Senin, 22 November 2010

LAMARANMU KUTOLAK....!!!!!


Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah.

Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.

Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda. Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya. Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya.

“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.

“Iya, Pak,” jawab sang muda.

“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? ” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.

“Ya Pak, sangat mengenalnya, ” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.

“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya.

Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”

“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.

Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda.

Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”

“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.

“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus,” jawab sang muda, percaya diri.

“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?”

“Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat.”

“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?”

Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”

“Kamu lulusan mana?”

“Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”

“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.”

“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?”

Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”

“Jadi kamu sudah bekerja?”

“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.”

“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku.”

“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?”

Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”

“Rencananya maharmu apa?”

“Seperangkat alat shalat Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”

“Tapi saya siapkan juga emas seratus gram dan uang limapuluh juta Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”

Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”

“Kamu bisa apa itu, internet?”

“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.”

“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”

“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”

Bisikan, “Tapi Ayah…”

“Kamu kesini tadi naik apa?”

“Mobil Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”

“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”

“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?”

Bisikan, “Ayahh..”

“Kamu merasa ganteng ya?”

“Nggak Pak. Biasa saja kok”

“Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”

“Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”

“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”

Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”

Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.

“Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?”

Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, “Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.”

Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih.”

Mata sang muda pun ikut berkaca-kaca.

Syaikhul_Muqorrobin@JKT

http://muqorrobin.multiply.com/

Jumat, 19 November 2010

Sejarah Penyebaran Islam di Indonesia

Menurut catatan sejarah, kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Tentang fakta itu dapat dipastikan bahwa masuknya agama Islam terjadi jauh sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena kerajaan itu didirikan ketika sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Pada abad IX Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad konon mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab yang berakidah Ahlussunnah wal Jamaah, bermazhab Syafiei dan bertashawuf murtabar ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042, berdiri kerajaan Islam Samudra Pasai. Menurut Ibnu Bathutah, kerajaan ini, dengan raja pertamanya Al-Malikus Salleh, menganut fahaman Ahlussunnah wal Jamaah dan memilih mazhab Syafiei.

Meski tidak ada catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa pada akhir abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan tulisan di batu nisan Maulana Malik Ibrahim tentang tahun wafatnya, yakni tahun 1419 M, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, yang beragama Hindu. Di awal abad XV, dengan dukungan Walisongo, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dalam penyebaran agama Islam, cara berdakwah para wali yang jumlahnya sembilan orang itu, dirasa sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa, sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Setelah Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama Islam menjadi agama yang dianut majoriti penduduk nusantara.

Ada beberapa faktor pendukung yang menpercepatkan penyebaran Islam di bumi nusantara. Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambaan sesama makhluk (hurriyyah). Prinsip tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan membebaskan manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas.

Kedua, watak Ahlussunnah wal Jamaah yang moderat telah membentuk perilaku dan sikap para penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara adalah penganut Ahlussunnah wal Jamaah yang teguh. Dengan penuh kearifan, dakwah mereka lakukan secara tadrîj (evolusi) dan sejauh mungkin memperkecil beban yang bisa dirasakan masyarakat (taqlîl al-takâlif)

Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:

1. Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah dibuang dengan cara menolaknya secara argumentatif.

2. Nilai lama yang tidak sesuai dengan syariat diluruskan secara bertahap.

3. Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.


Perkembangan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara lebih holistik. Dari pesantren lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesedaran dan fahaman agama yang relatif padu dan lurus.

Pada tahap-tahap awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya pada upaya pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang memperhatikan pendalaman keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan literatur ke-Islaman, karya ulama-ulama terkemuka masih sangat terbatas.


Pada pertengahan abad XIX hubungan langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia Islam lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka. Sebelumnya karena kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sukar dilakukan. Hubungan dengan dunia Islam itu bukan saja melalui jamaah haji ke Tanah Suci, tapi juga melalui sejumlah pemuda nusantara yang belajar di negara-negara Arab. Banyaknya literatur di pusat pengajian Islam di Timur Tengah, telah memungkinkan para pelajar dari Indonesia mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan pandangan yang lebih terbuka.


Di antara para pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asyari, KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat ide Muhammad Abduh dan fahaman Wahabi sedang diperbincangkan dan diperluaskan. Ide Muhammad Abduh antara lain adalah ajakan terhadap umat Islam agar segera bangkit dari dunianya yang beku dan melepaskan diri dari kejumudkan dengan pemikiran mazhab yang mengakibatkan kebekuan itu.

Fahaman dan gerakan Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, merumuskan dan menyajikan fahaman keagamaan dalam bentuk yang sistematik. Ide dasarnya berpangkal pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal mengikuti garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Saat Abd al-Aziz ibn Saud berhasil merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), fahaman Wahabi dinyatakan sebagai paham negara yang rasmi. Hal ini menjadikan paham dan gerakan Wahabi cepat menyebar. Selain itu, penyebaran paham ini juga dibawa oleh para jemaah haji dari berbagai penjuru dunia, di samping oleh para pelajar yang memperdalam ilmu agama di Makkah.




Adab Mengendalikan Amarah Menurut Islam

Adab Mengendalikan Amarah Menurut Islam

Jangan marah!" begitu sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayat kan Imam Bukhari.


Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang bisa saja marah. Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Lalu apa makna hadis Nabi SAW itu? Ibnu Hajar dalam Fathul Bani menjelaskan makna hadis itu: "AlKhath thabi berkata, "Arti perkataan Rasu lullah SAW 'jangan marah' adalah menjauhi sebab-sebab marah dan hendaknya menjauhi sesuatu yang meng arah kepadanya." Menurut 'Al-Khaththabi, marah itu tidaklah terlarang, karena itu adalah tabiat yang tak akan hilang dalam diri manusia.

