyah bahwa Rasulullah
memanjangkan tangannya dari luar rumah dan para wanita memberikan
padanya tangan-tangan mereka. Tapi riwayat Ummu 'Athiyah ini adalah
mursal, yang berarti dha'if. Hal ini telah dijelaskan oleh An Nawawi
(Syarh Shahih Muslim, 1/30) dan juga Ibnu Hajar Al Asqalani (FatHul Bari
8/636). Beliau (Ibnu Hajar) mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh
'Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang
diriwayatkan oleh Ummu 'Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan
tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita. Apakah mereka
(Hizbut Tahrir) tidaklah merasa cukup dengan hadits Rasulullah “Aku
tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban (1597), An Nasa'i (7/149), Ibnu Majah (2874). Tapi
tetap saja hal ini tidak mencukupi mereka. Apa yang akan aku katakan
pada seorang wanita adalah sama dengan yang akan aku katakan pada
ratusan wanita tentang bai'at ini. Bahwa Rasulullah tidak membai'at
wanita kecuali dengan ucapan (bukan berjabat tangan) (HR. Muttafaq
'alaih), dan juga perkataan beliau “Andaikata kepala salah seorang dari
kalian ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik baginya daripada
menyentuh wanita yang tak halal baginya” (HR. Al Baihaqi, dishohihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 226). Kendati pun demikian,
mereka tetap menyatakan boleh untuk berjabat tangan dengan wanita yang
bukan mahram!!
Maka aku katakan pada mereka, dengan menukil ucapan yang sering mereka
dengung-dengungkan pada penguasa, “Berhukumlah dengan apa yang telah
diturunkan oleh Allah!”. Dan kami katakan pada mereka “(salah satu)
Hukum Allah adalah tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram,
jika kalian tidak berhukum dengan hukum Allah, maka kalian tidak akan
bisa menegakkan hukum Allah”.
Dan ini berarti bahwa kita harus bersikap tunduk, patuh dan ta'at pada
hukum Allah, dan jika kitatidak mendasarkan diri pada hukum Allah, maka
apa yang aka terjadi nantinya, bagaimana kita bisa mendakwahi orang
lain, bagaimana kita bisa mencapai keunggulan dan kepemimpinan. Imam An
Nawawi berkata “jika hal itu terlihat, maka haram untuk menyentuhnya” (Syarhul Minhaj 6/195)(Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (iii), Syaikh Abdurrahman Ad Dimasyqiyyah)(salaf)
Ramuan Pelebur Dosa
Diposting oleh Abdul rohmat
Hasan al-Bashri seorang ulama terkemuka asal Basharah Irak menyaksikan seorang pemuda datang pada seorang dokter menanyakan hal berikut : Wahai dokter apakah Anda memiliki resep obat mujarab yang bisa menghapus dosa-dosa dan menyembuhkan penyakit hati?
Dokter itu menjawab : Ya!
Pemuda itu berkata : Berikan padaku resep mujarab itu!
Dokter berkata : “Ambillah sepuluh bahan pelebur dosa itu :
Ambillah akar pohon rasa fakir dan menghajatkan pada Allah bersama dengan akar kerendahan hati yang tulus dan ikhlas kepada Allah. Jadikan taubat sebagai campurannya. Lalu masukkan dalam wadah ridha atas semua ketentuan dan takdir Allah. Aduklah dengan adukan qana’ah rasa puas dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. Masukkan dalam kuali takwa. Tuangkan ke dalamnya air rasa malu lalu didihkanlah dengan api cinta dan masukkan dalam adonan syukur serta keringkan dengan kipasan harap lalu minumlah dengan sendok pujian (al-hamdu).
Jika engkau mampu melakukannya pastilah engkau mampu mencegah penyakit dan ujian baik di dunia maupun akhirat” pungkas dokter itu.
Banyak orang melakukan dosa dan kedurjanaan kepada Allah karena dia merasa cukup dengan kemampuan dirinya dan seakan tidak lagi membutuhkan pada apapun, termasuk pada Sang Mahakaya. Dia beranggapan bahwa dirinya mampu melakukan semua hal dengan kekuatan dan kemampuannya, dengan potensi dan energi dirinya. Dia merasa bahwa semua yang dia dapatkan adalah hasil dari kekuatan pikirannya, kemampuan ilmunya, kejernihan kalkulasinya, kematangan hitungan-hitungannya. Inilah yang terjadi pada Qarun yang angkuh dengan harta yang dimilikinya yang kemudian Allah turunkan adzab padanya dengan ditelannya dia oleh bumi yang tidak lagi suka pada kecongkakan, kesombongan dan keangkuhan yang dia pamerkan sehingga membuat bumi gerah.
Sumber dosa lainnya adalah karena orang itu ridak ridha dengan apa yang Allah tetapkan pada dirinya. Sering kali dari bibirnya keluar keluhan dan bahkan gugatan kepada Allah kepada Dia tidak memberikan yang “terbaik” menurut pandangannya, menurut persepsinya, menurut pemikirannya. Dia menyangka bahwa apa yang dia alami saat ini tidaklah tepat bagi dirinya, tidak pantas untuk dirinya, tidak layak dialaminya. Dia seakan lebih tahu dari Allah Yang Mahatahu yang mengerti semua detil perkara yang baik dan yang buruk bagi hamba-Nya. Inilah yang terjadi pada Qabil tatkala menuntut ayahnya agar dia dinikahkan dengan adik kembarnya padahal Allah telah menentukan lain untuknya.
Lambat kembali kepada Allah merupakan penyebab lain dari tidak hancurnya dosa-dosa yang kita lakukan. Terjadi pengendapan dosa karena seringnya kita menunda taubat yang seharusnya cepat kita lakukan. Padahal Allah memerintahkan kita untuk segera merapatkan diri kepada Allah setelah beberapa lama kita telah menjauhinya. Getarkan hati kita semua dengan sesal atas semua kesalahan yang kita lakukan. Mereka seakan tidak tahu bahwa Allah senantiasa menerima taubat hamba-Nya dan Allah sangat senang dengan taubat mereka.
Sebagaimana yang Allah firmankan :
ألم يعلموا أن الله هو يقبل التوبة عن عباده ويأخذ الصدقات وأن الله هو التواب الرحيم
Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari
hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang? (At-Taubah : 104).Rasa tidak puas dengan apa yang Allah berikan pada kita merupakan penyakit kronis yang melahirkan buruk sangka kepada Allah, mendekti kehendak Allah, menyalahkan Allah. Rasa tidak puas dengan karunia Allah akan mengecilkan rasa syukur kita pada-Nya dan bahkan suatu saat akan memadamkannya. Lenyapnya rasa qana’ah atas karunia-Nya akan membuahkan ketamakan dan ketamakan akan melahirkan kezhaliman-kezhaliman. Dari kezhaliman akan memunculkan kerusakan-kerusakan yang menghancurkan tatanan kehidupan.
Jika dalam diri kita telah ada rasa kefakiran, rasa ridha dan qana’ah dan taubat maka semangat takwa kepada Allah hendaknya kita pupuk terus menerus dan kita bina dengan seksama. Sebab ketakwaan itu laksana sebuah tanaman yang jika dibina dengan sebaik-baiknya maka dia akan tumbuh subur dan indah dan jika kita telantarkan maka ketakwaan itu akan segera layu dan lesu. Ketakwaan bisa kita sirami dengan dengan rasa takut pada Allah (al-khawf min al-Jalil), mengamalkan nilai-nilai all-Quran (al-’amal bi al-Tanzil), puas dengan yang ada (al-qana’ah bi al-qalil) dan mempersiapkan diri sepenuhnya untuk perjalanan akhir : kematian ( al-isti’dad li yaum al-Rahil). Jadikan takwa terus terus tumbuh berkembang dan berkelanjutan sampai maut datang menjelang. Hendaknya kita menggenjot ketakwaan kita sampai pada puncaknya, pada titik kulminasinya.
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (Ali Imran : 102).
