Sabtu, 01 Januari 2011

PKS dan Tantangan Dakwah Era Siyasi

Oleh: Muhammad Zulifan

Bandul dakwah Indonesia telah berayun jauh dari mihwar tandzimi ke siyasi. Jika sebelumnya ikhwah sibuk dengan kajian ibadah, tazkiyatun nafs, makna syahadatain, al-kiyadah wa al-jundiyah, dll. maka menjadi wajar ketika kini banyak yang tergagap menyongsong era siyasi, sebuah era penuh kontroversi. Hatta, ada ikhwah yang mempertanyakan—tepatnya menyesalkan-- mengapa kini setiap liqo' bahasannya selalau politik. Hal tersebut setidaknya menjadi bukti, betapa hari ini kita tidak sepenuhnya siap masuk ke mihwar siyasi.

Sampai kini, banyak isu-isu yang tidak bisa terjawab oleh sebagian besar kader. Diskusi yang ada adalah pemaksaan prinsip-prinsip jamaah yang telah baku dan final agar mau tunduk sesuai persepsinya masing-masing, bukan berdasar prinsip jamaah yang seharusnya.

Dan kini, bak bola salju liar, fenomena ini terus menggelinding menerjang setiap kader, terutama mereka yang masih kurang pemahanan siyasi dan yang sedikit akses ke "pusat informasi".

Filosofisasi Siyasi

Hidup adalah sinkronisasi idealisme dengan realita, antara teks dengan rasionalitas lapangan. Itulah mengapa muncul kajian berbagai disiplin fiqh, tak terkecuali fiqh siyasi yang berusaha menjabarkan teks (Al-Quran dan sunnah) ke dalam teknis kehidupan.

Dari sini awal pebicaraan kita tentang siyasi. Siyasi bukanlah kajian ilmu filsafat yang selalu mencari apa yang ideal tanpa pertimbangan rasionalitas lapangan. Kita di dakwah bukan dididik menjadi filsuf yang tidak membumi, mengawang-ngawang tanpa solusi. Semboyan kita adalah "nahnu kaum amaliyun"--kami kaum pekerja keras--. Contoh konkretnya, 20 % targetan jamaah (melalui Mukernas) yang harus segera dirasionalisasi, bagaimana langkah dan strateginya agar tercapai. Dari sini akan tampak beda yang begitu kentara antara yang mengkritik dan yang diamanahi target tersebut (dalam hal ini TPPN).

Sementara ini banyak ikhwah yang memposisikan dirinya sebagai filsuf di jamaah ini. Memandang kebijakan hizb dalam kaca mata seorang filosof. Maka yang ada adalah pandangan-pandangan ideal versi individu, tanpa mengkaji realita lapangan dan cenderung menyalahkan bila ada yang berbeda dengan persepsi dakwah yang telah dibangunnya sendiri.

Ini yang saya sebut sebagai filosofisasi siyasi.

Fenomena lain adalah menganggap bahwa siyasi itu harus seragam dan searah, tidak boleh ada konflik atau beda pendapat. Ternyata selama ini kader cenderung pada bahasan politik Arab Saudi dan Mesir—sesuai backgruond pendidikan asatid mereka-- yang selalu seragam satu warna. Di kedua Negara ini, arus politik harus seragam, bila ada yang berbeda harus dihanguskan.

Bicara rasionalitas, politik itu perlu sebuah rasionalitas lapangan agar yang diusung bukanlah hanya syair-syair lapuk macam khilafah dll. Ini untuk membedakan kita dengan gerakan "sebelah" yang lebih mementingkan bentuk dibanding subtansi. Kita bukan HTI yang selalu menempatkan khilafah di atas segalanya tanpa pertimbangan rasionalitas lapangan, tanpa memperhatikan hasil survey, dan rentetan fakta ilmiah lainnya.

Suk atidak suka, Jamaah kita sudah memutuskan untuk terjun ke dunia demokrasi. Sampai point ini, tidak perlu kita berdebat lagi. Juga jamaah ini sudah bersepakat melalui Mukernasnya bahwa target perolehan 2009 adalah 20 %. Inilah adalah ijma' jamaah ini di Indonesia yang setiap kader berkewajiban mensukseskannya.

Sementara seperti sempat disinggung Eep ceruk pasar partai Islam itu hanya didiami 37,54% dari total pemilih. Para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. Dengan kondisi pemilih lintas parati Islam yang stagnan, tidak mungkin PKS bisa meraih suara 20 persen seperti ditargetjan.

Jika kita dalam posisi menjadi orang yang diamanahkan tagetan 20% itu, dengan kondisi seperti ini, apa yang akan kita lakukan? Tentu berbagai macam strategi kampenye akan kita pikirkan.

Akseptabilitas VS Elektabilitas.