Nah, apa yang harus dilakukan seorang Muslim ketika marah? Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu'atul Aadaab alIslamiyah, mengungkapkan hendak nya seorang Muslim memperhatikan adab-abad yang berkaitan dengan marah. Berikut adab-adab yang perlu diperhatikan terkait marah.

Pertama, jangan marah, kecuali karena Allah SWT. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah karena Allah merupakan sesuatu yang disukai dan mendapatkan amal. Misalnya, marah ketika menyaksikan perbuatan haram merajalela. Seorang Muslim yang marah karena hukum Allah diabaikan merupakan contoh marah karena Allah.

"Seorang Muslim hendaknya menjauhi kemarahan karena urusan dunia yang tak mendatangkan pahala," tutur Syekh Sayyid Nada. Rasulullah SAW, kata dia, tak pernah marah karena dirinya, tapi marah karena Allah SWT. Nabi SAW pun tak pernah dendam, kecuali karena Allah SWT.

Kedua, berlemah lembut dan tak marah karena urusan dunia. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, sesungguhnya semua kemarahan itu buruk, kecuali karena Allah SWT. Ia mengingatkan, kemarahan kerap berujung dengan pertikaian dan perselisihan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam dosa besar dan bisa pula memutuskan silaturahim.

Ketiga, mengingat keagungan dan kekuasaan Allah SWT. "Ingatlah kekuasaan, perlindungan, keagungan, dan keperkasaan Sang Khalik ketika sedang marah," ungkap Syekh Sayyid Nada. Menurut dia, ketika mengingat kebesaran Allah SWT, maka kemarahan akan bisa diredam. Bahkan, mungkin tak jadi marah sama sekali. Sesungguhnya, papar Syekh Sayyid Nada, itulah adab paling bermanfaat yang dapat menolong seseorang untuk berlaku santun (sabar).

Keempat, menahan dan meredam amarah jika telah muncul. Syekh Sayyid Nada mengungkapkan, Allah SWT menyukai seseorang yang dapat menahan dan meredam amarahnya yang telah muncul. Allah SWT berfirman, " … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS Ali Imran:134).

Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bahri, ketika kemarahan tengah me muncak, hendaknya segera menahan dan meredamnya untuk tindakan keji. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap mahluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki." (HR Ahmad).

Kelima, berlindung kepada Allah ketika marah. Nabi SAW bersabda, "Jika seseorang yang marah mengucapkan; 'A'uudzu billah (aku berlindung kepada Allah SWT, niscaya akan reda kemarahannya." (HR Ibu 'Adi dalam al-Kaamil.)

Keenam, diam. Rasulullah SAW bersabda, "Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam." (HR Ahmad). Terkadang orang yang sedang marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan dan menambah kedengkian.

Ketujuh, mengubah posisi ketika marah. Mengubah posisi ketika marah merupakan petunjuk dan perintah Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad).

Kedelapan, berwudhu atau mandi. Menurut Syekh Sayyid Nada, marah adalah api setan yang dapat mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. "Maka dari itu, wudhu, mandi atau semisalnya, apalagi mengunakan air dingin dapat menghilangkan amarah serta gejolak darah," tuturnya, Kesembilan, memeberi maaf dan bersabar. Orang yang marah sudah selayaknya memberikan ampunan kepada orang yang membuatnya marah. Allah SWT memuji para hamba-Nya "... dan jika mereka marah mereka memberi maaf." (QS Asy-Syuura:37).

Sesungguhnya Nabi SAW adalah orang yang paling lembut, santun, dan pemaaf kepada orang yang bersalah. "... dan ia tak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun ia memaafkan dan memberikan ampunan... " begitu sifat Rasulullah SAW yang tertuang dalam Taurat, kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS.

Senin, 15 November 2010


Pahlawan di Sisi Allah SWT

Pada zaman Rasulullah, hiduplah seorang lelaki bernama Amir bin Jamuh. Meskipun kakinya pincang, Amir bertekad untuk ikut bertempur dalam Perang Uhud. Sejumlah sahabat mencegahnya. "Engkau sebaiknya tak ikut berperang karena kakimu pincang." Namun, Amir yang didukung istrinya tetap bertekad untuk ikut membela agama Allah SWT.


"Aku tidak percaya mereka telah melarangmu untuk ikut dalam pertempuran itu," tutur sang istri. Mendengar dukungan dari istrinya, Amir segera mengambil senjata, kemudian berdoa, "Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku."

Amir lalu menemui Rasulullah SAW. Dengan gigih, ia meyakinkan Nabi SAW. Sebenarnya, Nabi Muhammad meminta Amir agar tak ikut berperang. Namun, Amir terus mendesak dan akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.

Di medan pertempuran, Amir berteriak, "Demi Allah, aku ini sangat mencintai surga." Amir akhirnya gugur syahid di medan pertempuran. Setelah mendengar kabar kematian suaminya, sang istri segera mengendarai seekor unta untuk membawa pulang jenazahnya.

Ketika jenazah Amir diletakkan di atas unta, hewan itu tak mau berdiri. Berbagai upaya dilakukan, unta itu tetap tak mau berjalan, tapi malah asyik memandang Uhud. Ketika Rasulullah mengetahui kabar itu, beliau bersabda, "Sesungguhnya, unta itu telah diperintahkan untuk berlaku demikian. Adakah Amir mengatakan sesuatu ketika ia akan pergi meninggalkan rumahnya?"

Istrinya memberi tahu Rasulullah. Sebelum meninggalkan rumah untuk bertempur di medan perang, Amir menghadap kiblat sambil berdoa, "Ya, Allah, janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku." Itulah sebabnya, kata Rasulullah, unta itu tak mau pulang.

Kisah yang tercantum dalam kitab Himpunan Fadilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi itu menggambarkan keberanian dan kepahlawanan orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka hanya berharap menjadi pahlawan yang gugur syahid di sisi-Nya.