Ketakwaan kita akan semakin bermakna mana kala yang menjadi pendorongnya adalah mahabbah cinta pada Allah. Cinta pada Allah sepenuh jiwa dan hati. Cinta yang tidak lagi membuatnya berpkir untuk dan rugi dalam menjalankan perintah dan anjuran-Nya. Semangat cinta yang membakar hatinya akan senantiasa menggerakkannya untuk senantiasa dekat, merapat dan bergiat untuk merengkuh ridha dan kasih-Nya, meminum cawan rahmat-Nya dalam setiap langkah-langkah hidup dan goresan sejarahnya. Rasa cintanya yang menggelegak pada Allah akan senantiasa membuat hidup terasa hidup, langkahnya demikian pasti menuju Sang Kekasih. Cawan cintanya senantiasa tumpah ruah dengan air mata takwa, ridha qanah, taubat syukur, tawakkal dan sabar.
Bagi para pecinta yang dipikirkan bukan lagi dirinya tapi Dzat yang dicintainya dan dia larut dalam gelombang kasih-Nya, larut dalam rahmat-Nya masuk dalam dekapan kasih sayang-Nya.
Ramuan kefakiran pada Allah+taubat+ridha+qana’ah+takwa+malu+mahabbah cinta+syukur+harap (raja’) dan tahmid akan membersihkan dosa kita, melelehkan bebukitan kesalahan kita.
Dan yakinlah bahwa ramuan itu selain menghapuskan dosa kita dia juga akan menambah vitalitas keimanan kita semua menambah energi keislaman kita dan memantapkan akar ihsan kita.
Selama mencoba! Pastilah kita akan merasan khasiatnya. Dengan hasil jiwa nan segar dan jiwa yang jernih. Dengan dosa yang minim setiap hari. (Red-)
Jumat, 12 Juli 2013
K E S A B A R A N | Anis Matta
Diposting oleh Abdul rohmatTidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan.
Maka dahulu ulama kita mengatakan: "Keberanian itu, sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat."
Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai
seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu
terus-menerus. Dan itulah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya:
"Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan
mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada di antara kamu seratus orang
(penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir."(QS. 8:
65).
Ada banyak pemberani yang tidak mengakhiri hidup sebagai pemberani.
Karena mereka gagal menahan beban resiko. Jadi keberanian adalah aspek
ekspansif dari kepahlawanan. Tapi kesabaran adalah aspek defensifnya.
Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita
mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu
survive dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini
pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman Allah swt
ini: "Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka
selalu yakin dengan ayat-ayat Kami." (QS. 32 : 24).
Demikianlah kemudian ayat-ayat kesabaran turun beruntun dalam Qur'an dan
dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah saw,
sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling
terhormat ketia la mengatakan: "Mintalah pertolongan dengan kesabaran
dan sholat. Sesungguhnya urusan ini amatlah berat kecuali bagi
orang-orang yang khusyu'." (QS. 2: 45 )
Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak
sifat lainnya. Dari kesabaranlah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula
lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahasia juga lahir
dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan,
kesinambungan dalam bekerja dan yang mungkin sangat penting adalah
ketenangan.
Tapi kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran
itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah saw mengatakan kepada seorang
wanita yang sedang menangisi kematian anaknya: "Sesungguhnya kesabaran
itu hanya pada benturan pertama." (Bukhari dan Muslim). Jadi, yang pahit
dari kesabaran itu hanya permulaannya. Kesabaran pada benturan pertama
menciptakan kekebalan pada
benturan selanjutnya. "Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai
panah itu hanya menembus panah," kata penyair Arab nomor wahid sepanjang
sejarah, Al-Mutanabbi.
Cinta di Atas Cinta
Diposting oleh Abdul rohmatOleh Anis Matta
Perempuan oh perempuan!
Pengalaman batin para pahlawan dengan mereka ternyata jauh lebih rumit
dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya, jika kenangan
cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan? Keagungan!
Itulah, misalnya, pengalaman batin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar adalah seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. "Aku takut pada neraka," katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamanya, pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, isteri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras itu membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa' Rasyidin. Maka ia pun digelari Khalifah Rasyidin Kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah isterinya datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi isterinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang isterilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat ini cinta hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung, disini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tiada ada! Tapi, "Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini," kata Umar. Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati disini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, "Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?" Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!" []
Itulah, misalnya, pengalaman batin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar adalah seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia besar di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasinya. Ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. "Aku takut pada neraka," katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamanya, pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al-Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dalam dirinya sendiri, isteri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras itu membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam waktu 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa' Rasyidin. Maka ia pun digelari Khalifah Rasyidin Kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah isterinya datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi). Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi isterinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan cemburu. Sekarang, justru sang isterilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat ini cinta hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai. Cinta dan cita bertemu atau bertarung, disini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tiada ada! Tapi, "Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini," kata Umar. Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati disini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya dengan sendu, "Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?" Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!" []
*Buku Serial Cinta - Anis Matta
Senin, 08 Juli 2013
Bulan Ramadhan Lahir kembali
Diposting oleh Abdul rohmat
Nada-nada dari lagu yang ditiup angin senja, terus menggulirkan makna pada setiap kata, walau kadang tak dimengerti pada jamannya. Pemikir-pemikir cemerlang seringkali dikucilkan manusia di sekelilingnya, karena tak paham apa yang diucapkannya. Sehingga mereka seringkali dituduh aneh, nyeleneh, bahkan gila.
Sepanjang jalan kehidupan yang tak selamanya lurus, dihadapi dengan kebijaksanaan yang tulus, dan terus menerus bergema dengan kata-kata bagai dalam syurga Firdaus. Hanya segelintir orang yang memahaminya, hanya sedikit yang paham apa yang dikatakannya, karena setiap katanya tersembunyi hikmah yang tidak didapat, kecuali dengan membaca dan membacanya lagi.
Bagai rahasia di dalam rahasia, bagai boneka Matrioskan Rusia yang unik, di dalam boneka ada boneka lagi, dibuka lagi ada boneka dalam boneka tadi, dibukan lagi ada lagi boneka di dalamnya, begitu seterusnya, berlapis-lapis. Begitulah makna setiap kata yang diucapkannya, tak bisa langsung dimengerti pada masanya, pada jamannya, seakan kata-kata yang diucapkan melesat ke masa depan, jauh meninggalkan jaman.
Dan pada setiap jaman ada puasa, sesuai dengan firmanNya dalam surat Al Baqoroh: 183” Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibakan atas-atas orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” Perhatikan ayat tersebut, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang sebelum kamu, jadi puasa yang dilakukan pada bulan ramadhan akan terus datang dan datang lagi, persis dengan kelahiran manusia manusia, yang terus menerus lahir, dan lahir kembali. Manusia yang lahir kembali dalam hitungan waktu, bagai bait-bait berikut ini:
Dalam keheningan malam yang sunyi
Salju-salju tipis turun kepersada bumi
Di tengah lelapnya tidur makhlukMu
Ada nada-nada bahagia menyambut kelahiran kembali.
Wahai waktu yang terus bergerak maju
Tak ada yang dapat menghentikanmu
Tak ada yang dapat menyetop gerak langkahmu
Tak ada yang dapat membuatmu mundur walau sedetik
Semua mengiringi gerak langkahmu.
Air yang terus mengalir dalam gerak tak henti
Angin yang terus berhembus membuai dedaunan
Kupu-kupu yang berterbangan di taman taman kehidupan
Menyambutmu kelahiranmu yang berulang.
Kala lumpur-lumpur diseberang jalan sana menghadang jalanmu
Tetaplah melangkah walau ilalang tajam menggores kakimu.
Ada mutiara di laut yang dalam
Ada hikmah pada setiap musibah.
Teruslah melangkah wahai deru napas kehidupan
Kelahiranmu yang terus berulang dalam nada rindu syurgawi
Menghantar kedalam pelukan kasihNya
Yang tiada henti-hentinya menebar aroma wangi ke persada bumi
Sujudlah
Bersukurlah
Sepanjang waktu.
Semoga setiap napas yang kau hembuskan
Dan setiap langkahmu kakimu
Dalam ridho dan ampunanNya!
