Sabtu, 10 September 2011

Membangun Tanggung Jawab Profesi Dalam Pelaksanaan Sertifikasi Guru


Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah menempati kedudukan yang sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru sebagi subyek pendidikan sangat menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman & Loxley pada tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara berbagai masukan (input) yang menentukan mutu pendidikan (yang ditunjukkan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Lengkapnya hasil studi itu adalah: di 16 negara sedang berkembang, guru memberi kontribusi terhadap prestasi belajar sebesar 34%, sedangkan manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri, kontribusi guru adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22% dan sarana fisik 19% (Dedi Supriadi, 1999: 178). Fasli Jalal (2007:1) mengatakan bahwa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Oleh karena itu keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.

Hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang bermutu. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.

Problematika Sertifikasi Guru

Pengertian sertifikasi mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES) disebutkan Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidates credentials and provides him or her a license to teach. Dalam UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut, yang tentunya memiliki penerapan berbeda dibeberapa negara Hasil studi Educational Testing Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34). Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar. Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.

Di Indonesia, untuk mengikuti kegiatan sertifikasi ditahun 2011 ini para guru harus mengikuti tes awal untuk menilai kompetensi pendidik yang sebenarnya. Pelaksanaan sertifikasi guru yang bertujuan menjadikan pendidik profesional mulai tahun ini mengalami perubahan signifikan. Kelayakan guru memperoleh sertifikat pendidik profesional tidak hanya melalui penilaian portofolio, tetapi tes awal menjadi tolok ukur utama. Berdasarkan pengalaman jika hanya berkas portofolionya yang dinilai dan mayoritas guru lulus, sehingga berkas-berkas tersebut bisa saja dimanipulasi. Oleh sebab itu, dari kuota sertifikasi untuk 300.000 guru tahun 2011, hanya satu persen yang dijatah lulus lewat penilaian portofolio.Bagi yang tidak lulus pada jalur portofolio tersebut otomatis harus mengikuti sertifikasi jalur PLPG di masing-masing rayon atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Bagi para guru yang lulus pada tahap awal, berkas portofolio yang merupakan track record para guru tersebut akan dinilai. Sebagaimana dilansir Suara Merdeka.com 28 Juli 2011 Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat menyebutkan sebanyak 99% peserta atau 1.309 guru gagal atau tidak lulus dalam tes awal sertifikasi portofolio yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dari 1.323 guru yang mengikuti tes awal melalui sistem online, hanya 14 guru yang lulus dan bisa dinilai berkas portofolionya. Koordinator Data Informasi Sertifikasi Guru Panitia Pusat Prof Wahyu Hardiyanto mengungkapkan, ketidaklulusan itu karena para pendidik tersebut tidak bisa memenuhi ketentuan nilai yang disyaratkan. ”Sesuai dengan ketentuan, para peserta harus bisa menyelesaikan 75% soal tes awal dalam bentuk pilihan ganda dengan waktu 100 menit untuk materi eksakta dan non-eksakta serta pedagogik. Kalau itu tidak terpenuhi, dianggap gagal untuk mengikuti penilaian berikutnya

Lebih jauh, dalam kurun waktu 2007 hingga sekarang, setidaknya dalam proses sertifikasi ditemui beberapa permasalahan, antara lain; Pertama, kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang malas untuk meneliti di kelasnya sendiri dan terjebak dalam rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tak muncul kepermukaan. Karya tulis mereka dalam bidang penelitian tidak terlihat. Padahal setiap tahun, Departemen Pendidikan Nasional (depdiknas) selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran (LKGDP) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh direktorat Profesi Guru. Mereka baru mau meneliti ketika akan mengurus naik pangkat. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Kedua, masalah kesejahteraan. Guru sekarang masih banyak yang belum sejahtera. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan antara guru yang sudah PNS dan guru yang belum PNS. Banyak guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku. Mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, sehingga tidak mungkin sanggup membeli buku. Hal ini karena kecilnya penghasilan setiap bulannya. Dengan adanya sertifikasi guru kesejahteraan para guru ikut meningkat. Ketiga guru kurang kreatif dalam membuat alat peraga atau media pembelajaran. Selama ini masih banyak guru yang hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajarannya. Seandainya para guru kreatif, pasti akan banyak ditemukan alat peraga dan media pada pembelajarannya. Kondisi minimnya dana justru membuat guru itu bisa kreatif memanfaatkan sumber belajar lainnya yang tidak hanya berada di dalam kelas, contohnya : pasar, museum, lapangan olahraga, sungai dan lain sebagainya.

