Senin, 19 Desember 2011

Jiwa Besar Sang Pemimpin

Jiwa Besar Sang Pemimpin



Suatu hari, Abu Bakar bertanya kepada putrinya, Siti A’isyah, “Menurutku, sunnah-sunnah Rasulullah telah aku teladani dalam kehidupan sehari-hariku, menurutmu bagaimana?” A’isyah menjawa, “Kecuali satu yang belum Abah lakukan, Rasulullah memberi makan seorang pengemis Yahudi di pasar. Itu beliau lakukan tiap pagi hingga menjelang wafatnya.”


Kemudian Abu Bakar mencari tahu perihal si Yahudi. Kata orang-orang, si pengemis buta itu selalu mangkal di pasar Madinah dan selalu ngoceh kepada orang-orang yang berlalu-lalang agar jangan sampai mendekati Muhammad, karena – katanya – Muhammad itu tukang sihir, bila mendekatinya maka akan dipengaruhinya.

Keesokan harinya, Abu Bakar menggantikan Nabi menjalankan tugasnya, membawakan makanan dan menyuapinya. Namun suapan pertama itu membuat si Yahudi menghardik, “Siapa kau? Kau bukan orang yang biasanya!”

“Bagaimana kau tahu kalau aku bukan orang yang biasa menyuapimu?” Tanya Abu Bakar penasaran

“Orang yang biasanya suapannya lembut. Tidak seperti kau, makanan yang masiha kasar kau suapkan di mulutku yang tua ini.” Jawabnya ketus.

“Kau benar, aku memang bukan dia yang biasanya.” Kata Abu Bakar lirih

“Lalu, kau siapa dan siapa pula orang yang biasa menyuapiku itu? Tiap kali kutanya dia tidak mengaku.” Si Yahudi balik penasaran.

“Aku Abu Bakar, sahabat Rasulullah yang biasa menyuapimu. Aku hanya mencoba meneladani perilakunya dan.. ternyata seperti kau tahu, aku tidak bisa menyuapimu layaknya Muhammad Rasulullah.” Jelas Abu Bakar.

Mendengar penuturan itu, si Yahudi terkejut, bingung dan tak tahu mesti berbuat apa. Selang beberapa lama, barulah dia dapatkan kesadarannya, dan – atas kehendaknya sendiri – dia bersyahadat di bawah bimbingan Abu Bakar.

*** * ***

Kasih yang tulus merasuk sukma yang paling halus. Memang tidak serta merta dapat mengubah karakteristik dan perilaku buruk orang lain. Seberapapun kebencian bersarang dalam diri seseorang dan seberapapun buruk penggambaran para kartunis dan pencaci Nabi, namun selagi masih tersisa fitrah suci dalam jiwa seseorang di kemudian hari tetap terbuka kemungkinan berubah. Sebab hidayah itu terus berlangsung secara konstan dan dinamis.

Bukankah setiap pemeluk agama senantiasa memohon bimbingan dan penerangan dari “juruselamat” masing-masing? Sesungguhnya, pada saat seseorang membenci dan mencaci maki orang lain, sebenarnya obor hidayah (God Spot-nya) sedang redup. Pada ketika hidayah kembali menyinari hatinya yang gelap, maka saat itulah dia tersadar bahwa ajaran suci yang dianut dan diyakininya sama sekali melarang perbuatan buruk yang dilakukannya.

Nabi Muhammad yang agung mengibaratkan dirinya hanya sebagai sebongkah batu bata di sudut bangunan yang bolong. Lalu, Beliau mengisinya dengan risalah Islam sebagai penyempurna dari sendi-sendi dan tatanan bangunan yang didirikan para nabi terdahulu, mulai dari Adam hingga Isa as. Oleh sebab itu pula, Nabi Muhammad melarang melebih-lebihkan dirinya di atas para nabi yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

bangunan ini tak bisa berdiri tanpa campurtangan anda..!!

Template by:

Free Blog Templates