Begitulah bunyi bait-bait tentang kelahiran manusia, dan wahai manusia, dalam setiap saat engkau lahir kembali, saat tidur dan kau terbangun, itu kelahiranmu yang terbaru, kau yang sekarang ini, di saat ini, bukan engkau yang tadi dan baru saja berlalu. Dalam setiap saat kau adalah manusia baru, kelahiran baru dan setiap saat kau “ berulang tahun”. Bahagia terus menyambut kelahiranmu, dalam hitungan yang tak terhingga banyaknya, dan bila kau sadari itu, tersungkurlah kau dalam sujud keabadianmu!
Dan ramadhan pun datang, bagai lahir kembali, ramadhan yang lalu bukan ramadhan kini, ramadhan kini bukan ramadhan yang akan datang, ramadhan selalu lahir dan lahir kembali, sama dengan manusia yang selalu lahir dan lahir kembali, ramadhan bagai siklus sejarah, yang terus menerus berputar, ramadhan dulu, ramadhan kini dan ramadhan yang akan datang, namanya sama, tapi peristiwanya beda. Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah kau menyambut kehadiran bulan yang suci itu? Bulan yang lahir kembali sepanjang tahun, selama bumi masih beputar dan kiamat belum tiba.
Selamat datang bulan ramadhan
Selamat datang bulan suci
Selamat datang bulan yang melahirkan manusia kembali kepada fitrahnya sendiri
Selamat datang bulan yang dinanti jiwa-jiwa suci
Selamat datang bulan yang membentuk kerendahan hati manusia
Selamat datang bulan yang menyehatkan manusia.
Begitulah orang-orang beriman menyambut kelahiran bulan ramadhan dan akan terjadi sebaliknya bagi orang-orang yang tak beriman. Dan memang puasa diwajibkan bagi orang yang beriman, yang tidak beriman, ya tidak terkena kewajiban tersebut. Makanya sangat berbeda sekali berpuasa di Rusia yang Islamnya minoritas, dengan puasa di Indonesia yang Islamnya mayoritas di Dunia.
Tengoklah Sang ”HATI”, Sehatkah Hati Mu?
Diposting oleh Abdul rohmat
Dalam khazanah keimanan, bagian dari diri seseorang yang menjadi raja dari keseluruhan pribadi dan jiwanya adalah HATI. Seluruh tubuh adalah pelaksanan titahnya, siap menerima apa saja. Aktivitasnya tidak dinilai benar jika tidak diniatkan dan dimaksukdan oleh sang Hati. Di kemudian hari, sang hati inilah yang akan bertanggung jawab, datang menghadap dan ditanya tentang para prajuritnya. Sebab setiap pemimpin itu akan ditanyai atas apa yang dipimpinnya.
Allah Subhanahu waTa’ala berfirman :
“.. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban(Al Isra: 36)
Begitu pula Rasulullah bersabda tentang hati,” Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan apabila ia rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati..”
Membuat hati dalam kondisi tetap sehat, dengan mengkaji penyakit-penyakit hati dan metode mengobatinya , merupakan bentuk ibadah yang utama bagi ahli ibadah
Hati bisa berada dalam keadaan 1. Sehat 2. Sakit 3. Mati
HATI YANG SEHAT, adalah hati yang selamat (Qalbun salim). Barang siapa menghadap Allah nanti dengan kondisi hati yang tidak sehat maka akan celaka
Allah SWT berfirman :
“.. Adalah hari, dimana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat..(Asy-Syu’ara : 88-89)
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat , keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah dan dari setiap syubhat yaitu keraguan dan ketidak jelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati yang tidak pernah beribadah kepada selain Allah dan berhukum kepada Rasulullah. “ Ubudiyahnya murni kepada Allah. Iraddah, mahabbah, inabah, ikhbat, khassyah, raja dan amalnya, semuanya Lillah, semata karena Allah.
Jika ia mencintai, membenci , memberi dan menahan diri semuanya dilakukan karena Allah. Ini saja tidak dirasa cukup, sampai ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikutan yang kuat untuk menjadikan Rasul sebagai satu-satunya panutan dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang , mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan ataupun perbuatan
HATI YANG MATI, adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya, enggan menjalankan perintahNya, atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridhaiNYa. Hati ini selalu lebih tunduk kepada hawa nafsu atau kecenderungan diri terhadap kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT. Ia tidak peduli kepada keridhaan atau kemurkaan Allah SWT. Baginya yang penting adalah terpenuhinya hawa nafsu/keinginan. Ia menghamba kepada selain Allah demi kesenangannya ini.
Jika ia mencinta, membenci , memberi dan menahan diri semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu inilah telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dipenuhi dan dikerahkan untuk mencapai target-target duniawi.
HATI YANG SAKIT adalah hati yang hidup namun mengundang penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada penyakit. Padanya terdapat kecintaan, keimanan , keikhlasan dan tawakal kepada Allah yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad, kibr (Sombong) dan sifat ujub yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru kepada Allah, rasul dan hari akhir dan penyeru kepada kehidupan duniawi.
Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat dan paling akrab.
Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu, tawadlu, lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.
INDIKASI SAKIT- SEHATNYA HATI
Hati seseorang itu bisa sakit. Sakitnya bisa semakin parah dan tidak menyadarinya. Bahkan bisa jadi hati telah mati, tanpa disadari pemiliknya. Pertanda hati itu sakit atau telah mati adalah; ia tidak lagi dapat merasakan sakitnya bermaksiat dan betapa menderitanya berada dalam kebodohan tentang kebenaran serta memiliki aqidah yang sesat. Sebab hati yang hidup pasti merasa tersiksa bila melakukan perbuatan buruk . Begitu pula jika ia bodoh tentang kebenaran.
Terkadang, seseorang yang memiliki hati yang sakit dapat merasakan penyakitnya. Namun, ia tidak tahan mengecap pahitnya obat penawar . Dan ia pun lebih memilih menderita penyakit untuk selamanya.
Diantara tanda sakitnya hati adalah keengganan mengkonsumsi makanan yang bermanfaat. Justru cenderung kepada yang mendatangkan mudharat. Juga enggan terhadap obat yang berguna dan cenderung kepada penyakit yang berbahaya.
Hati yang sehat selalu mengutamakan makanan yang bermanfaat daripada racun yang mematikan. Makanan terbaik adalah keimanan. OBAT TERBAIK ADALAH AL QUR’AN.
Adapun tanda sehatnya hati adalah “ ketidak hadirannya” di dunia menuju ke negeri akhirat. Disana ia tinggal dan seakan-akan menjadi penghuninya. Kehadirannya di dunia ini ibarat orang asing yang mengambil kebutuhannya, lalu kembali ke negerinya. Kepada Abdullah bin Umar , Rasulullah berpesan
“ di dunia ini hendaknya kamu berlaku seperti orang asing atau orang yang lewat..”
Tanda sehatnya hati adalah selalu mengingatkan si Empunya, sehingga ia mau kembali ke jalan Allah Subhanau wa Ta’ala, tunduk dan bergantung kepadaNya seperti bergantungnya seseorang yang mencintai kepada yang dicintainya. Ia hanya butuh cintaNya. Ia selalu berdzikir dan berkhidmat kepadaNya.
Tanda sehatnya Hati adalah jika si empunya hati ketinggalan atau tidak sempat melaksanakan wirid (bacaan rutin berupa dzikir atau Al qur’an) atau suatu ibadah, ia akan merasa sakit dan tersiksa melebihi orang kaya yang kehilangan harta..
Masya Allah..demikianlah begitu berharganya hati. (LR)
Sumber : Tazkiyatunnafs, Konsep penyucian jiwa menurut para ulama salafus saleh
Jumat, 05 Juli 2013
Pejabat Dambaan Ummat
Diposting oleh Abdul rohmat
Islamedia -“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai
mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan
seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan
kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk
mereka.” (HR. Muslim).
Saudaraku,
Kegemilangan
zaman yang pernah dikecap umat Islam di masa khulafaur rasyidin; Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali kembali tercipta di zaman khalifah bani
Umayyah; Umar bin Abdul Azis.