Peran Guru Pasca Sertifikasi

Persoalan yang muncul kemudian pasca sertifikasi guru, adalah bahwa sertifikasi itu sendiri tidak memiliki jaminan jangka panjang untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Guru yang tersertifikasi lebih merupakan pencerminan kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karenanya sertifikasi haruslah dikaitkan dengan proses belajar yang berkesinambungan, sehingga sertifikasi itu sendiri tidak bisa diasumsikan sebagai keunggulan kompetensi guru sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan cara belajar sepanjang hayat. Disinilah peran pemerintah untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, melalui penataan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, mengingat peningkatan kompetensi guru sekaligus menjadi indikator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri.

Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutupi kelemahan-kelemahan yang tak tampak pada waktu seleksi, (3) mengembangkan sikap profesional,(4) mengembangkan kompetensi profesional, dan (5) menumbuhkan ikatan batin antara guru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru adalah (1) bimbingan dan tugas, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) kursus-kursus, (4) studi lanjut, (5) promosi, (6) latihan jabatan, (7) rotasi jabatan, (8) konferensi, (9) penataran, (10) lokakarya, (11) seminar, dan (12) pembinaan profesional guru (supervisi pengajaran).

Disini kita mengetahui bahwa, walaupun guru telah tersertifikasi yang asumsinya telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting adalah kemampuan diri untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected to put their knowledge to work to demonstrate they can do the job. Finally, professional are expected to engage in a life long commitment to self improvement. Self improvement is the will-grow competency area. Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi seyogyanya menjadi motivasi bagi guru untuk terus menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri dalam rangka meningkatkan kompetensi.

Tanggung Jawab Terhadap Profesi

Mau disadari atau tidak sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Berbeda dengan profesional dibidang lain, profesionalisme guru adalah menyebarluaskan kreativitas dan inovitas (semangat belajar) bagi siswa. Lebih jauh, dengan berbagai kebijakan pemerintah yang sudah mulai berpihak kepada guru, maka sudah tidak ada alasan bahwa guru untuk menunjukkan kinerja yang rendah terlebih setelah tersertifikasi.

Dalam memandang kecenderungan pola pikir guru terhadap profesinya kita dapat menggunakan Kuadran Cash Flow Robert Kiyosaki (Masftukh, 2010) tentang cara pandang guru terhadap profesi guru menyebabkan terbentuknya empat kuadran.

Kuadran I: Guru Pekerja. Guru yang punya pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita disebut guru pekerja, bila kita termasuk guru yang menyukai kemapanan, tidak ada keinginan untuk berubah. Kita senang dengan pekerjaan rutinitas yang menjadi tanggung jawab kita. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang sama kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita memiliki paradigma to have. Kita adalah orang yang berada dalam sistem yang sudah mapan. Sumber penghasilan kita adalah satu-satunya gaji/honor bulanan/mingguan ditambah dari proyek-proyek skala kecil dan rutin.

Kuadran II: Guru Profesional.Guru yang berkuasa atas pekerjaan dan mengedepankan To Have. Kita dikatakan guru profesional, bila kita termasuk guru yang menyukai tantangan dalam mengajar. Senang dengan pekerjaan yang mandiri, tidak rutin tapi memuaskan, senang berpindah tempat kerja dengan pekerjaan yang sama. Perilaku kita tampak oleh mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang berbeda kepada orang yang berbeda. Pada kuadran ini kita mulai mengalami pergeseran pradigma tetapi masih pada konsep to have. Kita menjadi sistem bagi diri kita sendiri. Sumber penghasilan kita adalah sebagai profesional yang memiliki nilai (harga) setiap kali kita mengajar.

Kuadran III: Guru Pemilik. Guru yang punya keahlian dan visi kepemimpinan dan manajemen system, serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru pemilik bila kita adalah guru yang memiliki keahlian (pemilik), tidak hanya terkait dengan pengajaran tetapi juga memiliki kemampuan mengendalikan sistem, sehingga pemilik menjadi bagian dari kelompok pengambil keputusan. Senang dengan peran sebagai investor dan atau pimpinan dengan tujuan mendapatkan penghasilan dari investasi/tugas tersebut. Kita adalah orang yang menjalankan sistem secara strategis, untuk mengendalikan diri dan orang lain bagi kemajuan lembaga. Pada kuadran ini kita mengalami pergeseran paradigma yang sangat jelas dari to have ke to be. Sumber penghasilan kita adalah dari keahlian dan sistem yang kita kendalikan.