Dalam surah Ali Imran [3] ayat 169-170, disebutkan bahwa orang yang gugur di jalan Allah sebenarnya tak mati, tetapi hidup di sisi Sang Khalik. Menurut Quraish Shihab, secara jasmani mereka telah mati, namun hidup dalam kehidupan yang berbeda dengan dunia.

Mereka yang gugur di jalan Allah SWT benar-benar hidup di alam yang lain, berbeda dengan alam kita. Mereka tetap bergerak, bahkan mereka lebih leluasa dari manusia di bumi ini. Mereka tahu lebih banyak dari apa yang diketahui oleh yang berdenyut jantungnya.

Di alam sana, orang-orang yang gugur di jalan Allah telah melihat dan mengetahui nomena, bukan fenomena. Mereka juga mendapat rezeki dari Allah yang sesuai dengan kehidupan alam barzah. Maka itu, mereka bergembira karena berada dalam kehidupan yang sebenarnya di sisi Allah.

Mudah-mudahan, para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi pahlawan yang mendapat gelar yang paling tinggi, yaitu sebagai syuhada di sisi Allah SWT.


Meski Serupa, Alquran Tak Sama Dengan Teks Agama Lain
Salah satu bentuk Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Jika, para orientalis abad ke-19 memahami Alquran sebagai kumpulan imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, Anglika Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig kebalikannya. Mereka memosisikan Alquran dalam penelitian seobjektif mungkin. Kesimpulannya Alquran bukanlah `teks epigonik', yang merupakan hasil imitasi beberapa teks lain dari tradisi praIslam.

Alquran, ditegaskan mereka, walaupun dalam beberapa kasus memiliki paralelitas dan kemiripan dengan teks-teks lain, namun 'independensinya' tetap terjaga. Hal itu terlihat dari karakteristik dari Alquran dan dinamikanya, baik dari segi bahasa maupun isi.

Neuwirth pun membandingkan salah satu surat di Alquran yakni al-Rahman dengan di kitab Zabur. Menurut dia, walaupun kedua teks tersebut memiliki paralelitas/interseksi, namun tetap Alquran memiliki gaya sendiri dalam struktur sastra dan spirit, bahkan lebih spesifik dalam hal isi dan pesan (Neuwirth 2008:157-189).

Pemikiran yang tidak jauh berbeda juga diperlihatkan Nicolai Sinai ketika meneliti QS. An-Najm. Dirk Hartwig, ketika diwawancarai tanggal 2 Juli, tak bisa menahan kritikkannya terhadap Christoph Luxemberg yang mengatakan bahwa Alquran adalah salinan teks dari tradisi Kristen yang berbahasa Syro-Aramaik.

Dan, penyangga terakhir, mereka telah dan sedang memproduksi apa yang mereka sebut sebagai 'der historischkritische literaturwissenschaftliche Kommentar des Quran' (interpretasi historis-kritis dan sastrawi terhadap Alquran). Konstruksi atas interpretasi ini dibangun melalui empat pondasi.

Teks Alquran dan terjemahannya dalam bahasa Jerman, adalah pondasi pertama. Teks Arab didasarkan pada qiara'at Hafsh dari `Asim. Terjemahan Alquran sebagian besar berasal dari terjemahan Rudi Paret dengan beberapa penyesuaian tertentu. Pondasi kedua adalah studi tentang urutan kronologis wahyu.

Dalam posisi ini, mereka ingin merekonstruksi dinamika teks Alquran sehubungan dengan aspek linguistik/sastranya. Juga, apa yang mereka sebut "kritik sastra" dalam arti mereka memberikan penjelasan struktur sastra Alquran dalam menyampaikan pesan tertentu.

Sabtu, 13 November 2010

BERSYUKUR ITU INDAH

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

Beberapa waktu lalu, saya membaca buku berjudul 13 Wasiat Terlarang! karya Ippho Santosa, yang oleh sang penulis disebut mampu melejitkan dan memaksimalkan potensi otak kanan. Ada banyak hal menarik dan inspiratif dalam buku tersebut. Berikut saya kutipkan salah satu bagian yang menurut saya paling menarik. Bagian ini adalah tentang syukur dan berpikir positif.

Pada suatu waktu di suatu tempat, tersebutlah seorang bocah yang masih polos sedang berdoa: “Tuhan, Engkau ‘kan tahu, ujian matematiku hari ini sangat buruk. Tetapi, aku bersyukur. Aku tidak menyontek, walaupun teman-temanku melakukannya. Berangkat ke sekolah tadi pagi, aku membawa sepotong roti dan sebotol air. Kata ayah, sekarang sedang musim paceklik. Jadi hanya itu yang bisa kubawa. Di jalan aku melihat pengemis yang kelaparan. Lalu aku berikan saja kue itu padanya. Eh, tahu-tahu laparku hilang ketika melihatnya tersenyum.”

“Tuhan lihatlah, ini sepatuku yang terakhir. Mungkin aku harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau kan tahu, sepatu ini sudah rusak berat. Tapi tidak apa-apa. Aku tetap bersyukur. Paling tidak, aku masih bisa pergi ke sekolah. Terima kasih Tuhan!

Tetanggaku bilang, orang-orang sedang mengalami gagal panen. Beberapa temanku terpaksa berhenti sekolah. Tuhan tolong bantu mereka, supaya bisa sekolah lagi.”
“Oya, semalam ibuku memukuliku. Mungkin karena aku nakal. Itu memang sakit, tapi pasti rasa sakitnya segera hilang. Aku tahu Engkau akan menyembuhkan sakit itu. Yang penting, aku masih punya seorang ibu. Tuhan, tolong jangan marahi ibuku, ya.. Dia hanya lelah, juga panik memikirkan biaya sekolahku. Terakhir, Tuhan. Rasa-rasanya, aku sedang jatuh cinta. Ada seorang gadis yang cantik di kelasku. Menurut Engkau, apakah dia akan menyukaiku? Tetapi, apa pun yang terjadi, aku tahu Engkau pasti tetap menyukaiku. Terima kasih Tuhan!”

