Senin, 10 Januari 2011

BELAJAR DARI SEJARAH KONSTANTINOPEL:

Buah Manis Keshalihan dan Perencanaan Matang

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”

Demikianlah hadis Nabi Muhammad Sallahu ’alaihi wa Salam yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal Al-Musnad. Hadis ini sejatinya memiliki kekuatan pesan bagi kita untuk mempelajari sejarah dan melihat bahwa ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari perjalanan penaklukan konstantinopel, baik dari segi strategi kemenangannya hingga pada hal yang paling penting yakni kesiapan para prajuritnya.

Perumpamaan kota Konstantinopel sudah layaknya seorang gadis desa anak Pak Lurah yang diincar oleh banyak pujangga untuk dipinang, dimana berbondong-bondong golongan dari berbagai negara berupaya untuk mendapatkan kota pecahan Kekaisaran Romawi ini, termasuk dari golongan Arab-Muslim. Alasannya tidak lain karena lokasinya yang strategis diantara Asia dan Eropa serta merupakan rute ”jalur sutera” yang sangat menggiurkan dalam hal ekonomi maupun geopolitik pada saat itu.

Sejarah menceritakan bahwa ada banyak tokoh Islam yang berusaha untuk menaklukan kota Konstantinopel, mulai dari Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 668M namun gugur sebelum sempat berhasil dalam penaklukan hingga pada generasi selanjutnya yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang salah satu masanya dipimpin oleh Harun al-Rasyid pada 190H. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan bahwa seorang pemimpin dari Bani Utsmani-lah yang berhasil menaklukan kota Konstantinopel, yakni pada masa kepemimpinan Sultan Muhammad II yang pada kemudian hari dijuluki al-Fatih (Sang pembebas).

Sebenarnya, proses perencanaan penaklukan kota Konstantinopel sudah diawali oleh pemimpin pertama kekhilafahan Utsmani yaitu oleh Utsman. Berbagai persiapan logistik maupun penambahan pasukan telah ia dilakukan. Pun pada kepemimpinan setelahnya yaitu oleh Sulthan Orkhan, Sulthan Murad I, Sulthan Bayazid I dan Sulthan Murad II, mereka tetap meneruskan visi Utsman untuk menaklukan kota Konstantinopel dengan melakukan berbagai persiapan bahkan penyerangan. Puncak penyerangan dan keberhasilan penaklukan berhasil dilakukan oleh Sulthan Muhammad II yang merupakan anak dari Sulthan Murad II, atas kegigihannya untuk menjadi pemimpin yang digambarkan oleh hadis Nabi diatas serta dengan keshalihan pribadinya yang senantiasa takut pada Penciptanya, maka Allah menetapkan bahwa dialah yang dapat menaklukan kota Konstantinopel dan menjadi pemimpin yang dimaksud oleh Nabi Muhammad dalam hadisnya.

Sulthan Muhammad II dalam penaklukan kota Konstantinopel ini berhasil memperbanyak pasukan hingga mencapai 250.000 prajurit, jauh dari jumlah pada masa Harun al-Rasyid yang hanya berjumlah 15.000 prajurit. Selain penambahan kuantitas, Sulthan Muhammad II juga meningkatkan kualitas para prajuritnya dengan menumbuhkan semangat jihad agar mampu menjadi pasukan pembebas seperti yang dimaksud Nabi Muhammad. Dengan semangat dan motivasi seperti ini, Sulthan Muhammad II berharap bisa memimpin pasukan mujahid yang tidak hanya terampil dalam teknik perang namun juga ikhlas dalam melaksanakannya.

Sejarah menceritakan bahwa menjelang berlangsungnya penyerangan kota Konstantinopel, Sulthan Muhammad II selalu mengobarkan semangat para prajuritnya dengan orasi yang berapi-api dan menggugah semangat jihad meraka. Ia menyatakan bahwa perang yang akan mereka lakukan merupakan perang suci sebagaimana dilakukan pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat.

Perang dimulai, para prajurit al-Fatih ini pun beruapaya keras untuk dapat merobohkan benteng Byzantium dan menaklukan kota. Meskipun banyak pihak meragukan keberhasilan sang pembebas karena usianya yang masih tergolong muda, Sulthan Muhammad II tetap optimis bahwa Allah akan membantunya.

Hari demi hari terus berlalu namun pasukan muslimin belum juga mampu masuk ke dalam kota. Kepandaian sang al-Fatih terlihat disini, ia mengetahui bahwa ada semacam legenda di masyarakat Konstantinopel bahwa kota tersebut tak akan jatuh pada bulan purnama. Maka ia mempersiapkan serangan pada saat bulan sabit yang berhasil membuat moral masyarakat konstantinopel turun, dan dengan bantuan Allah maka pasukan al-Fatih pun dapat masuk ke dalam kota.

Hal lain yang menarik adalah ketoleransian Sulthan Muhammad II yang tetap melindungi seluruh warga Konstantinopel setelah ia kuasai, apapun agama mereka. Bahkan gereja pun tetap berdiri untuk menghormati dan memfasilitasi ummat kristiani untuk dapat beribadah dengan baik. Kebijakannya membolehkan siapapun boleh masuk ke dalam kota dan mencari nafkah yang halal bahkan diberikan rumah gratis.