Walaupun
mereka berada di rentang waktu yang berbeda. Padahal ia memerintah
cukup singkat, kurang dari tiga tahun. Dari tahun 99 H hingga 102 H.
Namun kemilau prestasinya akan terus dikenang oleh umat Islam sepanjang
masa. Wajar, jika para ahli sejarah menyebut Umar bin Abdul Azis sebagai
khalifah ar rasyid yang kelima.
Rakyat
hidup damai sejahtera. Kezaliman menyingkir dan kemiskinan sirna tak
berbekas. Tiada seorangpun dari rakyatnya yang mau menerima harta zakat
dan sedekah, karena mereka merasa mampu dan tak layak mendapat jatah
zakat dan sedekah. Baitul mal pun sesak dengan banda zakat, sedekah dan
yang lainnya.
Kesejahteraan
bukan hanya dirasakan oleh manusia, tetapi dikecap pula oleh binatang
dan hewan yang hidupnya di lereng-lereng bukit dan lembah.
Serigala
yang biasanya memangsa kambing dan domba, pada saat itu bisa membaur
dan hidup berdampingan dengan akur dan rukun bersama kawanan domba dan
kambing. Subhanallah.
Malik
bin Dinar berkisah. Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai
Khalifah, para penggembala kambing di puncak gunung berkata, “Siapakah
khalifah shalih yang sedang memerintah manusia saat ini?.”
Malik bin Dinar berkata, “Mengapa kalian bertanya demikian?.”
Para
penggembala itu menjelaskan, “Bila pemerintahan dipegang oleh seorang
khalifah yang shalih, maka serigala dan singa tidak mengganggu
kambing-kambing kami.”
Namun
kala pemimpin yang shalih tiada, keadaan pun berubah, Musa bin Ayyan
mengisahkan, ‘Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, demi Allah,
kami menggembalakan kambing bersama serigala di suatu tempat. Hingga
suatu malam serigala menyerang kambing kami. Dengan adanya peristiwa ini
kami mengira bahwa lelaki shalih yang menjadi khalifah telah wafat.
Ternyata keesokan harinya memang benar, kami mendengar kabar bahwa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah wafat.” (hilyatul auliya’, Abu Nu’aim
al Ashbahani).
Kedamaian
dan keindahan hidup di bawah naungan pemimpin yang shalih dan adil
bukan hanya dirasakan oleh manusia dan hewan melata. Bahkan
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan pun turut merasakannya.
Imam
Ahmad dalam kitab al musnad menyebutkan bahwa pada era Umar bin Abdul
Aziz, sebutir biji gandum besarnya seukuran bawang putih.
Subhanallah, lalu sebesar apa buah terong pada masa itu? Allahu akbar!.
Saudaraku,
Kesejahteraan,
keadilan, keamanan dan kedamaian itulah yang barangkali menjadi barang
langka di negeri kita saat ini. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,
baru menjadi senandung lagu yang selalu kita dengar setiap kali gema MTQ
digulirkan, baik di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi maupun
Nasional.
Praktek
korupsi merajalela di mana-mana. Terutama di lingkaran kekuasaan dan
parlemen serta tempat-tempat basah seperti pajak dan seterusnya.
Makan
malam bersama keluarga di Sumur Bandung pun terasa kurang nyaman dan
terganggu, karena banyaknya para pengamen yang memetik senar gitar
dengan suara yang terkesan dipaksakan.
Aparat
yang menggusur paksa pedagang kaki lima. Penjualan bayi yang terus
marak. Pelacuran yang meramaikan kehidupan malam. Wajah-wajah polos
anak-anak di bawah umur yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa
harus putus sekolah. Anak-anak kurang gizi yang menjamur. Tangisan
rakyat yang dibalut penderitaan dan dicekik hutang. Kriminalitas terus
membayangi warga. Dan seterusnya, yang merupakan pemandangan nyata yang
terus kita saksikan di sekitar kita.
Hewan
dan binatang pun gerah lantaran kezaliman semakin tumbuh subur di
negeri ini. Yang mana hal ini membuat masyarakat resah. Munculnya
binatang aneh yang meresahkan, seperti serangga Tomcat yang sempat
membuat panik warga yang disapanya. Yang terkena serangga tersebut akan
menderita penyakit gatalnya.
Bencana
yang seolah-olah ia menjadi cerita bersambung yang tak pernah ada kata
akhir. Bumi tak rela dijadikan tempat maksiat dan dosa yang terus
menjamur.
Kita
sangat merindukan pemimpin yang memiliki kepribadian seperti Umar bin
Abdul azis. Kita mendamba munculnya ratu adil, yang dapat mengalirkan
kesejahteraan, kedamaian, keamanan dan keadilan bagi rakyatnya. Yang
akan dicintai rakyat dan do’a-do’a tulus terlantunkan dari lisan mereka.
Hal
ini senada dengan sabda Nabi saw, “Sebaik-baik penguasa adalah yang
kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Kalian do’akan
kebaikan atas mereka dan mereka pula mendo’akan kebaikan untuk kalian.
Seburuk-buruknya penguasa adalah orang-orang yang kalian benci dan
mereka juga membenci kalian. Laknat, kalian berikan kepada mereka dan
mereka pun melaknati kalian.” HR. Muslim.
Saudaraku,
Ada
pertanyaan yang menggelayut di benak kita perihal khalifah Umar bin
Abdul Azis ini. Dengan capaian yang teramat gemilang dan raihan prestasi
yang menakjubkan selama menjadi khalifah, apakah hal itu terjadi secara
kebetulan, spontan bim salabim, alami atau ada usaha manusiawi yang
terprogram dan terarah? Atau mengalir begitu saja sesuai dengan aliran
mata air takdir yang Maha Kuasa?.
Jawabannya
tentu, selain dari bagian sekenario Allah swt, ada usaha manusiawi yang
terarah, ada sebuah proses yang terprogram dan ada cita-cita yang
tertata rapi dari sang khalifah.
Salah satunya, seperti yang disebutkan oleh Hasan Zakaria Falyafil dalam bukunya ‘tharaif wa mawaqif min at tarikh al Islami’.
Ia
menulis, setelah didaulat menjadi khalifah bani Umayyah, Umar bin Abdul
Azis mengirim sepucuk surat kepada Salim bin Abdullah bin Umar di
Madinah, yang inti suratnya adalah,
“Kirimkanlah
untukku buku-buku yang mengulas perihal Umar bin Khattab,
keputusan-keputusan yang pernah diambilnya selama menjadi khalifah dan
berisi lembaran-lembaran sirahnya. Karena sesungguhnya aku ingin
mengikuti jejaknya dan menapaki jalan yang pernah dilaluinya.”
Setelah membaca surat dari sang khalifah, Salim mengirim surat balasan,
“Engkau
sekarang hidup di zaman yang berbeda, bukan hidup di masa Umar, dan
tidak didampingi oleh para pejabat yang dulu pernah membantu Umar (dalam
mengurus rakyatnya).
Tapi
ketahuilah jika engkau berniat sungguh-sungguh mengukir kebaikan dan
memiliki tekad yang bulat untuk itu, maka Allah swt akan membantumu. Dan
Dia akan mengaruniakan kepadamu para pejabat yang akan membantumu
(dengan tulus). Karena sesungguhnya pertolongan Allah diberikan kepada
hamba-Nya sepadan dengan niat tulus yang tertancap di dalam hatinya.”
Saudaraku,
Ternyata itulah kunci kesuksesan Umar bin Abdul Azis dalam mengemban amanah sebagai khalifah.
Ada
niat tulus, untuk mengikuti jejak para pendahulunya; khulafaur
rasyidin. Selalu meminta nasihat, saran dan teguran dari para ulama
Rabbani dan zuhud yang hidup di masanya. Menyingkirkan para pejabat yang
bermental mendua, suka berbasa basi dan cari perhatian.
Mungkinkah di zaman ini lahir penguasa atau pemimpin yang berkepribadian seperti Umar bin Abdul Azis?