***

Syukur adalah perasaan yang jarang sekali dimiliki oleh kita. Terlebih jika dibandingkan dengan keluhan dan keinginan yang kita miliki. Terlebih lagi ketika kita mengalami kesusahan. Padahal sudah banyak nikmat yang kita dapatkan. Bahkan seandainya air laut dijadikan tinta, tak akan cukup untuk menuliskan semua nikmat yang diberikan oleh Allah. Maha benar Allah SWT dengan firmanNya yang menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak mau bersyukur.

Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya. (QS. Yunus [10]: 60).

Dalam Islam, bersyukur baik dalam keadaan lapang maupun sempit adalah sebuah keharusan. Bahkan, jika seorang mukmin tidak mau bersyukur ia akan mendapatkan azab. Sebagaimana disebutkan dalam surah Ibrahim [14] ayat 7 di atas. Sebaliknya, jika seorang mukmin mau bersyukur, maka Allah akan menambah dan melipatgandakan nikmat yang Ia berikan. Apa sebenarnya maksud Allah dengan firmanNya tersebut? Mari kita telusuri.

Kajian-kajian kontemporer dalam psikologi, neuropsikologi, motivasi, pengembangan diri, manajemen, bahkan pemasaran (marketing) menemukan bahwa ternyata rasa syukur yang tulus merupakan sumber kekuatan luar biasa untuk sukses. Sebaliknya, keluhan-keluhan hanya akan menghambat kesuksesan. Selanjutnya, sikap ini akan memupuk benih-benih kegagalan. Demikianlah barangkali (salah satu) makna praksis dari ayat tersebut.

Pribadi yang bersyukur adalah pribadi yang unggul. Demikian maklumat dari Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang suka memanjatkan puji dan syukur kepada Allah” (Riyadhus Shalihin: 27).

Jika Anda pernah membaca buku atau menonton video The Secret, Anda pasti mendapati bahwa di sana dipaparkan bahwa syukur adalah tahapan kunci untuk memperoleh kesuksesan. Sang pengarang berwasiat, “Bayangkanlah harapan-harapan Anda dengan penuh rasa syukur, seakan-akan Anda sudah menerimanya. Dengan demikian, Anda akan menerimanya segera!” Inilah output dari hukum tarik-menarik universal (law of attraction).

Rasa syukur akan mengumpulkan aura dan energi positif dalam diri Anda yang kemudian akan menarik segala hal positif yang Anda inginkan, termasuk faktor-faktor yang mendukung kesuksesan.

Itulah mengapa dalam adab berdoa secara Islam, yang pertama harus dilafalkan adalah bacaan tahmid, bukan yang lainnya. Ingat juga, bahwa surat Al-Fatihah juga diawali dengan hamdalah. Menurut Erbe Sentanu dalam Quantum Ikhlas, ketika kita memiliki harapan-harapan, sesungguhnya di level quantum harapan kita sedang didengar dan diproses. Jika kita memperkuat aura positif kita dengan rasa syukur dan tahmid secara tulus, terlebih dilakukan dalam doa yang tulus pula, maka harapan-harapan tersebut pasti akan dikabulkan. Jadi, sejatinya yang pertama dan utama adalah syukur dulu baru kemudian meminta dan dikabulkan. Akan tetapi, kebanyakan kita meminta dulu baru bersyukur. Syukur-syukur mau bersyukur, lha kebanyakan kita tidak mau bersyukur.

Dalam buku Your Infinite Power To Be Rich, Joseph R. Murphy menegaskan, andai seluruh proses menuju kekayaan material, mental, dan spiritual dipadatkan menjadi satu kata, maka kata itu adalah ‘syukur’ (gratitude). Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa salah satu rahasia dibalik kegemilangan Albert Einstein adalah ia selalu mengucapkan syukur dan terimakasih ratusan kali setiap harinya.

Satu hal lagi yang penting adalah bahwa syukur bukan hanya layak diucapkan ketika kita mendapatkan sesuatu yang enak dan menggembirakan. Bahkan ketika suatu saat kita gagal atau kita mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, kita harus tetap bersyukur. Segala sesuatu yang tidak enak pun sesungguhnya adalah anugerah yang sangat layak untuk disyukuri. Di samping karena kita tidak layak untuk mengeluh sebab nikmat yang kita miliki jauh lebih banyak, juga karena di balik hal-hal yang tidak enak itu sejatinya tersimpan hikmah dan pelajaran yang luar biasa positif.

Coba simak puisi karya Balya al-Rasyid yang mencoba merenungi hikmah di balik segala sesuatu yang tidak enak melalui rasa syukur berikut ini:

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku sengsara, menderita
Engkau telah mengajariku cara untuk bersabar

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku gagal
Engkau telah mengajariku cara untuk terus berjuang

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku kalah
Engkau telah mengajariku cara untuk bertahan

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku jatuh tersuruk, terpuruk
Engkau telah mengajariku cara untuk bangkit

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatnya menolak ku
Engkau telah mengajariku cara untuk mencintai dengan tulus

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku tersesat
(Dengan demikian) Engkau telah menunjukkanku jalan yang benar

Tuhan, terimakasih untuk semua yang tidak enak ini
Semuanya



Wallahu a’lam.

Cermin Hati

Amalan yang pasti dan hampir kita lakukan setiap hari adalah bercermin. Keterbatasan manusia yang tidak bisa melihat dirinya sendiri diatasi dengan adanya sebuah cermin. Dengannya akan terlihat rupa wajah bentuk tubuh dari diri kita. Proses comparing didepan cermin, membutuhkan waktu..ada yang cukup 5 detik ada yang sampai berjam-jam demi menyelaraskan persepsi ayu dan tampan dengan apa yang ada dalam dirinya. So, ada apakah dengan bercermin?