Kisah ini begitu menginspirasi, bahwa untuk mencapai sebuah kemenangan dibutuhkan pengorbanan dan persiapan yang matang. Ditengah banyaknya kekurangan dan kelemahan kita, ingatlah bahwa itu bukan masalah besar selama masih ada keyakinan dalam hati kita akan adanya pertolongan Allah.

Dari kisah ini kita dapat lihat bahwa kebeliaan al-Fatih bukanlah hal yang menjadi penghalang karena sesungguhnya ia memiliki kematangan sifat dan perilaku. Sedari kecil ia diajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keagamaan yang membuatnya menjadi pribadi yang cerdas. Kematangannya dalam menyusun strategi perang terbukti saat dirinya berhasil membebaskan kota Konstantinopel ini. Tak seperti kebanyakan pemimpin, Sulthan Muhammad II selalu mengikuti peperangan yang berlangsung meskipun dalam keadaan sakit, bahkan tak jarang ia berada di barisan paling depan membela agamanya. Hal ini selain karena keinginannya untuk meraih gelar syahid, juga karena kematangan dan kecerdasannya dalam membuat strategi perang sehingga ia selalu terpilih untuk memimpin langsung pasukan dalam berbagai peperangan.

Lalu hal apakah yang membuat seorang pemimpin muda belia mampu menaklukan kota tua Konstantinopel yang sejak masa kekhalifahan sebelumnya tak mampu ditaklukan? Hal ini tak lain karena keshalihan pribadinya dan kecerdasan pikirannya. Ulama dalam literatur sejarah menyebutkan bahwa Sulthan Muhammad II adalah sosok yang rendah hati, teguh pendirian dan selalu mempersiapkan semua hal dengan matang. Keshalihan pribadinya dapat dilihat dari rutinitasnya yang tak pernah meninggalkan shalat rawatib dan tahajud sejak masa baligh hingga wafat. Dan keshalihannya ini ia turunkan pada prajuritnya sebelum berangkat menuju medan perang yakni dengan memerintahkan prajuritnya untuk selalu menjaga kondisi ruhiyahnya.

Sungguh sebuah hal yang memberikan hikmah bagi kita bahwa untuk menuju suatu kemenangan dibutuhkan persiapan ruhiyah yang mantap. Sama konteksnya dengan situasi dakwah kampus, bagaimana mungkin Allah akan memberikan kemenangan sementara para prajuritnya sendiri tidak pernah ”dekat” pada-Nya?? Maka seorang Aktivis Dakwah sudah selayaknya terdiri dari orang-orang yang senantiasa menjaga kualitas ruhiyahnya dan selalu dalam naungan kedekatan pada-Nya.

Hal lain yang juga sangat menginspirasi adalah adanya ketoleransian Sulthan Muhammad II dalam memimpin ummat yang plural, dimana pada saat itu tak hanya ada ummat Islam tapi juga Kristiani maupun Yahudi. Semua ia perlakukan dengan adil tanpa ada diskriminasi.

Sulthan ”pembebas” juga merupakan seorang yang pandai dalam penataan negara, konstantinopel yang olehnya diubah namanya menjadi Islambul (kota Islam) dan kini disebut Istanbul berubah dari kota hancur akibat perang menjadi kota yang sangat indah dan maju. Kepandaian dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ini patut untuk ditiru oleh aktivis dakwah. Itqhon atau profesionalitas adalah harga mati bagi jama’ah dakwah demi mewujudkan peradaban kampus.

Hal terakhir yang saya perhatikan dalam penelusuran sejarah penaklukan Konstantinopel ini adalah fakta bahwa ternyata ada proses pembinaan calon prajurit pada masa itu. Literatur menyebutkan bahwa untuk menjadi seorang prajurit profesional, dibuat tim khusus yang bertugas untuk mencari anak-anak cerdas lagi sholeh diseluruh penjuru Turki yang mau dibina dan dididik menjadi prajurit. Jika orangtua mereka mengizinkan, maka anak-anak tersebut akan dilatih dan dibina baik ruhiyah, jasadiyah, maupun fikriyah agar mampu menjadi prajurit profesional lagi shalih jika besar nanti. Maka tak heran jika Sulthan Muhammad II berhasil menaklukan kota Konstantinopel bersama prajuritnya ini.

Maka sudah jelas bahwa untuk menjadi jundi Allah dibutuhkan proses pembinaan yang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Proses pembinaan menjadi sangat penting karena disinilah awal dari pembentukan seorang kader dakwah yang militan dan shalih.

Akhir kata, semoga Allah tak akan pernah menutup hati-hati kita untuk bisa belajar dan mengambil hikmah dari sejarah. Karena hanya orang bodoh yang masuk ke dalam jurang yang sama untuk kedua kalinya, dan hanya orang fasik yang tak mau belajar dari sejarah.

Wallahu ’alam bi Shawab


0 komentar:

Posting Komentar

bangunan ini tak bisa berdiri tanpa campurtangan anda..!!

Template by:

Free Blog Templates