Walaupun
sulit terwujud, tapi tidak mustahil akan muncul di negeri kita. Bahkan
di daerah kita. Selama ia mau mengikuti jejak sang khalifah yang zuhud
ini. Selama ia memandang bahwa jabatan yang disandangnya adalah amanah
dari Allah swt, bukan alat untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Bertekad bulat mensejahterakan rakyatnya. Dan selama ia tidak menjadikan
kekuasaan sebagai kendaraan untuk berlaku sewenang-wenang dan lupa
daratan.
Semua
berawal dari niat tulus dan kebulatan tekad. Dimulai dari merubah ‘mau’
menjadi ‘kemauan’. Selama ada terselip tujuan, menggapai ridha Allah
swt dan meraih cinta dan do’a kebaikan dari rakyatnya. Selama ia yakin
dengan pertolongan-Nya.
Ataukah, kita layak menjadi pemimpin dambaan itu?
Wallahu a’lam bishawab.
Orang Mukmin itu Selalu Muhasabah Dirinya
Diposting oleh Abdul rohmat
Islamedia - Orang
Mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya karena
Allah. Hisab pada hari kiamat menjadi amat ringan bagi orang-orang yang
melakukan perhitungan terhadap dirinya di dunia
Rasulullah Saw. bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Dan, orang yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya seraya berangan-angan kepada Allah." (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia menyatakan hadits hasan)
Allah telah menetapkan perjalanan hidup yang seharusnya ditempuh manusia di dunia. Dia juga telah menetapkan tujuan yang semestinya dicapai manusia. Dan, kesuksesan seseorang diukur dengan hasil akhirnya. Allah Swt. menegaskan,"Setiap jiwa akan merasakan mati. Maka siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga sungguh ia telah beruntung. Dan, tidaklah kehidupan dunia itu melainkan kesesenangan tipuan." (Q.S. Ali Imran [3]: 185)
Tentu saja hal itu terjadi di hari akhirat. Sehingga, seseorang tidak dapat menunggu yang akan didapatkan di akhirat untuk kemudian melakukan perbaikan (di dunia) karena itu merupakan hasil akhir. Dan, kesempatan untuk mengubah dan kembali sudah tidak ada lagi. Karena, hasil apa pun yang diperoleh pada hari akhirat adalah balasan atas yang dilakukan selama hidup di dunia. Masa beramal sudah usai dan hari akhirat adalah masa menerima balasan. Allah berfirman:
"Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (Q.S. Al-Zalzalah [99]: 7-8)
Allah Swt. berfirman pula, "Dan carilah (kehidupan) negri akhirat pada apa yang Allah berikan kepadamu dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah melakukan kerusakan di bumi sesungguhnya Allah tidak suka kepada para perusak." (Q.S. Al-Qashash [28]: 77)
Dengan ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menjadikan kehidupan dunia sebagai alat untuk mencapai kehidupan akhirat yang bahagia. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita yang menginginkan kehidupan bahagia hakiki di hari setelah kematain kelak selain melaksanakan yang disabdakan Rasulullah Saw. itu. Dan, itulah orang yang cerdas. "Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi setelah kematian. Dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya seraya berangan-angan kepada Allah."
Bisa dimengerti jika Rasulullah Saw. menyebut orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan berjuang untuk membangun kehidupan setelah kematian sebagai orang yang cerdas. Karena, orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu adalah orang yang akalnya merdeka. Dia mampu mengambil hal terbaik dari segala yang dia jalanai dalam kehidupan. Akalnya difungsikan secara baik dalam menilai baik dan buruk. Fikirannya digunakan untuk mentafakuri ayat-ayat Allah baik yang bersifat kauniyyah maupun qauliyyah, sebagaimana digambarkan oleh-Nya:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka'." (Q.S. Ali Imran [3]: 190-191)
Dan, dapat difahami pula bila Rasulullah Saw. menyebut orang yang berbuat untuk menghadapi kehidupan setelah kemataian sebagai orang yang cerdas. Karena, orang ini berjalan dan bekerja dalam hidupnya dengan berpegang pada orientasi ke depan yang jauh. Tidak hanya berfikir dan berorientasi pada masa yang pendek. Dia mengukur dirinya dan segala yang akan dilakukannya dengan takaran target yang ingin dicapai. Ia selalu bertanya dalam dirinya saat akan melakukan suatau pekerjaan atau melampiaskan kesenangan, "Adakah hal ini mendekatkan saya ke surga atau menjauhkan saya darinya?"
Sedangkan, orang lemah tak berdaya bertekuk lutut dalam penguasaan hawa nafsu. Dan, dia hanya berangan-angan bahwa Allah akan meberinya sesuatu yang indah dan menyenangkan, tanpa beramal dan berjuang.
Di sinilah arti penting muhasabah. Muhahasabah adalah evaluasi terhadap diri sendiri dan menghitung-hitung yang sudah dan yang belum dilakukan. Muhasabah adalah upaya koreksi atau pelurusan terhadap diri kita agar senantiasa berada di jalan yang diridoi oleh Allah Swt.
Seorang yang beriman bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Bukan pula yang tidak pernah mengalami penyimpangan dalam hidupnya. Melainkan, orang yang apabila melakukan kesalahan dan mengalami penyimpangan bersegera melakukan perbaikan dan meluruskan arah. Allah Swt. berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui." (Q.S. Ali Imran [3]: 135)
Ibarat pilot, dalam satu rute penerbangan ia sangat mungkin melakukan kesalahan. Itu tidak masalah selama dia memiliki tiga hal; rute dan tujuan perjalanan, kompas pemandu, dan selalu kembali dari waktu ke waktu.
Umar bin Khattab mengatakan, "Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum dihisab (oleh Allah di hari akhirat), dan timbanglah diri kalian sebelum ditimbang (oleh Allah pada hari akhirat). Karena kalian akan lebih baik melakukan hisab hari ini dari pada dihisab kelak. Berhiaslah untuk hari perhitungan terbesar di mana kalian ditampilkan dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari diri kalian."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb, dia menyatakan bahwa di dalam hikmah Nabi Dawud a.s. tertulis, "Hak bagi orang berakal ialah tidak lalai terhadap empat waktu/momentum. Satu waktu ia bermunajat kepada Tuhannya. Satu waktu ia memuhasabah jiwanya. Satu waktu ia bergaul dengan teman-temannya yang menjelaskan aib-aibnya dan meluruskan jiwanya. Dan satu waktu ia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikikirkan yang halal dan yang menjadikan jiwanya terlihat indah." (Kumpulan Tulisan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Iqbal kadir, Penerbit Buku Islam Rahmatan, Jakarta).
Al-Hasan berkata, "Orang Mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya karena Allah. Hisab pada hari kiamat menjadi amat ringan bagi orang-orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya di dunia. Dan hisab tersebut menjadi amat sulit bagi orang-orang yang menjalani hidup ini tanpa evaluasi di dalamnya." Allahu a'lam.
Rasulullah Saw. bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Dan, orang yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya seraya berangan-angan kepada Allah." (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia menyatakan hadits hasan)
Allah telah menetapkan perjalanan hidup yang seharusnya ditempuh manusia di dunia. Dia juga telah menetapkan tujuan yang semestinya dicapai manusia. Dan, kesuksesan seseorang diukur dengan hasil akhirnya. Allah Swt. menegaskan,"Setiap jiwa akan merasakan mati. Maka siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga sungguh ia telah beruntung. Dan, tidaklah kehidupan dunia itu melainkan kesesenangan tipuan." (Q.S. Ali Imran [3]: 185)
Tentu saja hal itu terjadi di hari akhirat. Sehingga, seseorang tidak dapat menunggu yang akan didapatkan di akhirat untuk kemudian melakukan perbaikan (di dunia) karena itu merupakan hasil akhir. Dan, kesempatan untuk mengubah dan kembali sudah tidak ada lagi. Karena, hasil apa pun yang diperoleh pada hari akhirat adalah balasan atas yang dilakukan selama hidup di dunia. Masa beramal sudah usai dan hari akhirat adalah masa menerima balasan. Allah berfirman:
"Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (Q.S. Al-Zalzalah [99]: 7-8)
Allah Swt. berfirman pula, "Dan carilah (kehidupan) negri akhirat pada apa yang Allah berikan kepadamu dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah melakukan kerusakan di bumi sesungguhnya Allah tidak suka kepada para perusak." (Q.S. Al-Qashash [28]: 77)
Dengan ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menjadikan kehidupan dunia sebagai alat untuk mencapai kehidupan akhirat yang bahagia. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita yang menginginkan kehidupan bahagia hakiki di hari setelah kematain kelak selain melaksanakan yang disabdakan Rasulullah Saw. itu. Dan, itulah orang yang cerdas. "Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi setelah kematian. Dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya seraya berangan-angan kepada Allah."