Sobat, doa merupakan permohonan dan rasa kesyukuran hamba kepada Allah swt. Tanpa doa, berarti dia lupa akan pencipta, dan tanpa atau lupa berdoa berarti saat itu ia lupa bersyukur bahwa yang terlihat di cermin ini adalah karunia-Nya

Manusia adalah ciptaan terbaik Allah Swt. Sempurna! Dari tekstur kulit luar sampai dengan system perancangan kehidupan didalam tubuh seorang manusia. Bagaimana bernafas, bagaimana melihat mendengar dan juga belajar untuk menentukan jalan mana yang akan dipilih. Ke Syurga kah? Atau lebih memilih gemerlap jalan ke Neraka.

Dari ‘Ali bin Abu Thalib RA, bahwasanya Nabi SAW apabila beliau melihat wajahnya di cermin, beliau berdoa, “Al-hamdu lillaah, Aloohumma kamaa hassanta kholqii fa hassin khuluqii” (Segala puji bagi Allah, Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperbagus penciptaanku, maka baguskanlah akhlaqku). [HR. Ibnus Sunni]

Hadist diatas merupakan satu dari beberapa riwayat yang menerangkan tentang doa Bercermin. Allahumma Kama Hassanta Khalqī fa Hassin Khuluqī (Segala puji bagi Allah, Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperbagus penciptaanku, maka baguskanlah akhlaqku).

Doa yang cukup singkat dan mudah dihafal untuk diamalkan dalam keseharian kita tetapi mengandung makna yang sangat filosofis dan sangat mendasar dalam membentuk kepribadian setiap muslim. Bertobatlah, jika anda selalu lupa atau bahkan tidak mampu membaca doa yang satu ini.

Hakikat bercermin adalah melihat bayangan wajah sendiri atau tubuh pada sebuah cermin, air dan lainnya. Aktifitas ini hampir dilakukan oleh kita setiap harinya, untuk memastikan diri apakah dandanan atau make up kita telah menambah kecantikan atau ketampanan kita atau belum, melihat apakah baju kita matching atau tidak, warnanya pas apa tidak …dan berbagai daftar perbandingan seterusnya yang kesimpulannya untuk melihat penampilan kita apakah telah serasi atau belum.

Bercermin akan menjadikan kita percaya diri (self-confidence) dalam pergaulan dan berinteraksi dengan manusia lain.
Hendaknya setiap muslim selalu mengawali setiap aktifitas hidupnya dengan doa termasuk bercermin ini. Ada dua makna yang bisa kita ambil hikmah dari doa ini, pertama, ungkapan syukur kehadirat Allah swt dan kedua, sebuah refleksi diri.

Ekspresi bersyukur adalah melihat wajah dan seluruh badan kita yang telah diciptakan oleh Allah dengan segala kesempurnaannya, dan sungguh telah Aku ciptakan manusia dengan sebaik – baik ciptaan

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.(Q.S. At-Tīn: 4).

Kesempurnaan itu lebih dari sekedar kulit hitam atau putih. Cantik, ganteng dan menawan hanyalah persepsi, tetapi yang sebenarnya adalah bagaimana Allah SWT menciptakannya berpasangan, sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan dan kaki. Dan juga tata letak anggota tubuh yang sangat serasi, letak mata dan telinga, hidung, tangan dan anggota tubuh lainnya. Kesemuanya ini adalah pada tingkat kesempurnaan dan keserasian rupa yang sangat bagus. Dan ini pula yang seharusnya hadir dalam hati untuk menyadarkan diri untuk senantiasa mensyukurinya. Inilah kandungan doa pada sepotong kalimat Hassanta Khalqī (Engkau telah perbagus penciptaanku).

Setelah melihat kesempurnaan rupa fisik ini, refleksikan dengan seluruh perilaku hidup keseharian kita dikantor, pasar, rumah, madrasah dan dimanapaun. Pertanyaan refleksi yang dikedepankan adalah apakah perilaku kita telah sesuai dengan penciptan rupa ini?.

Tidakkah kita telah mengotori kesempurnaan rupa ini dengan perbuatan yang hina dengan selimut akhlak sayyiah ataukah kita senantiasa menghiasinya dalam amalan karimah dengan bungkusan akhlak mahmudah. Ini makna penggalan terakhir kalimat hassin khuluī (perbaguskanlah perangai-ku).

Ya Allah, Engkau telah sempurnakan penciptaan rupaku, maka muliakanlah akhlakku, jauhkanlah wajahku dari api neraka. Puji – pujian teruntuk hanya kehadirat-Mu yang telah menciptakan kesempurnaan dan keserasian ini, yang telah memuliakan wajahku dan men-cantikkannya, oleh karenanya masukkan hamba ke dalam orang - orang muslim.

Mari jangan pernah lupa berdoa. Dengan doa berarti diri ini memastikan bahwa yang akan/sedang dilakukannya ini diniatkan untuk beribadah menghambakan diri kepada Allah SWT. Semoga Allah merahmati, memberikan kemudahan dalam segala kebaikan yang akan kita lakukan. Aamiin Ya Rabbal Alamin

BERSYUKUR ITU INDAH

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

Beberapa waktu lalu, saya membaca buku berjudul 13 Wasiat Terlarang! karya Ippho Santosa, yang oleh sang penulis disebut mampu melejitkan dan memaksimalkan potensi otak kanan. Ada banyak hal menarik dan inspiratif dalam buku tersebut. Berikut saya kutipkan salah satu bagian yang menurut saya paling menarik. Bagian ini adalah tentang syukur dan berpikir positif.