Kuadran IV: Guru Perancang. Guru yang membuat dan mengendalikan sistem sekolah identik dengan dirinya serta mengedepankan To Be. Kita dikatakan guru perancang, bila kita adalah guru yang berfungsi sebagai perancang masa depan pengajaran, bersifat inovatif, senang pada ide dan perubahan yang mengaktifkan pengajaran. Kita adalah orang yang kaya dengan ide/gagasan yang inovatif yang menjadikan kita orang yang sangat berarti. Kita menjadi perancang sistem bagi kemajuan diri dan masa depan orang lain. Pada kuadran ini menunjukan bahwa pergeseran paradigma kita sudah sepenuhnya ke kuadran to be. Sumber penghasilan kita adalah dari sistem dan gagasan yang diterapkan banyak orang. Ide dan gagasan bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita.

Cara pandang guru terhadap profesinya inilah yang kemudian akan membangun pola tanggung jawab guru terhadap profesinya. Pola yang dimaksud akan ditunjukkan melalui tindakan berdasarkan apa yang difahami guru tentang profesinya itu sendiri. Sehingga tanggung awab profesi guru lebih merupakan kesadaran diri yang tinggi seorang guru dalam menjaga profesinya dikalangan masyarakat atau disebut sebagai etika profesi guru. Etika guru ini terikat pada kode etik profesi guru, yang merupakan sarana untuk membantu guru sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Setidaknya ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi :

(a) Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

(b) Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan social).

(c) Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.

Untuk menerapkan kode etik guru sebagai norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia, sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat dan warga Negara. Maka dalam membangun tanggung jawab terhadap profesi guru atau pendidikan diperlukan:

1. Komitmen yang tinggi

Secara sederhana peningkatan kualifikasi akademik itulah, yang harus dikembangkan oleh tenaga pendidik. Guru masa depan perlu mempertegas kembali komitmen sebagai pendidik untuk tidak memaksakan pembelajaran yang hanya bermuatan kognitif saja, namun lebih aplikatif sejalan dengan konsep pembelajaran learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be

2. Pemikiran yang serius dan cermat (smart thinking);

Guru masa depan perlu memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal. Guru masa depan perlu memiliki pendidikan yang setingkat di atas standart minimal yang diharapkan pemerintah. Dalam dunia pendidikan dasar, tenaga pengajar setidaknya harus berbasis pendidikan S1, pendidikan menengah tenaga pengajarnya harus berbasis pendidikan S2, dan perguruan tinggi harus berbasis pendidikan S3.

3. Koordinasi dan sinergi;

Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat

4. Networking dan Support dari semua komponen terkait

KKG, MGMP serta lembaga profesi sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru. Selain itu perlu adanya pemberdayaan (empowerment) guru yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pemberian tugas yang sesuai dengan kompetensi guru maupun adanya dorongan dari fihak manajemen sekolah yang mampu menumbuhkan motivasi kerja bagi para guru. Meningkatnya kompetensi guru yang didukung adanya motivasi kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru.

Guru merupakan sebuah profesi terhormat dan mulia yang mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia.Sebagai sebuah perkerjaan profesional, maka guru dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku sejalan dengan Kode Etik Profesi. Pertanyaannya, apakah para guru di Indonesia saat ini sudah dapat menghayati dan menegakkan kode etik profesinya? Tentu jawaban beragam akan muncul, akan tetapi satu hal yang pasti adalah disaat guru meningkatkan kinerjanya, maka berarti meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Dan ini merupakan bentuk tanggung jawab guru terhadap profesinya sekaligus penjaminan kualitas guru itu sendiri atas sertifikasi yang diterimanya.

Penutup

Menjadi guru yang peduli terhadap pendidikan mensyaratkan totalitas cipta, rasa, dan karsa sehingga mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki secara optimal, baik kompetensi personal, professional, dan kemasyarakatan. Kompetensi tersebut mutlak dikembangkan dalam rangka memperkuat sifat konservatif pada diri guru. Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, sehingga pascasertifikasi perlu ada upaya sistematis, sinergis, dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional. Agar terbangun tanggung jawab profesi yang tidak hanya bersifat pribadi atau individu guru yang bersangkutan akan tetapi juga mampu menjadi komitemen kolektif dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Pedoman Penyelenggaraan Program Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan. Jakarta.

Fasli Jalal. (2007). Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?. Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya

Muchlas Samani. (2008). Sertifikasi Guru Sebagai Bagian Peningkatan Kualitas Pendidikan. Makalah disampaikan pada seminar Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan. Program Pascasarjana UNY, 22 Maret di Yogyakarta

I Wayan Santyasa, Dimensi-Dimensi Teoretis Peningkatan Profesionalisme Guru, Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Ganesha. Jurnal Tidak Di Publikasikan

Maftukh, Muhamad. Sertifikasi Dan Guru Profesional. http://penulismuda.com/artikel-mainmenu-42/2946-sertifikasi-dan-guru-profesional diakses 15 Agustus 2011

0 komentar:

Posting Komentar

bangunan ini tak bisa berdiri tanpa campurtangan anda..!!

Template by:

Free Blog Templates