Bisa dimengerti jika Rasulullah Saw. menyebut orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan berjuang untuk membangun kehidupan setelah kematian sebagai orang yang cerdas. Karena, orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu adalah orang yang akalnya merdeka. Dia mampu mengambil hal terbaik dari segala yang dia jalanai dalam kehidupan. Akalnya difungsikan secara baik dalam menilai baik dan buruk. Fikirannya digunakan untuk mentafakuri ayat-ayat Allah baik yang bersifat kauniyyah maupun qauliyyah, sebagaimana digambarkan oleh-Nya:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka'." (Q.S. Ali Imran [3]: 190-191)
Dan, dapat difahami pula bila Rasulullah Saw. menyebut orang yang berbuat untuk menghadapi kehidupan setelah kemataian sebagai orang yang cerdas. Karena, orang ini berjalan dan bekerja dalam hidupnya dengan berpegang pada orientasi ke depan yang jauh. Tidak hanya berfikir dan berorientasi pada masa yang pendek. Dia mengukur dirinya dan segala yang akan dilakukannya dengan takaran target yang ingin dicapai. Ia selalu bertanya dalam dirinya saat akan melakukan suatau pekerjaan atau melampiaskan kesenangan, "Adakah hal ini mendekatkan saya ke surga atau menjauhkan saya darinya?"
Sedangkan, orang lemah tak berdaya bertekuk lutut dalam penguasaan hawa nafsu. Dan, dia hanya berangan-angan bahwa Allah akan meberinya sesuatu yang indah dan menyenangkan, tanpa beramal dan berjuang.
Di sinilah arti penting muhasabah. Muhahasabah adalah evaluasi terhadap diri sendiri dan menghitung-hitung yang sudah dan yang belum dilakukan. Muhasabah adalah upaya koreksi atau pelurusan terhadap diri kita agar senantiasa berada di jalan yang diridoi oleh Allah Swt.
Seorang yang beriman bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Bukan pula yang tidak pernah mengalami penyimpangan dalam hidupnya. Melainkan, orang yang apabila melakukan kesalahan dan mengalami penyimpangan bersegera melakukan perbaikan dan meluruskan arah. Allah Swt. berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui." (Q.S. Ali Imran [3]: 135)
Ibarat pilot, dalam satu rute penerbangan ia sangat mungkin melakukan kesalahan. Itu tidak masalah selama dia memiliki tiga hal; rute dan tujuan perjalanan, kompas pemandu, dan selalu kembali dari waktu ke waktu.
Umar bin Khattab mengatakan, "Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum dihisab (oleh Allah di hari akhirat), dan timbanglah diri kalian sebelum ditimbang (oleh Allah pada hari akhirat). Karena kalian akan lebih baik melakukan hisab hari ini dari pada dihisab kelak. Berhiaslah untuk hari perhitungan terbesar di mana kalian ditampilkan dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari diri kalian."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb, dia menyatakan bahwa di dalam hikmah Nabi Dawud a.s. tertulis, "Hak bagi orang berakal ialah tidak lalai terhadap empat waktu/momentum. Satu waktu ia bermunajat kepada Tuhannya. Satu waktu ia memuhasabah jiwanya. Satu waktu ia bergaul dengan teman-temannya yang menjelaskan aib-aibnya dan meluruskan jiwanya. Dan satu waktu ia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikikirkan yang halal dan yang menjadikan jiwanya terlihat indah." (Kumpulan Tulisan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Iqbal kadir, Penerbit Buku Islam Rahmatan, Jakarta).
Al-Hasan berkata, "Orang Mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya karena Allah. Hisab pada hari kiamat menjadi amat ringan bagi orang-orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya di dunia. Dan hisab tersebut menjadi amat sulit bagi orang-orang yang menjalani hidup ini tanpa evaluasi di dalamnya." Allahu a'lam.
Revolusi Masih Terus Bergerak
Diposting oleh Abdul rohmatRevolusi ini akan terus berjalan
Sampai Islam tegak atau nyawa kami yang lebih dulu sampai ke surga
Mereka kira dengan membunuh Hasan Al-Banna,
revolusi akan mati tenggelam di makan bumi?
Nyatanya dukungan itu makin membumi di Mesir
Mereka kira dengan menggantung Sayyid Qutb, revolusi akan terhempas dari Mesir?
Nyatanya kaum muda. tua, buruh, petani dan berbagai elemen bangsa Mesir datang memberi dukungan
Jutaan kaum revolusioner IM di tangkap dan mendekam di penjara, mereka kira akan melemahkan perjuangan akar rumput di Mesir
Nyatanya gelombang dukungan itu makin kuat dan membesar
Rakyat bersatu dalam kekuatan Allah, tak bisa di kalahkan
…
Kawan!
Masih ingatkah tentang kisah perang Ahzab?
Kawan!
Masih ingatkah kisah tentang perang Uhud?
Lihat apa yang dikatakan orang munafik ketika kekalahan perang Uhud:
“untuk apa ikut perang sama Muhammad, kalahkan?”
Kami di sini sudah terbiasa di tikam oleh musuh, bahkan oleh saudara kami sendiri (baca: HT & Salafi)
Terhadap musuh, kami tahu bahwa itu adalah tabiat mereka
kepada saudara-saudara kami di HT & Salafi kami masih berdoa dan berharap kita bisa bersama menegakkan Islam di seluruh penjuru bumi…Allahu Akbar!
Mana kaum sosialis dan liberalis yg teriak2 anti junta militer?
Dunia selalu mengutuk aksi kudeta militer
tapi mereka bungkam untuk Mesir
Ke mana para budak nafsu itu?
Sejarah terus berulang
Kalian tikam kami dengan harap akan mati
Kalian tusuk kami dengan harap mati terkapar kehabisan darah
Kalian injak-injak kami dengan harap agar menjadi hina
Kalian usir kami dari rumah bahkan dari negeri kelahiran kami, dengan harap putus mata rantai gerakkan ini
Kalian inginkan kami mati dan hancur sehancur nya
Kalian kudeta pemimpin kita yang terpilih secara sah
Dengan harap akan semakin berkeping-keping perjuangan kami
Ku katakan pada mu, para budak nafsu (baca: sosialis & liberalis) Hari ini dan seterusnya..
Darah juang kami tak akan berhenti mengalir di nadi dan jantung umat
Jika seluruh dunia ingin menghentikan gerak kami, ku katakan pada mu, sia-sia sajalah apa pun usaha Anda untuk melemahkan kami
karena Allah beserta kami
Dan janji Allah pasti!
Kemenangan di dunia dan akhirat hanya milik orang-orang mukmin
Allahu Akbar!
(sbb/dakwatuna)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/07/05/36240/revolusi-masih-terus-bergerak/#ixzz2YDLk2Tgf
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
orang baik itu istimewa
Diposting oleh Abdul rohmatKenapa sih harus kita yang mengalah?
Kenapa sih harus kita yang bersabar?
Kenapa sih kok harus kita yang bermanis muka kepada orang lain?
Kenapa sih harus kita yang lebih giat bekerja sementara orang lain bermalas-malasan?
Kenapa sih kok harus kita yang harus selalu berbuat baik, berbuat baik, dan berbuat baik lagi?
Ya, memang kita yang harus mengalah, bersabar, bermanis muka, giat bekerja dan berbuat aneka kebaikan. Karena kita ingin menjadi orang baik yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Karena kita tak ingin hanya baik di angan-angan saja, tapi baik dalam kenyataannya baik dihadapan manusia maupun di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka orang yang baik ya harus beramal (berbuat) baik. Kalau beramal buruk berarti jadilah kita orang yang buruk atau jahat. Tentu kita inginnya jadi orang baik dan tak kepingin jadi orang jahat (Na'udzubillahi min dzalik).
Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, yang bagaimanakah orang yang baik itu?" Nabi Saw menjawab, "Yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya." Dia bertanya lagi, "Dan yang bagaimana orang yang paling buruk (jahat)?" Nabi Saw menjawab, "Adalah orang yang panjang usianya dan jelek amal perbuatannya." (HR. Ath-Thabrani dan Abu Na'im)
Saudaraku, kebaikan memang butuh perjuangan serta sering bertentangan dengan hawa nafsu dan keinginan kita. Berbuat baik memang harus mengalahkan sifat ananiyyah (ego) kita. Karena perbuatan baik itu juga balasannya sangat baik dan besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Meski demikian Allah tidak pernah memaksa kita kok untuk jadi orang baik. Bahkan soal keimanan sekalipun Allah memberi kebebasan buat kita memilih. Yang mau kafir-kafir lah! Yang mau beriman berimanlah dengan sebenar-benarnya. Yang mau jadi penjahat jadilah penjahat dan tunggulah pembalasan (azab) Nya. Dan yang ingin berbuat ikhsan (baik) berbuat ikhsan lah dengan jaminan bahwa perbuatan itu akan membuat kita meraih bahagia yang sejati lagi abadi.
Menjadi orang baik di mata Allah memang tidak mudah, kita harus mulai dengan mengokohkan keimanan, mengendalikan hawa nafsu dan meneguhkan tekad untuk istiqomah di dalamnya.
Meneguhkan keimanan agar kita tak pernah ragu bahwa apa yang kita lakukan akan membawa keuntungan besar yang tidak ada taranya dibanding kesusahan kita dalam melaksanakannya. Maka dengan keimanan inilah kita akan dapat mengendalikan hawa nafsu dan sekaligus bisa kuat untuk istiqomah di atas kebaikan tersebut.
Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman. (HR. Ath-Thabrani)
Janganlah kamu menjadi orang yang "ikut-ikutan" dengan mengatakan "Kalau orang lain berbuat kebaikan, kami pun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim". Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, "Kalau orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya". (HR. Tirmidzi)
Saudaraku tak akan sama emas dengan tembaga, jelas beda antara padi dengan ilalang. Meskiun kadang di mata manusia yang 'rabun' terlihat sama, namun sejatinya tetap tak akan luput dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bahkan kala kita merahasiakan kebaikan yang kita lakukan, kita akan mendapat nilai lebih di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada yang rugi dari perbuatan baik meski diketahui maupun tidak oleh manusia lain.
Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang)." Rasulullah Saw berkata, "Baginya dua pahala yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan." (HR. Tirmidzi)
Jadi, jangan lelah berbuat baik meski tidak ada orang yang melihat dan memujinya. Jangan lemah semangat meski kebaikan kita tak diakui bahkan mungkin dikhianati oleh manusia. Kita berbuat baik adalah karena kita ingin menjadi manusia istimewa di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kita berbuat baik bukan untuk dipuji dan disanjung, tapi untuk meraih ridho dan rahmat-Nya. Agar Dia ridho dengan hidup dan mati kita, sehingga eridhoan itu mendatangkan rahmat yang termat sangat kita butuhkan untuk masuk dalam surga-Nya Allah Ta'ala. Adakah yang lebih penting dari keridho'an-Nya?
Sang teladan agung kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda: Seorang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Allah Ta'ala. Karena itu bertindaklah yang lurus (baik dan benar). (HR. Muslim)
Oleh Abdillah Syafei
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/06/03/mnswlk-orang-baik-itu-istimewa
sugih tanpo bondo
Diposting oleh Abdul rohmatAda pepatah Jawa berbunyi sugih tanpa bondo. Saya kurang memahami maksud sebenarnya dari pepatah ini. Sedikit yang saya pahami, tetapi mengalaminya. Saya sering mengatakan, jangan mengandalkan uang. Kasihan sekali orang susah, orang miskin kalau apa-apa harus disinggung masalah uang. Nanti mereka semakin susah.
Penyedia terbaik, ya Allah. Pemberi rizki terbaik, ya Allah. Rumah, apa harus beli? Apa harus menyewa? Apa harus menyicil? Banyak sekali orang yang tidak mengeluarkan uang sama sekali, tetapi mempunyai rumah. Seorang kawan membeli satu buah vila. Kesepakatan harga vila tersebut sekitar Rp 700 juta. Dari awal negosiasi harga kawan saya tersebut dengan penunggu vila.
Ketika penunggu vila itu ditanya sama calon pembeli ini, mana yang mempunyai vila dan ia berkeinginan berbicara serta bernegosiasi harga dengan si empunya vila, si penunggu vila selalu menjawab, “Sama saya saja.” Dia menambahkan, cukup berhubungan dengan dirinya. Karena, semua persoalan telah diserahkan kepada dirinya.
Akhirnya, negosiasi berlangsung antara calon pembeli dengan penunggu vila, bukan pemiliknya. Pada mulanya, kawan yang merupakan calon pembeli itu merasa aneh. Jangan-jangan ini tidak benar. Tapi kenyataannya, surat rumah yang asli dipegang oleh penunggu vila. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan harga, yaitu sekitar Rp 700 juta.
Kemudian, datanglah pemilik vila untuk melakukan proses tanda tangan jual beli. Itu pun yang datang adalah anak si pemilik karena pemilik vila ternyata sudah meninggal dunia. Si calon pembeli yang dihinggapi rasa penasaran bertanya kepada anak si pemilik vila berapa sebenarnya harga yang disampaikan pemilik vila.
Anak tersebut menjawab, berapa pun harga yang ditetapkan itu terserah beliau. Beliau yang ia maksud adalah penunggu vila. Lalu, bingunglah calon pembeli ini. Ia bertanya kepada diri sendiri, kok bisa almarhum begitu percaya kepada penunggu vilanya. Anak itu tersenyum, lalu menjelaskan, “Sudah ada wasiat dari almarhum bahwa vila ini diserahkan kepada si penunggu. Ini buat dia.”
Rupanya, almarhum pembeli rumah pertama, kemudian disulap menjadi vila. Almarhum membeli vila tersebut sekitar 25 tahun yang lalu. Menurut penunggu vila, 25 tahun lalu pemilik masih muda. Ia mengatakan pemilik cuma datang sekali. Setelah itu, ia hanya mengutus orang untuk merenovasi total bangunan yang telah dibelinya.
Setelah renovasi selesai, vila itu diserahkan kepada si penunggu. Ia mendapatkan amanat untuk menjaga dan mengurus vila tersebut. Ia diizinkan untuk tinggal bersama istri dan anaknya, waktu itu masih satu, di vila. Sejak saat sampai wafatnya, pemilik vila tak pernah datang lagi. Hanya anak almarhum yang akhirnya datang. Tujuannya untuk menyerahkan vila kepada si penunggu. Subhanallah.
Saya kebetulan mendampingi kawan saya itu dalam proses negosiasi awal. Kami bertemu dengan bapak penunggu vila yang berada di sekitar Salabintana. Mungkin bapak penunggu ini mempunyai amalan yang kita semua tidak mengetahuinya. Ia menempati vila seperti rumah sendiri karena memang ia diminta menjaganya, tak boleh keluar dari sana. Bahkan, bangunan itu direnovasi total. Jumlah kamar ditambah, dibangun aula, mushala, taman, dan fasilitas lainnya.
Setelah itu, pemilik memberikannya ke bapak penunggu vila. Termasuk, surat-surat rumahnya. Hingga kemudian vila tersebut dijual, uangnya tetap menjadi haknya. Dari cerita ini, bagi siapa yang percaya setiap saat harus butuh uang, ia sungguh merugi. Bagi yang percaya bahwa Allah Mahakuasa, sungguh beruntung dia ini. Wallaahu a’lam.