Pada suatu waktu di suatu tempat, tersebutlah seorang bocah yang masih polos sedang berdoa: “Tuhan, Engkau ‘kan tahu, ujian matematiku hari ini sangat buruk. Tetapi, aku bersyukur. Aku tidak menyontek, walaupun teman-temanku melakukannya. Berangkat ke sekolah tadi pagi, aku membawa sepotong roti dan sebotol air. Kata ayah, sekarang sedang musim paceklik. Jadi hanya itu yang bisa kubawa. Di jalan aku melihat pengemis yang kelaparan. Lalu aku berikan saja kue itu padanya. Eh, tahu-tahu laparku hilang ketika melihatnya tersenyum.”

“Tuhan lihatlah, ini sepatuku yang terakhir. Mungkin aku harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau kan tahu, sepatu ini sudah rusak berat. Tapi tidak apa-apa. Aku tetap bersyukur. Paling tidak, aku masih bisa pergi ke sekolah. Terima kasih Tuhan!

Tetanggaku bilang, orang-orang sedang mengalami gagal panen. Beberapa temanku terpaksa berhenti sekolah. Tuhan tolong bantu mereka, supaya bisa sekolah lagi.”
“Oya, semalam ibuku memukuliku. Mungkin karena aku nakal. Itu memang sakit, tapi pasti rasa sakitnya segera hilang. Aku tahu Engkau akan menyembuhkan sakit itu. Yang penting, aku masih punya seorang ibu. Tuhan, tolong jangan marahi ibuku, ya.. Dia hanya lelah, juga panik memikirkan biaya sekolahku. Terakhir, Tuhan. Rasa-rasanya, aku sedang jatuh cinta. Ada seorang gadis yang cantik di kelasku. Menurut Engkau, apakah dia akan menyukaiku? Tetapi, apa pun yang terjadi, aku tahu Engkau pasti tetap menyukaiku. Terima kasih Tuhan!”

***

Syukur adalah perasaan yang jarang sekali dimiliki oleh kita. Terlebih jika dibandingkan dengan keluhan dan keinginan yang kita miliki. Terlebih lagi ketika kita mengalami kesusahan. Padahal sudah banyak nikmat yang kita dapatkan. Bahkan seandainya air laut dijadikan tinta, tak akan cukup untuk menuliskan semua nikmat yang diberikan oleh Allah. Maha benar Allah SWT dengan firmanNya yang menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak mau bersyukur.

Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya. (QS. Yunus [10]: 60).

Dalam Islam, bersyukur baik dalam keadaan lapang maupun sempit adalah sebuah keharusan. Bahkan, jika seorang mukmin tidak mau bersyukur ia akan mendapatkan azab. Sebagaimana disebutkan dalam surah Ibrahim [14] ayat 7 di atas. Sebaliknya, jika seorang mukmin mau bersyukur, maka Allah akan menambah dan melipatgandakan nikmat yang Ia berikan. Apa sebenarnya maksud Allah dengan firmanNya tersebut? Mari kita telusuri.

Kajian-kajian kontemporer dalam psikologi, neuropsikologi, motivasi, pengembangan diri, manajemen, bahkan pemasaran (marketing) menemukan bahwa ternyata rasa syukur yang tulus merupakan sumber kekuatan luar biasa untuk sukses. Sebaliknya, keluhan-keluhan hanya akan menghambat kesuksesan. Selanjutnya, sikap ini akan memupuk benih-benih kegagalan. Demikianlah barangkali (salah satu) makna praksis dari ayat tersebut.

Pribadi yang bersyukur adalah pribadi yang unggul. Demikian maklumat dari Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang suka memanjatkan puji dan syukur kepada Allah” (Riyadhus Shalihin: 27).

Jika Anda pernah membaca buku atau menonton video The Secret, Anda pasti mendapati bahwa di sana dipaparkan bahwa syukur adalah tahapan kunci untuk memperoleh kesuksesan. Sang pengarang berwasiat, “Bayangkanlah harapan-harapan Anda dengan penuh rasa syukur, seakan-akan Anda sudah menerimanya. Dengan demikian, Anda akan menerimanya segera!” Inilah output dari hukum tarik-menarik universal (law of attraction).

Rasa syukur akan mengumpulkan aura dan energi positif dalam diri Anda yang kemudian akan menarik segala hal positif yang Anda inginkan, termasuk faktor-faktor yang mendukung kesuksesan.

Itulah mengapa dalam adab berdoa secara Islam, yang pertama harus dilafalkan adalah bacaan tahmid, bukan yang lainnya. Ingat juga, bahwa surat Al-Fatihah juga diawali dengan hamdalah. Menurut Erbe Sentanu dalam Quantum Ikhlas, ketika kita memiliki harapan-harapan, sesungguhnya di level quantum harapan kita sedang didengar dan diproses. Jika kita memperkuat aura positif kita dengan rasa syukur dan tahmid secara tulus, terlebih dilakukan dalam doa yang tulus pula, maka harapan-harapan tersebut pasti akan dikabulkan. Jadi, sejatinya yang pertama dan utama adalah syukur dulu baru kemudian meminta dan dikabulkan. Akan tetapi, kebanyakan kita meminta dulu baru bersyukur. Syukur-syukur mau bersyukur, lha kebanyakan kita tidak mau bersyukur.

Dalam buku Your Infinite Power To Be Rich, Joseph R. Murphy menegaskan, andai seluruh proses menuju kekayaan material, mental, dan spiritual dipadatkan menjadi satu kata, maka kata itu adalah ‘syukur’ (gratitude). Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa salah satu rahasia dibalik kegemilangan Albert Einstein adalah ia selalu mengucapkan syukur dan terimakasih ratusan kali setiap harinya.

Satu hal lagi yang penting adalah bahwa syukur bukan hanya layak diucapkan ketika kita mendapatkan sesuatu yang enak dan menggembirakan. Bahkan ketika suatu saat kita gagal atau kita mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, kita harus tetap bersyukur. Segala sesuatu yang tidak enak pun sesungguhnya adalah anugerah yang sangat layak untuk disyukuri. Di samping karena kita tidak layak untuk mengeluh sebab nikmat yang kita miliki jauh lebih banyak, juga karena di balik hal-hal yang tidak enak itu sejatinya tersimpan hikmah dan pelajaran yang luar biasa positif.

