Kamis, 21 Juni 2012

Kaum Liberal Berilusi Negara Sekuler, Negara Islam, Kenapa Tidak!




JAKARTA (VoA-Islam) - Fenomena gerakan penegakan Syariah muncul dengan kuat di Aceh, Padang, Makasar dan Palembang. Di Padang, pengajian-pengajian akbar diselenggarakan oleh KPPSI untuk sosialisasi dan kampanye percepatan penegakan syari’ah dalam kehidupan masyarakat di daerah ini. Di Palembang, FU3-SS mempelopori sepenuhnya kebersatuan antara ulama dan umara dalam kegiatan-kegiatan pengajian atau forum pertemuan lainnya.

Kepanikan itu kembali muncul, ketika formalisasi hukum Islam melalui perda-perda di wilayahnya didorong secara simultan dan intens. Kaum liberal menyebut kelompok-kelompok Islam seperti KPPSI, FU3-SS, dan FUI sebagai penegasan identitas dan keuntungan politik kelompok garis keras yang memiliki agenda politik dengan memainkan isu agama (syari’ah). Kaum liberal juga menuding politisi yang mendukung Perda bernuansakan syariah ini sebagai politisi oportunis.

Berikut tuduhan tendensius kaum liberal terhadap jargon syari’ah: “Dalam konteks politik, kita mendapati jargon syari’ah banyak digunakan di berbagai daerah, bukan sebagai identitas ketaatan seorang Muslim terhadap ajaran Islam, tetapi sebagai simbol dan alat perlawanan terhadap dominasi politik negara (pemerintah pusat)… Syariah dijadikan alat politik untuk menampilkan identitas dan bukan murni alasan normatif ketaatan kepada ajaran agama.”

Kaum liberal memberi contoh, bukti syariah dijadikan alat politik, seperti halnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut orang liberal, persoalan utama GAM adalah kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat. Kaum liberal menuding, GAM sejak awal tidak pernah mengagendakan implementasi syari’ah dalam gerakan politik mereka. Gerakan penegakan syari’ah di Aceh, katanya, justru muncul dari kelompok-kelompok yang kecewa terhadap sikap melunaknya GAM terhadap pemerintah RI.

“Persoalan semacam itu juga menjadi latar belakang utama gerakan DI/TII. Kartosuwiryo, tokoh utama DI/TII – yang awalnya adalah salah seorang tokoh PSII dan keluar dari partai tersebut karena kekecewaan terhadap kebijakan partai – melakukan pemberontakan terhadap Pemerintahan Soekarno karena kecewa dengan kebijakan Soekarno.” Demikian ditulis dalam buku “Ilusi Negara Islam” di halaman 121.

Akibat kefasikannya, kaum liberal tidak setuju dengan pendapat, bahwa penegakan syari’ah justru menjadi solusi, sehingga Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Kaum liberal bahkan menyudutkan syari’ah – seperti hudud dan qishash -- sebagai sistem hukum yang berorientasi ‘balas dendam’ dan tidak manusiawi, serta primitif.

Berikut dalih dan tuduhan kaum liberal, bahwa penegakan syariah Islam, seperti potong tangan dan cambuk sebagai hukum yang sudah usang. “Tradisi hukum Islam yang hadir di Arab pada abad ke-7 Masehi tentu wajar kalau memakai pendekatan fisik dalam memberikan hukuman, seperti cambuk, potong tangan dan sebagainya, yang mungkin merupakan metode hukuam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Arab yang tidak beradab pada saat itu.. Tetapi, untuk sekarang ini, justru berakibat buruk terhadap syariah sendiri..”

Kaum liberal pun menyimpulkan, bahwa penerapan hukum Islam semacam itu lebih melihat hukum pada tataran sanksi, bukan pada tujuannya. Menurutnya, tujuan hukum bukanlah pada pemberian sanksi kepada pelakunya, melainkan melindungi 5 hal premier kehidupan manusia, yakni: perlindungan beragama, hidup, kekayaan, kehormatan atau keturunan, dan kesehatan akal. Dalam pandangan ini, ketentuan hukum dipahami sebagai proses pendidikan, dan melihat para pelaku kejahatan secara positif – masih bisa diarahkan untuk lebih baik.

Wacana Negara Islam

Pada tahun 2006, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pernah mengungkapkan, ihwal adanya penyusupan gerakan radikal ke dalam partai-partai Islam yang ingin mendirikan negara Islam untuk menerapkan syari’ah. Menurut Menhan ketika itu, gerakan radikal menunggu saat yang tepat untuk terciptanya radikalisasi.

Atas pernyataanya itu, Menhan menerima badai protes dari kalangan aktivis partai. Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring ketika itu, menyebut pernyataan Menhan hanya memberi stigma negative kepada partai-partai Islam. Tudingan seperti itu, mirip cara-cara yang digunakan Orde Baru. Reaksi keras juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Lukman Hakim Saifuddin. Menurutnya, Menhan tidak pantas membuat tuduhan seperti itu.

Dalam sebuah wawancaranya dengan seorang mantan jenderal, berikut kekhawatiran kaum liberal dengan wacana Negara Islam: “Dulu ancaman garis keras terhadap NKRI dan Pancasila ada di luar pemerintahan, seperti DI/NII. Tapi sekarang, garis keras sudah masuk ke dalam pemerintahan, termasuk parlemen, dan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.”

Kaum liberal, merasa ada kekuatan yang sistematik dari gerakan penegakan syariat di Tanah Air. “Ada kalanya aksi-aksi jalanan, misalnya, mendapat pembelaan dan dukungan di parlemen, dan mendapat pembenaran melalui fatwa MUI. Pernah juga terjadi fatwa MUI didukung aksi-aksi jalanan dan parelementer, Demikian pula isu-isu politik di parelemen mendapat dukungan aksi-aksi jalanan dan MUI.”

Menurut kaum liberal, alasan aksi-aksi saling dukung ini bisa terjadi adalah adanya kesamaan ideologis diantara kelompok-kelompok “garis keras” yang terlibat. Untuk saat ini, mereka masih bisa bersatu menghadapi musuh bersama.

Maka, jika kaum liberal berwacana dan berilusi sebuah negara liberal, maka kenapa tidak, jika ada kelompok Islam yang berwacana dan mendambakan penegakan syariat Islam, bahkan Negara Islam di Indonesia. Desastian

0 komentar:

Posting Komentar

bangunan ini tak bisa berdiri tanpa campurtangan anda..!!

Template by:

Free Blog Templates