Akseptabilitas menjadi faktor penting dimana sebuah partai bisa diterima atau tidak oleh publik. Sekat-sekat yang ada selama inilah yang berusaha PKS leburkan. Hal ini diatasi dengan serangan udara untuk melebur sekat-sekat imaginer yang timbul dari persepsi sebagian masyarakat yang masih menganggap PKS radikal, eksklusif, fundamentalis, dll. Ibarat sebuah wadah, ia harus punya corong yang lebar agar menjadi pintu masuk berbagai elemen bangsa. Inilah pertarungan persepsi, image yang selama ini ditempuh dengan berbagai inisiatif:

1. Pemberian PKS Award

Pemberian PKS award ke 100 peimimpin muda serta baru-baru ini kepada 8 wanita yang yang meninspirsi bangsa adalah bentuk pencitraan partai yang terbuka. Orang bisa berkata tenyata PKS bisa melihat kelebihan pada elemen lain dengan memberi penghargaan tidak saja untuk aktivis Islam, tapi juga orang kiri semacam Budiman Sujatmiko misalnya.

2. Dekonstruksi Warna

Dekonstruksi warna adalah hal penting. Selama ini, masyarakat kadung mengangngap bahwa merah adalah abangan (PDI), kuning birokrat (Golkar) dan hijau adalah Santri (partai Islam). Ajaran Clifford Geerts ini sudah saatnya di-recycle bin- kan . Jika sekarang kita lihat background bendera PKS kuning, maka ke depan PKS berkampanye dengan warna background bendera merah, hijau bahkan biru sekalian. Inilah partai lintas warna, yang tidak menjadikan warna bendera sebagai sumber konflik, tapi kita ingin merekatkan seluruh elemen bangsa.

3. Iklan Politik

Termasuk juga Iklan Politik yang menampilkan berbagai tokoh bangsa, termasuk di dalamnya Soeharto. Banyak kontroversi memang, tapi lihatlah sirah. Disana ada Rasul yang tetap memberlakukan hubungan kerjasama kaum Anshar dengan Yahudi, pasca hijrah dari Mekkah. Padahal salah satu dari dua makhluk yang dilaknat Allah dalam Qur'an adalah Firaun dan Yahudi. Seburuk-buruk Soeharto dia bukan Yahudi, ia adalah seorang muslim dan setidaknya melafalkan kalimat la ila ha illa allah di akhir hayatnya.

Lalu, setelah image terbuka, what next?

Ibarat sebuah bejana, maka adanya iklan dan pemberian award adalah sarana untuk memperluas corong bejana tersebut agar bisa menjadi jalan masuk bagi cucuran air yang menderas nantinya. Sedangkan untuk menampung cucuran air itu di butuhkan perluasan penampang bejana.

Maka strategi kedua adalah serangan darat berupa direct selling wajib bagi kader minimal 20 orang, kaos-isasi, stikerisasi, baksos dan kegiatan simpatik lainnya.

Sementara itu, krisis ekonomi global sekarang ini nyatanya membawa banyak manfaat bagi PKS. Bisa kita lihat, bagaimana donator utama Golkar; Abu Rizal Bakrie berkurang drastis kekayaanya dari nomor satu se-Indonesai menjadi nomer 8. Sutrisno Bachir yang belakangan ini selalu menggembor-gemborkan "hidup adalah perbuatan" kini tak bisa berbuat apa-apa lagi di media. Artinya, start dana PKS tidak begitu jauh lagi seperti pemilu 2004.

Maka, kini saatnya menunjukkan kualitas SDM yang dimiliki PKS. Dengan jumlah kader yang sekarang mencapai hampir satu juta (950.000), dengan asumsi setiap kader bisa merekrut 20 orang-- disamping variabel lainnya-- target 20 persen insyaalah bisa terlaksana.

Seputar FKP

Sementara ikhwan lain sibuk dengan amalnya, masih ada kader yang sibuk jadi filosof dakwah. Itulah FKP. Beragamnya motivasi awal pendirian forum ini menunjukan bahwa mereka tidak berangkat dari idealisme yang sama, hanya berdasar semangat mengkritik belaka. Nampak sekali ketika mereka menuntut hizb kembali ke asholah, sementara dalam gerak protesnya, jauh lebih banyak asholah yang dilanggar. Salah satu asholah yang mereka langgar sendiri adalah adab mengkritik dan ketaatan. Point ini yang akan dibahas.

Adalah Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat senior yang getol mengkritik gubernur-gubernur agar meningalkan kekayaannya untuk masyarakat miskin sejak zaman khalifah Umar bin Khattab. Ia berpindah dari satu propinsi ke propinsi lain menggalang dukungan akar rumput. Sampai suatu ketika ada pengikutnya yang berkata: "marikita mari kita lawan saja khalifah dengan masa kita". Namun Abu Dzar tak setuju. Ia adalah sahabat yang tahu kaidah ketaatan pada kiyadah.

Sampai pada masa khalifah Utsman, dengan kondisi ia telah membuat gerakan yang merisaukan umat, khalifah memerintahkan ia untuk pergi mengasingkan diri ke padang pasir, sang Abu Dzar pun mentaatinya. Sampai ia meninggal dengan keadaan menyedihkan di padang pasir didampaingi istrinya. Sementara tidak ada sahabat yang tahu, hingga ada kafilah yang melewati padang pasir itu, barulah sahabat tahu bahwa Abu Dzar sudah meninggal.