Coba simak puisi karya Balya al-Rasyid yang mencoba merenungi hikmah di balik segala sesuatu yang tidak enak melalui rasa syukur berikut ini:

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku sengsara, menderita
Engkau telah mengajariku cara untuk bersabar

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku gagal
Engkau telah mengajariku cara untuk terus berjuang

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku kalah
Engkau telah mengajariku cara untuk bertahan

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku jatuh tersuruk, terpuruk
Engkau telah mengajariku cara untuk bangkit

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatnya menolak ku
Engkau telah mengajariku cara untuk mencintai dengan tulus

Ya Tuhan, terima kasih telah membuatku tersesat
(Dengan demikian) Engkau telah menunjukkanku jalan yang benar

Tuhan, terimakasih untuk semua yang tidak enak ini
Semuanya



Wallahu a’lam.

Rabu, 10 November 2010

KENAPA AKU DIUJI ??

KENAPA AKU DIUJI ??

QURAN MENJAWAB : Qs. Al-Ankabut : 2-3

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi ?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

KENAPA AKU TAK DAPAT APA YG AKU INGINKAN ??

QURAN MENJAWAB : Qs. Al-Baqarah : 216

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui"

KENAPA UJIAN SEBERAT INI ??

QURAN MENJAWAB : Qs. Al-Baqarah : 286

"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

KENAPA FRUSTASI ???

QURAN MENJAWAB : Qs. Al-Imran : 139

"Jaganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang2 yg paling tinggi derajatnya, jika kamu orang2 yg beriman"

BAGAIMANA AKU HARUS MENGHADAPINYA ???

QURAN MENJAWAB : Qs. Al-Baqarah : 45

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan jalan sabar dan mengerjakan sholat; dan sesungguhnya sholat itu amatlah berat kecuali kepada orang-orang yang khusyuk"

Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah semata

APA YANG AKU DAPAT ???

QURAN MENJAWAB : Qs. At-Taubah : 111

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang2 mu'min, diri, harta mereka dengan memberikan jannah utk mereka... "

KEPADA SIAPA AKU BERHARAP ???

QURAN MENJAWAB : Qs. At-Taubah : 129

"Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain dari-Nya. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal"

AKU TAK SANGUP !!!!

QURAN MENJAWAB : Qs. Yusuf : 12

"....dan jgnlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yg kafir"

Minggu, 07 November 2010

Pulang


Dua orang pegawai tampak masih sibuk pada pekerjaannya, meski malam sudah mengisyaratkan mereka untuk istirahat. Di gedung megah yang sehari-hari menjadi kantor tempat mereka berkerja itu sudah tidak ada lagi pegawai. Kecuali, petugas keamanan malam.

Salah seorang yang bertubuh kurus pun berujar, ”Ah, hari yang melelahkan. Saatnya pulang ke rumah.”

Seorang yang agak gemuk hanya menoleh sebentar, kemudian kembali dengan kesibukannya. Ia hanya membalas ucapan temannya yang mulai berkemas dengan senyum. “Aku lembur lagi!” ucapnya singkat.

“Apa kamu tidak kangen dengan isteri dan anak-anakmu?” tanya si kurus mulai beranjak menuju pintu.

”Entahlah, aku merasa lebih nyaman berada di sini,” jawab si gemuk sambil terus sibuk dengan pekerjaannya. ”Ruangan ini sudah seperti rumahku,” tambahnya begitu meyakinkan.

Si kurus menatap temannya begitu lekat. Sebelum langkah kakinya meninggalkan sang teman, ia tergelitik untuk mengucapkan sesuatu, ”Menurutku, kamu bukan tidak ingin pulang. Tapi, kamu belum paham apa arti pulang.”

**
Angan-angan sederhana yang kerap muncul di kepala siapa pun ketika ia begitu lama berada di luar rumah adalah pulang. Seorang pejabatkah, pegawaikah, pengusahakah, pelajar dan mahasiswakah; titik akhir dari akumulasi kelelahannya berinteraksi dengan dinamika hidup selalu tertuju pada pulang.

Kata pulang menjadi perwakilan dari seribu satu rasa yang tertuju pada kerinduan-kerinduan dengan sesuatu yang sudah menjadi ikatan kuat dalam diri seseorang. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dipisahkan, karena dari situlah ia berasal dan di situ pula ia menemukan jati dirinya.

Dalam skala hidup yang lebih luas, pulang adalah kembalinya manusia pada asalnya yang tidak mungkin dielakkan. Apa dan bagaimana pun keadaannya, suka atau tidak pun rasa ingin pulangnya, jauh atau dekat pun perginya, dan ada atau tidaknya kerinduan terhadap arah pulang yang satu ini; setiap kita pasti akan ’pulang’.

Walaupun, tidak sedikit orang yang merasa lebih nyaman berada di dunia ini daripada berhasrat menuju ’pulang’. Persis seperti yang diungkapkan si kurus kepada temannya, ”Kita bukan tidak ingin ’pulang’. Tapi, kita mungkin belum memahami arti ’pulang’.”

Kamis, 04 November 2010

cinta itu buta dan tidak mau tahu

Ada ungkapan terkenal tentang cinta bahwa cinta itu buta.
Ketika seseorang mencintai kekasihnya,matanya buta untuk melihat kekurangan kekasihnya itu. Jika pun ia menyadarinya ia tidak mau tahu.