Apa amalan si bapak penunggu ini kala mudanya dulu? Atau, amalan orang tuanya. Dengar-dengar, dulu waktu ia mau membenahi rumahnya sendiri yang akhirnya berubah menjadi vila, uangnya disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Sampai akhirnya, rumahnya dijual, namun tetap saja akhirnya dimilikinya. Masya Allah.
Oleh Ustaz Yusuf Mansur
Mulia dalam kejujuran
Diposting oleh Abdul rohmat
“Aku bukan Malaikat,” kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang
engkau mahkluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa? Kita manusia
biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan
syaitan, mengapa mesti galau?
Manusia, siapa pun dia bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena
dalam dirinya ada ruang untuk keliru.
Adam sang khalifah fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan
dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup di dunia
sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudian diberi tugas mulia
sebagai nabi penyebar risalah pertama di muka bumi.
Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih
jujur akan kekhilafan, lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang
menuju ampunan Tuhan malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap
bersih dan tak merasa berada di persimpangan jalan buntu.
Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap
tawadhu' (rendah hati). Ketika salah dan berbelok arah dari idealisme awal,
masih pula merasa lurus.
Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan
anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran
nyinyir khalayak publik.
Menjauhi kicuh
Muslim yang autentik berani jujur meski ketika salah. Ibda
bi-nafsika, orang jujur akan selalu berkonsultasi kepada hatinya. Pihak lain
akan mudah dikelabui dengan 1.001 cara. Tetapi manakala diri salah maka nurani
tak pernah dusta.
Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupakan mutiara paling berharga yang membuat
siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang-orang yang berhati
jujur, berkata dan berbuat jujur.
Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia di
hati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang
terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjujung tinggi nilai
kejujuran.
Kejujuran itu universal. Di belahan dunia manapun sejauh hati masih bicara,
pasti mencintai kejujuran. Pesepak bola ternama dari negeri Samba, Neymar, juga
mencintai kejujuran.
“Saya orang Brasil dan saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih
aman, lebih sehat, dan lebih jujur,” tulis Neymar di akun Facebook-nya ketika
mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan
Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko.
Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah
Imam Al-Bukhari tatkala melacak kebenaran sebuah hadis sungguh penting
dijadikan mutiara kehidupan.
Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis
dari seseorang. Ia melihat orang yang dicari itu sedang mengejar kudanya yang
terlepas. Untuk menangkap kudanya, orang itu menunjukkan bungkusan seolah di
dalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali.
Al-Bukhari mendekat dan bertanya kepada si pemilik kuda. “Apakah engkau
sertakan gandum dalam bungkusan itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, aku hanya
mengelabui kudaku agar mudah kutangkap.”
Imam Bukhari dengan tegas berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis
dari orang yang bohong terhadap hewan.” Dusta dan bersiasat kepada hewan saja
tercela, apalagi terhadap sesama manusia.
Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang
hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap, dan
tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan
dusta itu hina.
Lawan jujur ialah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebut
nifaq. Yakni, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji
tidak ditepati, dan bila diberi amanat berhianat.
Barang halal dan baik dicampuradukkan dengan yang haram dan subhat. Lain di
kata, lain pula tindakan. Jargon dan tindakan lahir tampak indah demi rakyat,
tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis
seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang paling
dibenci Tuhan. (QS ash-Shaff [61]: 4).
Kehormatan diri
Perilaku kicuh sering membuat pelaku bebal diri. Bertipu muslihat
dianggap lumrah dan bukan dosa. Boleh jadi perbuatan muslihat bagi sementara
orang dipandang sebagai cara hidup demi meraih tujuan.
Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran
moral dinisbikan demi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan
jernih (qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agama pun tak sungkan
dijadikan alat mengicuh dalam aroma sakral.
Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap
dari luar, tetapi kering di dalam karena tingginya hasrat menguasai dunia
melampaui takaran.
Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur
masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar ke atas, api
kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu
dengan pesona dunia. (QS Ali Imran [3]: 14).
Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan
kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis
dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu' yang menjadi para pencari pamrih
dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkiti virus
apologia.
Begitulah ketika pesona dan kejayaan duniawi mengerangkeng hidup bani Adam.
Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia
beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud
meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun
dilakukan.
Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan.
Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga hingga ke titik terendah,
yang penting menang dalam meraih tujuan.
Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata
batinnya lumpuh dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama.
Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan, bahkan bebal ibarat pepatah
anjing menggonggong kafilah berlalu.
Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari segala sesuatu
yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan.
Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, tsuma radadnahu asfala safilin, “Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS at-Tin [95]: 5).
Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan
pun berhenti sekadar menjadi aksesori keagamaan yang kelihatan bening dari
luar, tetapi jorok di dalam. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci,
Dia-lah yang paling mengetahui tentang perangai orang bertaqwa.”(QS an-Najm [53]:
32).
Oleh Haedar Nashir
“Aku bukan Malaikat,” kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang engkau mahkluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa? Kita manusia biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan syaitan, mengapa mesti galau?
Manusia, siapa pun dia bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena dalam dirinya ada ruang untuk keliru.
Adam sang khalifah fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudian diberi tugas mulia sebagai nabi penyebar risalah pertama di muka bumi.
Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih jujur akan kekhilafan, lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang menuju ampunan Tuhan malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap bersih dan tak merasa berada di persimpangan jalan buntu.
Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap tawadhu' (rendah hati). Ketika salah dan berbelok arah dari idealisme awal, masih pula merasa lurus.
Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran nyinyir khalayak publik.
Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupakan mutiara paling berharga yang membuat siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang-orang yang berhati jujur, berkata dan berbuat jujur.
Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia di hati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjujung tinggi nilai kejujuran.
Kejujuran itu universal. Di belahan dunia manapun sejauh hati masih bicara, pasti mencintai kejujuran. Pesepak bola ternama dari negeri Samba, Neymar, juga mencintai kejujuran.
“Saya orang Brasil dan saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih jujur,” tulis Neymar di akun Facebook-nya ketika mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko.
Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah Imam Al-Bukhari tatkala melacak kebenaran sebuah hadis sungguh penting dijadikan mutiara kehidupan.
Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis dari seseorang. Ia melihat orang yang dicari itu sedang mengejar kudanya yang terlepas. Untuk menangkap kudanya, orang itu menunjukkan bungkusan seolah di dalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali.
Al-Bukhari mendekat dan bertanya kepada si pemilik kuda. “Apakah engkau sertakan gandum dalam bungkusan itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, aku hanya mengelabui kudaku agar mudah kutangkap.”
Imam Bukhari dengan tegas berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis dari orang yang bohong terhadap hewan.” Dusta dan bersiasat kepada hewan saja tercela, apalagi terhadap sesama manusia.
Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap, dan tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan dusta itu hina.
Lawan jujur ialah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebut nifaq. Yakni, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji tidak ditepati, dan bila diberi amanat berhianat.
Barang halal dan baik dicampuradukkan dengan yang haram dan subhat. Lain di kata, lain pula tindakan. Jargon dan tindakan lahir tampak indah demi rakyat, tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang paling dibenci Tuhan. (QS ash-Shaff [61]: 4).
Kehormatan diri
Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran moral dinisbikan demi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan jernih (qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agama pun tak sungkan dijadikan alat mengicuh dalam aroma sakral.
Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap dari luar, tetapi kering di dalam karena tingginya hasrat menguasai dunia melampaui takaran.
Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar ke atas, api kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu dengan pesona dunia. (QS Ali Imran [3]: 14).
Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu' yang menjadi para pencari pamrih dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkiti virus apologia.
Begitulah ketika pesona dan kejayaan duniawi mengerangkeng hidup bani Adam. Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun dilakukan.
Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan. Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga hingga ke titik terendah, yang penting menang dalam meraih tujuan.
Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata batinnya lumpuh dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama. Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan, bahkan bebal ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu.
Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari segala sesuatu yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan. Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, tsuma radadnahu asfala safilin, “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS at-Tin [95]: 5).
Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan pun berhenti sekadar menjadi aksesori keagamaan yang kelihatan bening dari luar, tetapi jorok di dalam. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang perangai orang bertaqwa.”(QS an-Najm [53]: 32).
Subscribe to:
Postingan (Atom)