Point yang bisa kita ambil adalah, sejauh apapun kita mengkritik kiyadah, tidak serta merta menjadikan kita berkurang ketaatan pada kiyadah tersebut. Saluran kritikpun sudah tersedia, tinggal datang ke orang yang bersangkutan. Yang disayangkan, salah satu agenda yang diusung FKP adalah sampai pada tahap pencopotan mas'ul dakwah. Sebuah hal yang sama sekali jauh dari ketaatan.

Seperti layaknya PKS watch, mungkin contens yang disampaikan benar secara dalil tapi secara konteks amat tidak relevan. Simaklah kisah ketika Rasul sedang sibuk mebagikan ghanimah, datang seorang badui yang menasehati Rasulullah :" ittaqu allaha ya rasul" taatlah pada Allah ya Rasul..seolah Rasul sedang bebuat tidak adil. Maka seketika itu Rasul bersabda:

"Niscaya dari tulang Sulbi oran g Baduai ini akan lahir seorang pengkhianat Islam."

Dan benarlah, dari keturunan siBadui ini lahirlah al-Hajjaj, seorang penguasa di Irak yang sangat kejam.

Seperti Inilah yang dilakaun PKS Watch, mengkriktik dengan balutan dalil, namun dalam konteks yang tidak tepat. Berusaha menggiring opini public bahwa apa yang ia sampiakan adalah kenayataan yang dihadapi para ustadz yang dikritik. Akhirnya Yang ada hanya kontra produktif, hingga memperluas rasa sakit hati.

Bicara PKS, Bicara Harapan Peradaban Dunia..

Kini, saatnya bicara yang lebih prospektif. Dikatakan bahwa PKS hanyalah setetes air di tengah lautan bangsa Indoneisa. PKS tidak mugkin bisa mengelola negeri ini sendirian. PKS ingin merangkaul semua pihak yang benar-benar ingin membangun bangsa ini.
Cita-cita PKS adalah membangun negara Indonesia yg madani, adil, sejahtera dan bermartabat yg diridhai oleh Allah SWT. PKS ternyata memiliki cita-cita yg jauh lebih besar dari sekedar menjadikan Indonesia negara yg madani tadi. PKS ingin menjadikan Indonesia sebagai soko guru peradaban dunia.
Indonesia menjadi tumpuan harapan besar umat Islam di seluruh dunia. Mereka membutuhkan sosok pemimpin dunia, dan mereka mengharapkan Indonesialah yg menjadi pemimpin dunia itu. Setidaknya itulah yg disampaikan oleh Dr. Yusuf al Qaradhawy, seorang ulama kaliber global yg menjabat sebagai Ketua Ulama Internasional dan Dewan Fatwa Ulama Eropa. Itulah sedikit gambaran harapan besar itu.

Cita-cita besar PKS untuk menjadikan Indonesia sebagai soko guru peradaban dunia bukanlah omong kosong. PKS membangun partainya menjadi partai yg punya kualifikasi dan standar global. Bahkan PKS memperluas jaringannya ke Partai Buruh Australia , Partai Komunis China , dan Turki. PKS telah bekerja sama dgn 3 elemen ini yg secara regional mewakili benua Australia , Asia dan Eropa. Sepertinya PKS ingin mengatakan, lawan kami sekarang bukan lagi Indonesia , lawan kami sekarang adalah dunia.
Itulah beberapa kiprah PKS untuk mencapai cita-cita besarnya. Dan cita-cita besar itu tidaklah akan tercapai tanpa ada pondasi yg kuat. Pondasi itu adalah negara yg kuat (strong state). Karenanyalah PKS bertekad membangun Indonesia menjadi negara yg kuat dan disegani di mata internasional. Dan PKS sangat menyadari ia tidak bisa merealisasikannya sendiri tanpa peran serta seluruh elemen bangsa ini.

Ini lebih prioritas dilakukan saat ini dalam bingkai nation-state. Prioritas di masa mendatang bisa berbeda, karena nation state sendiri kini sedang mengalami taruhan eksistensi. Masihkah nation state relevan untuk zaman sekarang? Seperti yang dipaparkan Kenichi Ohmae tentang " The End of Nation State" dan sebuah "Bonderless World."

Khatimah

Sebenarnya, yang sekarang kita butuhkan bukan politik partai, tapi politik negara. Bagaimana mengelola negara ini, itulah concern PKS saat ini. Dan PKS akan merangkul seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama mengelola negara tanpa memandang sekat-sekat primordial seperti ideologi, agama, ras, suku, dll.

Bagaimanapun, kita (bangsa Indonesia ) membutuhkan narasi baru, suatu ide baru, suatu cita-cita baru yangg melampaui wilayah republik ini, jika kita ingin menjadi kiblat peradaban dunia.

"Mudah-mudahan di tangan kita semuanya... Di tangan-tangan yg setiap hari berwudhu' dan bersuci ini... Dan di depan wajah-wajah yg setiap hari bersujud ini... Mudah-mudahan Allah mengubah Indonesia menjadi qiblat peradaban dunia..."

0 komentar:

Posting Komentar

bangunan ini tak bisa berdiri tanpa campurtangan anda..!!

Template by:

Free Blog Templates