Rasulullah pun dalam hal ini bersabda:

"حبک للشیئ یعمی و یصم"
(hubbuka lisy-syai yuuma va yusim)

"Kecintaanmu pada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu." 1

Islam juga memberikan bimbingan kepada kita untuk mengetahui siapa sebenarnya kekasih kita yang sejati.
Dalam hal ini Imam Ali bin abi Thalib berkata:

"من احبک نهاک"
(man ahabbaka nahaka)
"Orang yang mencintaimu akan mencegahmu." 2

Penjelasan dari hadis tersebut adalah bahwa orang yang mencintai akan mencegah kekasihnya dari perbuatan munkar dan menjauhkannya dari segala keburukan yang akan merugikan dirinya.

Masih banyak lagi masalah cinta dalam Islam, misalnya bagaimana Islam menjelaskan tentang kecintaan kita terhadap keluarga dan orang-orang di sekitar kita.
Imam Ali as berkata:

"القرابة الی المودة احوج من المودة الی القرابة"

(alqarabatu ilal mawaddati ahwaju minal mawaddati ilal qarabah)

"Kedekatan itu lebih membutuhkan cinta daripada tuntutan cinta terhadap kedekatan."

Ini berarti kita dituntut untuk lebih mencintai kekasih, keluarga, sanak saudara, tetangga, dan orang-orang disekitar kita. Karena mereka lebih dekat dengan kita. Kita dituntut untuk lebih peduli terhadap mereka, dan cinta adalah unsur yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini. Namun di sisi lain, kita boleh jadi mencintai seseorang yang tidak dekat dengan kita. Sebagaimana jika seseorang mencintai atau mengidolakan seorang tokoh tekenal nun jauh di sana.

Namun kecintaan yang paling mulia dan tertinggi dalam Islam adalah kecintaan hamba terhadap Tuhannya.
Dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 24 disebutkan:
"Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq."

Jadi kesimpulannya, sebesar apapun kecintaan kita kepada hal-hal lain, jangan sampai melebihi cinta kita kepada Allah swt.

1- Ghurarul hikam: 6314, 7718, 2703
2- Ibid
3- Nahjul Balaghah: Alhikmah 308

Rabu, 03 November 2010

ISLAM AGAMA CINTA

cl0043Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”

Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”

Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah,

“Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).”

“Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku”

Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.

Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).

Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”

Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).

Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum transendentalis [sengaja?] tidak mengemukakan—kalau bukan justru menyembunyikan—fakta bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran Ali Imran:31

“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!—niscaya Allah akan mencintai kalian.”

Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau: (1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami (hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri).

Setelah menguraikan tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Selain bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya disertai dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity” dalam buku Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).

Lebih parah lagi—dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi—adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab) yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh.

“All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation—that is the opinion of the ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994, hlm.125).

Dengan [sengaja?] berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing—yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).

Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah seorang penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya.

Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).

Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (al-Ma’idah:48)

“Likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan”.

Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw. tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (2:217) dan niscaya tidak keluar perintah membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”).

Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

Senin, 01 November 2010

"ingin mengapai cita_cita lihatlah kedepan.lihatlah belakang untuk dijadikan sebuah pelajaran"


Seorang siswa setir mobil begitu menyimak arahan-arahan dari instrukturnya. Sesekali, ia mengangguk-angguk seperti memahami sesuatu. “Prinsipnya, kita harus hati-hati dan konsentrasi dalam berkendaraan,” ucap sang instruktur sambil menyudahi bicaranya.

Sesaat setelah itu, mereka pun praktek lapangan. Mobil latihan sudah disiapkan. Satu per satu, siswa akan diberikan kesempatan untuk mengendarai mobil di jalan umum. “Ingat, kita harus hati2 dan konsentrasi,” ujar instruktur sambil mengawasi salah seorang siswanya yang mulai melajukan mobil yang mereka tumpangi.

Siswa ini tampak tenang ketika mobil masih di areal sepi. Tapi, ia mulai gelisah saat mobil memasuki jalan umum. Mobil2 lain seperti tak peduli kalau mereka sedang belajar. Berbagai kendaraan saling mendahului dari sebelah kanan dan kiri mobil latihan. “Tiiin…!” suara klakson mobil yg mendahului kian menciutkan hati si siswa. Tapi, ucapan sang instruktur terus saja menyadarkan, “Hati-hati dan konsentrasi!”

Ada satu kebiasaan siswa yg sangat mengganggu konsentrasinya sendiri. Siswa begitu sering menatap kaca spion mobil. Kadang spion kiri, kadang tengah, kadang yg kanan. Setiap kali siswa menatap spion, kali itu juga konsentrasinya buyar. Ia seperti dihantui bayang-bayang seram.

“Murid-muridku,” ucap sang instruktur sambil mengawasi seorang siswa yang memarkir mobil di tempat yang aman. “Kalian dapat pelajaran berharga dari teman kita,” tambahnya seraya menatap satu per satu siswa yang ada dalam mobil.

Para siswa mulai menyimak. “Jangan pernah menatap kaca spion selama kalian tidak ingin berbelok atau berhenti. Karena kebiasaan itu akan mengganggu kenyamanan kalian dalam berkendaraan. Semakin sering kalian menatap spion, sebanyak itu pula kalian dihantui rasa takut,” jelas sang instruktur begitu gamblang.
**

Hidup merupakan perjalanan panjang yg melalui berbagai kesan dan pengalaman. Ada kesan pahit, manis, sedih, senang, takut, dan lain-lain. Kesan dan pengalaman yang pernah terlalui kadang menjadi bayang-bayang yg mengusik pandangan seseorang untuk melihat kedepan.

Saat itulah, tidak sedikit dari kita yg sulit menangkap pemandangan jernih di depan karena cengkraman pengalaman buruk di belakang. Enggan beranjak ke hari esok karena takut akan terulang dengan kesedihan di hari kemarin.

Mungkin benar apa yg disampaikan instruktur setir mobil. ”Jangan pernah menatap cerminan bayang2 di belakang, kalau memang tidak begitu perlu untuk dilakukan!”.....


Template by:

Free Blog Templates