Jumat, 22 Oktober 2010

my biografi.(1)


Namaku lengkapku A R mungkin orang pertama mendengarnya itu hanya nama pasaran.tapi kuyakin dibalik nama ternyata allah menyukai nama yg dicantumkan nama asmaul husnanya.dan tentunya orang tuaku pun mendidikku dengan rasa penuh kasih sayang sebagaiman arti dari namaku aku dilahirkan di sebuah kota di jawa timur sebuah kota dibibir pantai utara jawa.tentunya daerah itu panas ..yaa daerah itu bernama Tuban.memang kota tuban hanyalah kota kecil menurutku beberapa tahun lalu.namun kota itu sekarang menjelma menjadi kota industry.singkat saja ternyata kemajuan industry itu akhirnya menyeret sebuah desa yg dulunya amat kecil dan kampungan..yaa! iyulah desaku..arus industry telah mengubah pola pikir masyarakat sekitar.dengan adanya sebuah pabrik berskala besar sekaligus BUMN yg termasuk golongan top rated di BEI (bursa efek Indonesia) untuk saat ini.ya begitulah ternyata virus materialistic menjadi keharusan dan wajar.karena dgn adanya pabrik tersebut…

namun itu bukan sebuah ungkapan yg mengeneralisr namun sebagian itu telah aku rasakan .tepatnya ketika orang2 berbondong masuk di tempat kerja tersebut . di satu sisi akau sangat bangga desaku ikut menjadi maju bahkan angka pengangguran sangat2 kecil dan hampir2 tidak ada.ditambah lagi gaji yg menurut mereka sangatlah besar untuk ukuran kampung kami.dan memang kenyataanya itu besar menurutku juga ……………………………………………………………………………….

Loncat ke cerita yang lain.yaitu sebuah hikmah. Aku terketuk ketika melihat sebuah kisah yaitu kisah tentang bunga melati berikut ini ceritanya:

Seputih melati seikhlas mewarnai diri

Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak memiliki warna di balik warna putihnya. Ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya, apa pun kondisinya, panas, hujan, terik, atau pun badai yang datang, ia tetap putih. Ke mana pun dan di mana pun ditemukan, melati selalu putih. Putih, bersih, indah berseri di taman yang asri.
Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa. Ke kanan ia ikut, ke kiri ia pun ikut. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya, karena ke mana pun ia mengikuti arah angin, ia akan segera kembali pada tangkainya.
Pada hujan ia menangis, agar tak terlihat matanya meneteskan air di antara ribuan air yang menghujani tubuhnya. Agar siapa pun tak pernah melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes. Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya. Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya yang sejuk.
Pada tangkai ia bersandar, agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya, menserikan alam. Agar kelak, apa pun cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?
Pada dedaunan ia berkaca, semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan hijau daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih. Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih?
Pada bunga lain ia bersahabat. Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik, karena masing-masing memahami tugas dan peranannya. Tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek, atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.
Pada matahari ia memohon, tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam. Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.
Pada alam ia berbagi, menebar aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya. Indah menghias harum semua taman yang disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk disertakan. Atas nama cinta dan keridhaan Pemiliknya, ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih. Yang tetap berseri di semua suasana alam.
Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari paruhnya agar tak segera pupus. Mencari selamat dari cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang mungkin merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.
Dan pada akhirnya, pada Sang Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apa pun merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan semua waktu, peran, tugas, dan tanggungjawabnya. Jika pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya juga seperti melati.

Dan kepada melatiku, tetaplah menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan menjadi angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi matahari, menjadi daun, dan alam semesta. Tetapi takkan pernah menjadi debu atau unggas yang hanya akan merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati begitu saja.

melati engkau indah nan memukau falsafah hidupmu sungguh layak sebagai cerminan kami para manusia...............

Yah itulah sekelumit cerita..tentang tumbuhan bukan hewan apalagi manusia.dgn keterbatasan bergerak tak bernafsu tak beranak layaknya hewan dan tak berpikir dan berakal dan bertindak layaknya kita manusia..namun ia bias member i sedikit bahkan lebih pelajaran kpd kita..sungguh hidup in tak mudah namun hidup ini indah jika menjalani dgn ikhlas.

Beralih lagi ke ceritaku akau lahir dari keluarga biasa2 saja bahkan jujur kurang berada.namun pasang surut kehidupan ekonomi keluarga kami membuat orang tua kami harus lebih bekerja keras lagi.ditambah dengan 4 saudara.dan aku anak yg pertama .beban hidup yg semua orang jg merasakanya.berkeluarga dgn segala konsekuensinya sebagai penanggung jawab keluarga.pemimpin keluarga.harapan keluarga tersemat dipundak kedua orang tua saya dengan ditambah 4 saudara.tapi luar biasa didikan orang tua yg senantiasa menggembleng kami sedari kecil.menjdikan kami anak anak yg mandiri dalam menjalani tantangan hidup ini.

Dan hasilnya dapat kami rasakan saat ini….

bersambung..

0 komentar:

Posting Komentar

bangunan ini tak bisa berdiri tanpa campurtangan anda..!!

Template by:

Free Blog Templates